Mongabay.co.id

Bagaimana agar Isu Krisis Iklim Dipahami Semua Kelompok Masyarakat?

 

 

 

 

 

 

“Orang-orang yang punya privilese adalah yang paling berkontribusi pada perubahan iklim. Mereka yang harus diedukasi,” kata Mohamad Ali Sidik Zamzami, atau dikenal sebagai Mo Sidik, seorang komika ketika menghadiri talkshop bertajuk “Satu Koma Lima: Agar Kita Tetap Ada”, 12 November lalu.

Edukasi itu jadi penting karena kelompok sosial yang disebut punya banyak keistimewaan belum menganggap krisis iklim sebagai ancaman nyata. Alih-alih memikirkan perubahan iklim, katanya, masyarakat kelas menengah-atas di perkotaan lebih resah dengan urusan-urusan domestik seperti pendidikan anak dan deadline pekerjaan.

Mo Sidik menilai, situasi itu bukan karena mereka tak peduli, melainkan kurang informasi memadai terkait topik itu. Saat bersamaan, pesan-pesan krisis iklim yang tersedia di media sosial dianggap kurang menarik perhatian dan jarang jadi pembahasan penting.

Ditambah lagi, media massa yang berperan besar dalam menyebarkan informasi, belum menjadikan isu lingkungan dan perubahan iklim sebagai topik penting. Dia contohkan, dari sisi produksi, film-film bertema lingkungan kurang diminati dibanding film horor yang mendominasi layar bioskop di Indonesia.

Minimnya paparan informasi ini, menyebabkan dampak perubahan iklim tak begitu disadari masyarakat perkotaan. “Pengetahuan sebagian besar masyarakat kota hanya sebatas dampak ISPA akibat polusi udara,” katanya.

Karena itu, upaya meningkatkan minat terhadap permasalahan iklim, perlu mendorong dan melibatkan sineas-sineas tanah air, pesohor-pesohor publik hingga tokoh agama yang punya daya pengaruh besar.

“Najwa Shihab, Deddy Corbuzier, Vincent dan Desta atau Raffi Ahmad, harus bicarakan 1,5 derajat. Kemudian, tokoh-tokoh agama. Karena kalau mereka bicara, atau punya segmen khusus, satu pulau Jawa akan dengarkan,” kata Mo Sidik.

Di industri hiburan Indonesia, pada 2018, sebenarnya telah rilis dokumenter bertajuk ‘Semesta’. Film yang diproduseri Mandy Marahimin dan Nicholas Saputra ini bercerita tentang upaya menahan laju perubahan iklim di tujuh daerah di Indonesia, lewat dorongan agama, kepercayaan dan budaya di masing-masing tempat.

Mandy Marahimin menerangkan, dokumenter Semesta berhasil bertahan selama 1 bulan di bioskop, dengan sebaran penonton terbanyak berada di bioskop-bioskop di Jakarta Selatan.

“Sebenarnya, mereka (masyarakat urban) tertarik, tapi tidak mendapat informasi lanjutan setelah itu,” katanya.

Saat ini, yang jadi tantangan, belum banyak sineas tertarik membuat film bertema iklim maupun lingkungan. Karena durasi riset terbilang panjang, katanya,  tak diimbangi kecukupan dana, dan dukungan sponsor.

Dia menekankan, pentingnya jadikan krisis iklim sebagai kampanye yang melibatkan berbagai pihak. Dengan kolaborasi dan kerja kolektif yang kuat, Mandy percaya, masyarakat akan mendapat informasi cukup, lalu terdorong melakukan mitigasi iklim.

“Memang ini harus jadi kampanye yang menyeluruh. Tidak bisa kerja sendiri-sendiri. Harus ajak perusahaan-perusahaan PR (public relations) dan komunikasi. Kalau tidak, sulit mencapai audiensnya,” katanya.

“Karena kalau yang bikin film krisis iklim cuma saya, saya hanya bisa bikin berapa setahun?”

 

Satu Koma Lima, Agar Kita Tetap Ada, yang diadakan Yayasan Madani Berkelanjutan. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Komunikasi pada kelompok rentan

Strategi mengkomunikasikan krisis iklim juga harus memperhatikan karakter penerima pesan. Bagi kelompok rentan, pendekatan berbeda perlu untuk menumbuhkan kesadaran terkait topik ini.

Farhan Helmy, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (Dilans) Indonesia mengatakan, hingga kini masih ada kesenjangan dalam edukasi dan aksesbilitas informasi, khusus bagi penyintas disabilitas.

Padahal, dia merinci, di Indonesia ada sekitar 23 juta penyintas disabilitas dan 30 juta lansia. Di seluruh dunia, sekitar 1 miliar penyintas disabilitas dan 800 juta lansia. Berarti, kata Farhan, kelompok ini meliputi 1: 5 orang di dunia.

Sayangnya, kelompok disabilitas belum benar-benar mendapat informasi memadai terkait krisis iklim. Farhan contohkan, belum tersedia bacaan maupun dokumen terkait perubahan iklim bagi penyintas tunanetra.

“Konversi ke braille (sistem tulisan untuk penyintas tunanetra) juga penting agar memahami grafik-grafik itu jadi lebih gampang.”

“Sudahkah kita memperhatikan disabilitas mental, disablitas intelektual yang telah menghadapi berbagai persoalan bahkan sebelum krisis iklim?”

Agar keadilan iklim dapat dirasakan kelompok disabiltas dan lansia, katanya, harus ada upaya mempengaruhi kebijakan hingga tingkat paling bawah, serta memperkuat pengorganisiran masyarakat.

“Kalau 1,5 derajat itu tidak bisa diatasi, yang punah duluan itu orang-orang seperti saya. Karena daya tahan lebih rendah,” katanya.

 

Puluhan tuna netra yang tergabung dalam Paguyuban Pemijat Tuna Netra (Pamitra) Malang Raya menanam mangrove di Pantai Ungapan, Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Foto : Pamitra

 

Edukasi dengan pendekatan berbeda juga perlu disampaikan pada komunitas pesisir. Dina Soro, perwakilan perempuan pesisir dari Nusa Tenggara Timur (NTT) menilai, masyarakat pesisir harus mendapatkan penjelasan sederhana terkait aktivitas manusia yang berdampak pada lingkungan.

“Edukasi yang paling ideal adalah yang dekat dengan hak-hak dasar warga, misal, bicara krisis air, ketimbang langsung bicara perubahan iklim,” katanya.

Menurut Dina, masyarakat di daerahnya juga mengambil pelajaran dari peristiwa siklon tropis seroja yang menerjang NTT April 2021.

Siklon yang menyebabkan hampir 80% perahu nelayan rusak dan bikin mereka tak bisa melaut, sedikit-banyak memberi pengetahuan dasar tentang upaya mitigasi iklim oleh masyarakat.

“Dari situ masyarakat sadar untuk lihat informasi dari BMKG terkait cuaca. Pemerintah juga sudah menerima isu ini, karena mereka juga lihat dampaknya. Tetapi kami juga dorong anak-anak muda untuk menyuarakan krisis iklim,” katanya.

Karena itu, bagi Dina, kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil membuat mitigasi dan adaptasi iklim jadi program yang harus diprioritaskan. Hal itu,  katanya, harus diiringi perspektif keadilan iklim dengan membuka partisipasi publik dan kelompok rentan. Agar, dua kelompok itu bisa mendapatkan hak-haknya dampak perubahan iklim.

 

Seorang nelayan menepi dengan pemandangan pohon mangrove di Pasir Merah Sembulang, Kota Batam, Provinsi Kepri. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Kolaborasi

“Satu Koma Lima: Agar Kita Tetap Ada” merupakan pagelaran yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan di Makara Art Center Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Selain diskusi iklim, kegiatan ini menghadirkan penampilan sejumlah musisi, lokakarya daur ulang dan ecoprint hingga pameran dari berbagai komunitas.

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan mengatakan, penyelenggaraan “Satu Koma Lima: Agar Kita Tetap Ada” bertujuan memberi penyadaran tentang ancaman krisis iklim, lewat kolaborasi berbagai kelompok masyarakat.

Sebab, pada Perjanjian Paris 2015 di COP-23, para pemimpin dunia sepakat membatasi suhu bumi tidak lebih 1,5 derajat di akhir abad ini. Namun, dia melihat, upaya global masih jauh dari target itu.

“Kalau lihat dari seluruh komitmen berbagai negara, masih 2,7 derajat di akhir abad ini. Jadi, masih banyak tugasnya, bikin komitmen dan aksi nyata, baik mitigasi, adaptasi untuk bisa memperbaiki lingkungan,” katanya kepada Mongabay.

Untuk itu, katanya, mereka jadikan “Satu Koma Lima” sebagai hastag kegiatan ini. “Supaya orang bisa sadar juga kalau diceritakan.”

Dia bilang, upaya mengkomunikasikan krisis iklim bukan perkara mudah. Banyak orang belum menyadari kalau praktik manusia, terutama yang eksploitatif, tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan mengandalkan energi fosil, menyebabkan bumi makin panas.

Dari sisi kebijakan, Nadia menilai, belum ada strategi khusus yang memprioritaskan mitigasi dampak perubahan iklim bagi kelompok rentan. Padahal, upaya mencapai keadilan iklim harus beranjak dari perspektif kelompok-kelompok paling rentan terkena dampak, seperti disabilitas, perempuan, anak-anak, masyarakat adat, petani, nelayan dan lain-lain.

“Itu harus ada sendiri-sendiri dalam penyusunan strategi pembangunan, atau perencanaan. Hingga krisis iklim tidak berdampak terlalu parah pada mereka (kelompok rentan),” katanya.

Dia percaya, keterlibatan sineas, komika, penyanyi, penyintas disabilitas, masyarakat pesisir dan komunitas adat, menjadi cara agar pesan-pesan penyelamatan iklim jadi lebih mudah dimengerti.

Untuk itu, kata Nadia, tak ada pilihan selain bekerja keras dan berkolaborasi untuk mengkomunikasikan permasalahan ini, serta mendorong kebijakan-kebijakan lebih baik.

“Jika tidak, pada 2045, mimpi Indonesia Emas tidak akan terwujud. Karena hutan habis, pulau-pulau tenggelam dan masyarakat terkena dampak krisis iklim.”

 

 

********

Exit mobile version