Mongabay.co.id

Kearifan Komunitas Bona ni Dolok Jaga Hutan Adat

 

 

 

 

Bona ni Dolok, begitu nama komunitas adat di Tapanuli Utara, Sumatera Utara ini. Huta atau kampung ini terletak di Kecamatan Sipahutar.  Masyarakat Bona hidup bergantung alam dengan kearifan leluhur.

Mata pencarian utama masyarakat di kampung ini dari kemenyan. “Senin, kami masuk ke hutan dan bermalam hingga kamis. Getah dikumpulkan untuk dijual ke pasar setiap pekan,” kata Efron Simanjuntak, keturunan Raja Sane Simanjuntak, baru-baru ini.

Hari itu, pria 60 tahunan ini pergi menderes getah kemenyan sambil menyandang bakul bambu.

Mereka punya bermacam ritual. Saat mau menyadap getah kemenyan, misal, mereka jalankan tradisi marhottas. Dalam ritual ini  menyajikan hitak gurgur makanan tradisional campuran tepung dan daging babi–, sebagai ungkapan harapan dan terima kasih kepada leluhur.

Asa gur-gur ma ro gotam (biar getahmu berlimpah)” begitu mantra yang diucapkan.

 

Sadap getah kemenyan. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Sebenarnya, Efron baru kembali dari perantauan. Dia sudah menjalani banyak pekerjaan di tanah orang kemudian kembali ke keluarga dan jadi penderes kemenyan. Dia meneruskan  tradisi orangtua dan kakek neneknya.

Jadi penderes kemenyan bukan hanya mata pencaharian, katanya, tetapi sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang.

“Selagi kita mampu, selagi tanah ini bisa, kita akan menjaga warisan ini.”

Setelah kembali ke kampung dari hutan kemenyan setiap Jumat, pengepul datang menjemput. Harga getah kemenyan kualitas terbaik bisa Rp300.000-Rp500.000 per kilogram.

Baginya, harga bukan sekadar angka, tetapi cermin dari perjalanan panjang keluarga Efron menjaga tradisi dan keberlanjutan budaya.

 

Peta wilayah Adat Bona ni Dolok. Sumber: Aman Tano Batak

 

Sejarah

Kampung Komunitas Adat Bona ni Dolok, dibuka keturunan Marga Sianipar, Panjaitan, Simanjuntak, Napitupulu, dan Pasaribu. Si pamuka huta atau pembuka kampung, Ompu Raja Sane Simanjuntak, generasi ketujuh dari Ompu Raja Marsundung Simanjuntak. Dia merantau ke Huta Sigumpar bertemu Ompu Onggak Panjaitan dan Ompu Raja Sane Simanjuntak.

Untuk menghindari ancaman dari luar dan serangan Kolonial Belanda, mereka sepakat membuka kampung baru, Lobu Sigumpar lalu mendirikan benteng pertahanan di sekitar huta itu.

Kalau ada konflik, penyelesaian dan tata cara pengambilan keputusan di kampung diatur lembaga adat. Raja Huta pun dipilih berdasarkan perilaku, pengetahuan adat, dan usia tertua. Setiap keputusan diambil dalam musyawarah bersama atau disebut tonggo raja.

Mereka mengatur tata kelola wilayah secara adil dengan kepemilikan komunal, atau dikenal dengan istilah ripe-ripe (gotong-royong).

Adapun bagian keturunan laki-laki atau disebut panjaean dan anak perempuan disebut pauseang. Wilayah adat dibagi untuk permukiman, hutan (tombak raja), persawahan (parhaumaan), perladangan (parladangan), dan tempat menggembalakan ternak (parjampalan).

Mereka punya patik atau aturan adat. Misal, bagi pencuri didenda tujuh kali lipat, larangan menebang pohon di lokasi tertentu, bahkan ada aturan atau tata cara mengambil kekayaan alam di hutan.

 

 

Efron Simanjuntak di bawah pohon hariara, simbol gerbang kampung. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Obat tradisional dan konservasi

Langit hampir gelap, Efron berhenti di bawah pohon tinggi. Dia merengkuh sejumput daun dari pohonnya dengan parang. “Ini pirdot. Daunnya direbus, air diminum seperti teh hangat. Ini obat batuk, flu, atau demam,” katanya dalam bahasa Batak.

Pohon pirdot (Saurauia nudiflora DC) mencapai 3-15 meter. Di dalam daun pirdot terdapat senyawa aktif eugenol dan safrol yang berguna sebagai antimikroba , antijamur, antiinflamasi, dan analgesik.

Daun-daun itu mengandung zat kimia alami yang dapat menyembuhkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari sakit gigi hingga keluhan infeksi kulit.

 

Alat penyadap kemenyan. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Penelitian itu juga membuktikan, pirdot dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan mengurangi risiko penyakit serius seperti kanker, limfoma, dan diabetes.

Di kampungnya,  Efron dikenal sebagai parubat (tukang obat).Dia sering membawa tumbuhan liar sepulang dari hutan. Pengetahuan ini dia warisi dari orangtuanya.

Bagi masyarakat adat yang hidup di hutan, tombak (hutan) merupakan apotek alam. Efron, ujung tombak terakhir dari garis pewaris kearifan lokal ini di Bona ni Dolok.

Demi melestarikan hutan, tiap kali ke hutan, Efron selalu menyempatkan diri menanam berbagai macam bibit, seperti kemenyan, dan buah-buahan,  macam,  durian, petai, jengkol, dan lain-lain.

 

Jualbeli getah kemenyan. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Pengakuan masyarakat adat

Berdasarkan Peraturan Daerah Tapanuli Utara Nomor 4/2021, Masyarakat Adat Bona ni Dolok mendapatkan pengakuan resmi. Perjuangan mereka belum berakhir. Efron dan komunitasnya sedang berusaha mendapatkan penetapan atas hutan adat mereka yang pemerintah klaim masuk hutan negara dan konsesi perusahaan.

“Sejak opung-opung (leluhur) kami dulu, sudah tinggal dan martombak (ke hutan) bahkan sebelum Indonesia merdeka.”

Hadi Rahmanto, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, mengatakan, pemegang penetapan hutan adat memiliki hak dan kewajiban tertentu. Mereka dilarang menyewakan hutan adat, mengubah fungsi, atau menebang pohon.

Selain itu, dokumen perencanaan dan penganggaran daerah harus terintegrasi, sesuai Permendagri 90/2019 tentang Klasifikasi dan Kodefikiasi.

 

Bibit kemenyan. Foto: barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

AMAN Tano Batak menyatakan, berdasarkan hukum adat pun, individu maupun kelompok tak boleh menjual tanah mereka ke pihak luar marga. Hanya dapat dijual di antara keturunan mereka sesuai hukum adat panguppolon.

“Inisiatif para leluhur ini bertujuan agar tanah tetap dikuasai oleh pemilik marga di kampung tersebut dan tidak jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab. Dengan menjalankan kearifan ini, hutan tetap terjaga dan tidak berpindah ke tangan yang tidak bertanggung jawab,” kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak dalam wawancara di Balige.

Meskipun wilayah adat Bona ni Dolok sudah diakui, hutan adat mereka masih menunggu verifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) seluas 1.523 hektar.

 

 

 

Exit mobile version