Mongabay.co.id

Gegap Gempita JETP Tak Seindah Kenyataan

 

 

 

Malam itu, Gelora Bung Karno, Jakarta,  gegap gempita. Sorak sorai, penuh energi. Tak kurang 80.000 orang berkumpul menyaksikan grup musik Coldplay, yang untuk pertama kali menyinggahi Indonesia, November lalu.

Selepas konser, keriuhan berlanjut hampir di semua media sosial. Tagar #coldplay trending, linimasa penuh cerita soal grup musik asal Inggris itu.

Coldplay memang memukau. Apa yang membuat Coldplay menjadi lebih spesial adalah nilai-nilai yang mereka bawa, terutama soal isu lingkungan. Beberapa tahun silam, Coldplay pernah mengatakan mereka tidak akan melakukan tour hingga menemukan solusi yang lebih ramah lingkungan untuk konser mereka.

Pada tour kali ini, Coldplay mengklaim energi listrik yang mereka gunakan berasal dari energi terbarukan. Penonton pun diajak lebih aware dan berpartisipasi, misal, ikut memproduksi energi untuk konser lewat lantai piezoelektrik, yang mengalirkan listrik ketika bergerak dan menghentak. Tak selesai disitu penonton juga “dipaksa” terlibat langsung dalam mengurangi limbah plastik dengan melarang kemasan sekali pakai masuk ke dalam arena pertunjukan.

Ironisnya, semangat baik tidak diiringi dengan proses yang baik dalam penerapannya. Di luar arena pertunjukan, air minum kemasan sekali pakai mendominasi, tumpukan sampah botol tampak di mana-mana. Bahkan, salah satu sponsor utama  yang digandeng penyelenggara justru adalah produk air minum kemasan terbesar di Indonesia.

Meski jelas tak sejalan dengan visi Coldplay, saya duga, motif pemilihan sponsor ini tak lain cuma soal keuntungan secara finansial.

Saya melihat analogi  hampir sama juga terjadi di di Just Energy Transition Partnership (JETP) yang tengah menjadi buah bibir banyak pihak hampir setahun ke belakangan sejak rilis 16 November 2022 di sela-sela KTT G20 Bali.

 

Prasetyo Hetta , warga Desa Moa, yang secara berkelompok bikin kincir air untuk manfaatkan air sebagai sumber energi. Pengembangan energi warga atau komunitas ini sama sekali tak disinggung dalam JETP.  Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Kesepakatan ini sesungguhnya mulai dengan niatan baik, yakni,  menjadi katalis bagi  percepatan transisi energi di Indonesia. Tersedia  dana US$20 miliar yang akan digelontorkan oleh International Partners Group (IPG) berkolaborasi dengan lembaga finansial dunia yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Guna memfasilitasi program ini dirancang panduan teknis, yaitu, comprehensive investment and policy plan (CIPP) yang rilis 1 November 2023 untuk konsultasi publik.

Dokumen CIPP setebal 333 halaman ini menunjukkan, niat baik percepatan transisi energi berkeadilan di Indonesia makin jauh dari harapan, meski target bauran energi terbarukan naik ke 44% dari sebelumnya 34%.

Mengapa masih jauh dari harapan? Pertama, peningkatan ini masih ditopang pengembang pembangkit berskala besar seperti hidro dan panas bumi yang hanya akan menguntungkan korporasi besar dan meninggalkan dampak sosial lingkungan besar. Selain itu, masuknya co-firing, ammonia, hydrogen, CCS/CCUS dan nuklir hanya akan jadi solusi palsu yang tidak mampu menjawab permasalahan. Selain masih menghasilkan emisi besar dan rantai pasok tidak berkelanjutan, beragam solusi palsu itu juga berisiko tinggi dan memiliki biaya pengembangan mahal.

Ironisnya, pemanfaatan tenaga surya sangat dibatasi dan dipersulit. Kontradiktif dengan posisi Indonesia sebagai negara tropis yang seharusnya memaksimalkan potensi energi matahari.

Kalau tak ada pembatasan, Indonesia akan mudah melampaui batas 32 GW tenaga surya pada 2030. Terbukti, Tiongkok sudah berhasil membangun 130 GW pembangkit ini hanya dalam kurun waktu sembilan bulan. Meski sisi lain, Tiongkok dikritik lantaran memindahkan industri kotor ke negara-negara lain.

Kedua, dokumen ini juga memberikan ruang sangat terbatas bagi keterlibatan publik dalam mendorong transisi energi berkeadilan. Publik bahkan hanya diberi waktu 14 hari untuk memahami dan memberikan masukan kepada dokumen yang sangat kompleks hingga terasa sebagai formalitas.

Minimnya keterlibatan publik justru akan mengaburkan semangat berkeadilan dalam proses transisi energi.

 

Pembangkit listrik batubara di kawasan industri masih bisa dilakukan dan dikecualikan dari bahasan JETP. Foto: Jatam Sulteng

 

Ketiga, tak selesai di situ, 98% dana dalam JETP merupakan utang, dan sebagian besar utang komersial. Selayaknya utang, uang wajib dikembalikan ditambah bunga. Lagi-lagi, publiklah yang akhirnya akan menanggung beban utang itu. Dengan jumlah hibah hanya US$0,3 miliar, JETP gagal menjadi katalis transisi energi berkeadilan dalam bentuk tanggung jawab negara-negara maju sebagai pencemar utama untuk membiayai mitigasi, adaptasi, serta kerugian dan kerusakan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia.

Keempat, lebih mengkhawatirkan lagi adalah pengecualian pembangkit listrik batubara captive atau kawasan industri dalam dokumen ini. Ancaman peningkatan emisi karbon Indonesia masa mendatang akan bersumber dari pembangkit ini, yang akan dibangun 13 GW guna menopang smelter aluminium, nikel, dan mineral lain.

Alih-alih jadi katalis bagi reformasi kebijakan dan kelembagaan, JETP malah mendukung praktik business as usual.

Hal penting lain yang absen dari dokumen ini adalah tidak disinggung soal efisiensi energi. CIPP hanya bicara soal memproduksi energi tanpa memasukkan unsur penghematan di dalamnya.

Selain itu,  rencana pensiun dini PLTU pun tidak akan pernah muncul dalam dokumen kalau tidak memasukkan mekanisme transisi energi ADB. Angka pun masih sangat kecil sebesar 1,7 GW. Padahal, pemensiunan dini PLTU batubara dalam sistem kelistrikan Indonesia yang mengalami kelebihan pasokan adalah syarat wajib untuk mempercepat dekarbonisasi.

Bisa ditebak, absennya efisiensi energi dan minimnya rencana pensiun dini PLTU batubara karena tak mendatangkan keuntungan hingga tidak menarik bagi pasar.

Layaknya konser Coldplay, JETP jangan sampai hanya menjadi pertunjukan transisi energi, dengan lakon IPG dan GFANZ menjadi penampilnya, kemudian CIPP menjadi instrumen penyelenggara, sementara publik hanya menjadi penonton. Cerita akhirnya, bisa ditebak hanya  bertujuan mendapatkan profit sebesar-besarnya.

Untuk itu, ada dua hal harus dilakukan. Pertama, pemerintah Indonesia harus menunjukkan kepemimpinan dan peranan dalam perencanaan dan pelaksanaan JETP. Hingga tidak hanya jadi marketplace yang mengumpulkan proyek-proyek berorientasi keuntungan tetapi bersifat transformatif dalam mengubah kebijakan dan tata kelola energi.

Kedua, IPG sebagai representasi negara-negara maju harus menempatkan JETP sebagai tanggung jawab untuk mendukung pembiayaan transisi energi berkeadilan di Indonesia. Ia harusnya tercermin dalam jumlah hibah yang signifikan terutama untuk pensiun dini PLTU batubara dan pengembangan energi terbarukan oleh pemerintah daerah dan komunitas.

 

Panel surya PLTS komual di Pulau Mecan, Belakang Padang. Foto: Yogi Eka Saputra/ Mongabay Indonesia

*****

Penulis adalah Didit Haryo, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Exit mobile version