Mongabay.co.id

Upaya Warga Desa Tembok Menanam di Lahan Tandus

 

 

 

 

 

Lahan di Desa Tembok di Kabupaten Buleleng, Bali terbilang tandus, terlebih pada musim kemarau panjang tahun ini. Warga pun sulit bertani tadah hujan. Kondisi ini tak mematahkan semangat  para petani di sana untuk tetap memanfaatkan lahan.

Adalah Nengah Darta dan Made Jepun.  Pasangan suami istri petani ini punya tanaman lontar yang tahan kekeringan. Mereka memanfatkan daun, buah, sampai niranya.

Pasangan ini memperlihatkan cara mengolah lontar. Daun lontar, mereka gunakan  untuk membuat aneka rangkaian sarana ritual dan atap kandang sapi. Daun-daun yang lebar bak payung pantai ditata sebagai dinding alami untuk peneduh ternaknya.

Untuk nira diolah jadi gula lontar padat. Made Jepun membuat gula hampir tiap hari, sedangkan suaminya memanen nira pada pagi hari, setelah meletakkan wadah semalam. Nira juga jadi air gula gurih untuk merendam ketela pohon saat dimasak.

Lapisan nira setengah matang ini mengkaramelisasi di seluruh permukaan ketela. Manis dan gurih. Hanya pengolah nira lontar yang bisa memasak ketela seperti itu.

Buah lontar juga banyak dimanfaatkan. Daging buah enak dimakan langsung atau jadi es lontar. Hanya pohon lontar betina yang bisa berbuah. Yang dicari niranya di pohon jantan.

Selanjutnya,  batok buah lontar dicacah lebih kecil jadi pakan ternak sapi. Buah lontar muda ditandai dengan warna kulit kecokletan, buah tua warna kulit legam.

Nengah Darta mengatakan,  dari empat pohon lontar bisa dapat tiga liter nira dan hasilkan gula batok sekitar satu kg.

Untuk membudidayakan lontar, dia tak menanam khusus. Buah tua yang terjatuh biasa tumbuh jadi anakan baru tetapi perlu waktu lama untuk jadi pohon produktif.

“Pohon lontar di kebun saya, semua sudah ada sejak saya kecil,” kata Darta.

 

Olahan lontar. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Pembuat gula lontar di desa ini sekitar 20 keluarga. Para petani dan perajin gula ini sudah memiliki langganan, atau ada yang menjual di pasar desa. Tekstur gula lontar lebih padat dengan cita rasa manis segar.

Warga lain, Nengah  Cablang, juga punya cara memanfaatkan tanah tandus.  Dia sudah 10 tahun menganyam rumput liar di bebukitan tandus dan jadi sarana arsitektur tradisional, terutama atap rumah atau villa.

Warga sekitar menyebutnya beluhu, rumput liar dengan batang tegak sekitar satu meter.

Cablang menunjukkan lokasi rumpun beluhu tumbuh dekat rumahnya. Ia mirip seperti lidi dengan permukaan daun berbulu halus tajam. Atap beluhu dinilai lebih kuat dan daya tahan lebih lama dibanding rumbia dari batang padi.

Dengan cekatan, Cablang menganyam beluhu menjadi selembar atap alami yang indah. Pengolahan sederhana. Setelah panen, beluhu dijemur sehari, langsung dirakit.

Dia mengambil segenggam, melipat di bagian ujung, lalu diikat dengan benang agar satu sama lain rapat. Satu hari dia bisa membuat 10 lembar yang disebut dengan ukuran adepa, sekitar kedua rentang tangan atau 1,5 meter. Harga kurang dari Rp13.000 per lembar.

Satu balebengong atau gazebo ukuran sekitar empat meter persegi biasa memerlukan atap 50 lembar agar atap kokoh, tidak mudah rusak. Di rumahnya, sejumlah pondokan ditutup dengan anyaman beluhu hingga nampak tradisional dan sesuai dengan kondisi sekitarnya.

 

Mangga harum manis dari Desa Tembok. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Buah di lahan tandus

Adaptasi pertanian lain adalah budidaya buah. Salah sattu jenis buah yang bisa tanah di lahan kering adalah mangga. Desa Tembok, memiliki tradisi budidaya mangga varietas harum manis dan manalagi.

Saat musim panen pada September-November, pohon-pohon mangga di kebun penduduk nampak merunduk karena buah membesar. Sayangnya, sebagian petani masih tergantung ijon atau menjual di pohon.

Para pengontrak pohon mangga ini biasa dari desa lain, rata-rata ngontrak 1.000 pohon.

Alasan sejumlah petani, tidak punya pasar tetap dan takut rugi saat iklim buruk dan biaya perawatan tinggi. Pengontrak biasa membayar Rp75.000 per pohon yang sudah besar termasuk biaya rawat dan pupuk sampai panen. Penyemprotan dilakukan untuk mengusir lalat buah yang berlindung di bawah daun.

Lalat buah ini menyerang mangga muda, menitipkan telur, lalu larva ulat makan buah. Satu pohon rata-rata menghasilkan 50 kg mangga siap panen.

Sejumlah varietas mangga di desa ini adaah harum manis, gedong gincu, manalagi, dan mangga golek. Kontak paling mahal mangga manalagi Rp500.000 per pohon.

Buah lain yang tumbuh subur di lahan gersang adalah jambu mete. Nyoman Sri, warga memiliki kreativitas mengolah buah mete yang terbuang setelah biji diambil. Dia mengolah air perasan jambu jadi arak mete dengan teknik destilasi, seperti arak biasa dari nira kelapa atau lontar.

Biasa tiga ember jambu mete ukuran sedang jadi bahan baku 50 liter perasan. Kemudian direbus selama sejam sampai mulai muncul uap. Tetesan uap inilah yang ditampung dijual Rp20.000 per botol ukuran sekitar 600 ml.

Harga lebih mahal dari arak lontar karena hasil destilasi lebih sedikit. Dari bahan baku 50 liter cuma jadi lima botol arak.

 

Jambu mete dari Desa tembok. tak hanya dimanfaatkan jadi kacang mete, daging buah juga jadi minuman. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Sri mengatakan, dari testimoni konsumen, arak mete tidak membuat pusing setelah konsumsi. Rasanya lebih keras, lebih kelu di lidah.

Upaya Sri ini tak banyak dilakukan warga lain karena biji mete sudah memberikan hasil yang baik. Tak heran, saat musim panen, buah jambu ini berceceran di kebun.

Hasil bumi lain yang banyak warga manfaatkan di pertanian tanah kering adalah ketela pohon. Tak hanya untuk campuran beras atau makanan sampingan, ketela pohon jadi keripik dengan bumbu khas desa, campuran cabai, bawang putih, dan kencur.  Warga Desa Tembok menyebut itu keripik sawi.

Pasangan Wayan Sarta dan Wayan Sarti, adalah produsennya. Dengan rasa khas tanpa bumbu sintetik, keripik mudah terjual dalam jumlah besar. Tak heran dia kerap kesulitan bahan baku.

Produksi saat ini sekitar empat kg keripik per hari. “Susah bahan baku, bisa berhenti produksi,” kata Sarta.

Dia sudah mengontrak kebun tetapi cuaca tak tentu membuat tanaman ini tak menghasilkan dengan konsisten. Dia juga belum pernah beli bahan baku keluar desa, karena masih mengoptimalkan hasil panen warga.

 

Anyaman beluhu. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

 

Exit mobile version