Mongabay.co.id

Nautilus, Moluska Laut Dalam yang Tidak Banyak Diketahui

 

Jika ada moluska laut misterius dan hingga saat ini belum banyak diteliti, itulah Nautilus. Cangkangnya yang berwujud spiral unik bermotif garis-garis putih dan coklat di bagian luar, serta lapisan mutiara di bagian dalamnya, telah banyak menarik perhatian dan imajinasi banyak orang.

Secara mengejutkan para ilmuwan hanya mengetahui sedikit tentang spesies ini, meski dipercayai keberadaannya telah ada sejak 500 juta tahun lalu. Seperti contohnya, belum ada yang pernah melihat telur nautilus di alam liar. Jenis nautilus diyakini dapat hidup di alam sekitar 15 tahun, meski para ilmuwan belum dapat menentukan berapa usia nautilus setelah cangkangnya berkembang sempurna.

Saat pertama kali pada abad ke-16, para pedagang Eropa berlayar ke Kepulauan Maluku, mencari rempah-rempah seperti pala, cengkeh, dan lada, maka cangkang nautilus telah menginspirasi matematika, puisi, perhiasan, dan lukisan. Ia juga dijual sebagai barang antik dari daerah tropis, maupun menjadi gelas mewah yang dihias oleh emas.

Ahli biologi konservasi Gregory Barord menyebut nautilus sebagai “hewan terkenal yang paling misterius”.

“Jika Anda membandingkannya dengan gurita, informasi yang kita ketahui tentang mereka tidak ada apa-apanya,” jelas Barord kepada Mongabay.

“Informasi terbanyak yang kami dapatkan adalah bahwa populasi mereka menurun karena perdagangan cangkang, namun kami sebenarnya tidak tahu banyak tentang satwa ini.”

Barord, adalah peneliti utama di kelompok konservasi Save the Nautilus dan Central Campus di Iowa. Dia bekerja untuk mengungkap misteri cephalopoda laut dalam ini. Di awal tahun 2023 ini mereka telah mengidentifikasi tiga spesies nautilus baru: Nautilus vitiensis, Nautilus samoaensis, dan Nautilus vanuatuensis.

 

Nautilus vitiensis (kiri) dan Nautilus vanuatuensis (kanan). Dok: Barord dkk.

 

Ketiga spesies tersebut terlihat serupa, namun terdapat perbedaan utama dalam hal struktur genetik, ukuran dan warna cangkang. Setiap spesies juga ditemukan di lokasi geografis berbeda di kawasan Indo-Pasifik: pertama di Fiji, kedua di Samoa Amerika, dan ketiga di Vanuatu.

“Semua populasi jenis ini terisolasi satu sama lain karena nautilus tidak dapat menyelam lebih dalam dari 800 meter,” kata Barord.

“Nautilus tidak mampu bertahan hidup di bawah 1.000 meter, cangkangnya akan meledak di bawah kedalaman 800 meter. Air permukaan yang hangat juga dapat mematikan nautilus, jadi mereka belum tentu bisa berenang di permukaan, berpindah dari satu pulau ke pulau lain.”

Dia menambahkan populasi yang terpisah secara geografis kemungkinan besar merupakan spesies yang berbeda karena proses isolasi mereka.

Saat meneliti nautilus, Barord menggunakan pendekataan kehati-hatian. Alih-alih membunuh spesimen yang ditangkap, mereka hanya mengambil sampel tentakel berukuran 1 cm saja. Mereka juga menempatkan nautilus di kolom air dingin.

 

Nautilus samoaensis. Dok: Barord dkk.

 

Ketika mereka mengembalikannya ke air, mereka melakukan sesuatu yang disebut “nautilus bersendawa,” yang melibatkan berenang atau menyelam bersama mereka hingga 30 meter untuk memastikan tidak ada gelembung udara yang terperangkap di cangkangnya dan mereka dapat kembali dengan selamat ke habitat laut dalam.

Untuk menangkap nautilus, Barord membuat perangkap besar dari baja, jaring, dan kawat, yang diberi umpan daging mentah (biasanya ayam). Saat senja, mereka menjatuhkan perangkap tersebut hingga kedalaman 300 m di bawah air, lalu mengambilnya keesokan paginya. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, nautilus akan masuk kedalam perangkap tersebut.

Selain tiga spesies yang baru diidentifikasi, para ilmuwan telah secara resmi mendeskripsikan enam spesies nautilus lainnya, termasuk nautilus bulu halus (Allonautilus scrobiculatus) yang ditemukan di perairan sekitar Papua. Namun para peneliti mengatakan kemungkinan masih banyak lagi spesies yang menunggu untuk dideskripsikan.

“Mereka ada dimana-mana di luar sana,” kata rekan penulis studi Peter Ward, ahli paleobiologi di University of Washington, kepada Mongabay.

Dia mengatakan dia sedang menyusun jurnal penelitian lain yang akan menjelaskan dua spesies nautilus tambahan yang ditemukan di Osprey Reef, gunung bawah laut di lepas pantai utara Australia.

“Kami menemukan bahwa masing-masing gunung bawah laut ini, yang banyak terdapat di Indo-Pasifik, tampaknya memiliki jenis nautilus yang unik,” kata Ward.

“Ada empat atau lima gunung laut di lepas pantai Australia, hanya dua yang telah diambil sampelnya. Makhluk ini mudah terisolasi, berspesiasi, dan tidak dapat kawin dengan nautilus lain. Jadi, -menurut saya, kita baru mengetahui awal dari jumlah spesies yang ada.”

Selain mengidentifikasi spesies baru, para ilmuwan juga berupaya menghasilkan perkiraan populasi spesies untuk mendapatkan pemahaman tentang status konservasi mereka. Meski beberapa populasi nautilus tampak stabil atau bahkan meningkat, populasi lainnya berada di bawah ancaman.

Misalnya, penangkapan untuk cangkang nautilus yang tidak diatur di Filipina telah menyebabkan penurunan tajam beberapa populasi, termasuk populasi di Selat Tañon yang anjlok sebesar 97 persen hanya dalam waktu 16 tahun.

Spesies nautilus yang paling terkenal, Nautilus pompilius, bahkan telah masuk daftar status “terancam punah” dalam Daftar Merah IUCN. Populasi Nautilus di negara lain, termasuk Indonesia, Kaledonia Baru, dan Palau, juga mengalami penurunan. Di Fiji, Samoa Amerika, dan Vanuatu, tidak ada data perikanan nautilus yang diketahui.

 

Penelitian menunjukkan bahwa spesies yang paling terkenal, Nautilus pompilius, bahkan mungkin telah memenuhi syarat untuk berstatus “terancam punah” dalam Daftar Merah IUCN jika ingin dievaluasi, karena penangkapan ikan yang berlebihan. Dok: Kim Seng melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Pada tahun 2016, nautilus terdaftar masuk konvensi global tentang perdagangan satwa liar dalam Appendix II CITES. Cangkang kerangnya dapat dijual dengan harga sekitar USD 1.000 per buah.

Selain penangkapan, nautilus juga rentan terhadap polusi lumpur pembangunan pesisir, serta dampak perubahan iklim. Suhu laut yang terus meningkat memaksa nautilus menyelam lebih dalam ke laut untuk menghindari panas. Namun mereka tidak bisa berenang jauh karena keterbatasan cangkangnya.

Perubahan iklim juga mengasamkan air, sehingga lebih sulit bagi nautilus untuk menghasilkan cangkang khas yang mereka perlukan untuk bertahan hidup.

“Pengasaman laut jauh lebih bermasalah di air hangat, sehingga ketika air hangat turun lebih dalam, air laut menjadi semakin asam,” kata Ward.

“Airnya yang sangat asam membuat larva tiram tidak dapat tumbuh hingga ukuran penuh. Mereka mati sebagai larva karena termakan oleh asam.”

Barord menunjukkan bahwa nautilus berhasil bertahan dari “semua kepunahan massal” selama ratusan juta tahun terakhir dan telah mengembangkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Namun apakah nautilus mampu bertahan dari dampak iklim yang berubah dengan sangat cepat? Pertanyaan ini masih belum terjawab.

“Kita perlu mempelajari sebelum mereka hilang dan kita perlu memastikan agar mereka tidak punah.”

Tulisan asli: They are everywhere out there, three new nautilus species described. Artikel ini diterjemahkan Akita Verselita.

 

Referensi:

Barord, G. J., Combosch, D. J., Giribet, G., Landman, N., Lemer, S., Veloso, J., & Ward, P. D. (2023). Three new species of Nautilus Linnaeus, 1758 (Mollusca, Cephalopoda) from the Coral Sea and South Pacific. ZooKeys, 1143, 51-69. doi:10.3897/zookeys.1143.84427

Dunstan, A., Alanis, O., & Marshall, J. (2010). Nautilus pompilius fishing and population decline in the Philippines: A comparison with an unexploited Australian Nautilus population. Fisheries Research, 106(2), 239-247. doi:10.1016/j.fishres.2010.06.015

 

 

 

Exit mobile version