Mongabay.co.id

Suhu Makin Panas, Gigitan Nyamuk ‘Aedes Aegypti’ Makin Sering

 

 

 

 

 

Suhu yang makin panas berisiko meningkatkan ancaman penyakit demam berdarah dengue (DBD). Imbas peningkatan itu perilaku nyamuk aedes aegypti–vektor penyebar penyakit DBD–ikut berubah.

“Perilaku nyamuk itu, makin tinggi suhu, frekuensi menggigitnya (nyamuk) itu makin banyak. Ini memang erat kaitan dengan lingkungan,” kata Imran Pambudi, Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan, dalam diskusi tentang Perkembangan Pengendalian Vektor Dengue: Tantangan dan Harapan,  penghujung November lalu.

Dia bilang, pada suhu 18 derajat, misal, nyamuk menggingit setiap lima hari sekali. “Ketika suhu naik sampai 33 derajat, ia akan menggigit dua hari sekali. Dengan begitu, peluang nyamuk untuk menularkan penyakit DBD ini akan makin besar,” katanya.

Ada empat jenis virus dengue yang menjadi penyebab penyakit DBD yakni, DEN 1, DEN2, DEN 3, dan DEN 4. Masing-masing jenis, katanya, ditemukan di seluruh Indonesia.

Dari keempat serotype itu, katanya, DEN 3 memiliki dampak paling berat dengan sebaran paling luas, disusul DEN 2, DEN 1 dan DEN 4.

Meski demikian, tak semua pasien yang terkena virus dengue memiliki gejala. Bahkan, menurut catatan Imran, sekitar 50% pasien yang terinfeksi, tak memiliki gejala apapun hingga menyulitkan upaya pencegahan. Karena itu, pecegahan dengan upaya pengendalian vektor si pembawa virus.

Serangan DBD bisa berakibat fatal. Seseorang yang terinfeksi dan terlambat ditangani akan alami kebocoran pada pembuluh darah hingga kerusakan organ dalam. Biasanya, mereka yang terinfeksi akan alami panas tinggi tetapi menurun di hari kelima.

 

 

 

Menurut Imran, fase turun suhu tubuh itu justru sering jadi masalah karena  si pasien mengartikan kondisi tubuh membaik. Padahal,  katanya, makin memburuk, menyebabkan gangguan organ, sampai ke gagal ginjal.

Sebagai vector borne disease, perubahan iklim saat ini memiliki dampak besar. Cuaca ekstrem, suhu, kelembapan, kecepatan angin, hingga kondisi geografi akan berpengaruh terhadap jumlah vektor atau parasit. Begitu juga dengan kemampuan dalam berkembang biak.

Di Indonesia, kasus DBD cenderung meningkat. Pada tahun 2022, mencapai 143.176 kasus, hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya 73.518 kasus.

Secara garis bersar, katanya, upaya penanggulangan DBD dengan tiga hal, yakni, manajemen vektor yang meliputi pemeriksaan jentik berkala, pengendalian vektor sebelum masa penularan dengan pemberdayaan masyarakat melalui gerakan satu rumah satu jumantik.

Lalu, surveilans dengan membangun aplikasi secara real time, membentuk tim gerak cepat dalam penanggulangan kondisi luar biasa (KLB). Cara ketiga, dengan menerbitkan pedoman tatalaksana dengue, penggunaan  rapid diagnostic tests (RDT) dengue sebagai alat bantu penegakan diagnose dini, serta memperkuat jaringan rujukan.

 

 

Brosusr untuk sosialisasi nyamuk lawan DBD. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Targetkan penurunan

Indi Darmayanti, Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) membenarkan, penyakit yang ditemukan pertama kali pada 1968 itu masih menjadi tantangan hingga kini. Bukan hanya di Indonesia, juga di tingkat global dengan tren peningkatan cukup drastis selama dua dekade terakhir.

Berdasar laporan WHO, kata Indi, kasus DBD tercatat 505.430 kasus secara global pada 2000. Namun, meningkat empat kali lipat menjadi 5,2 juta dalam 2019.

“Diperkirakan terjadi sekitar 390 juta inveksi virus dengue per tahun, 96 juta bermanifestasi secara klinis,” katanya.

Sampai saat ini, katanya, ada lebih 100 negara anggota WHO yang menyandang status sebagai daerah endemik DBD. Ratusan negara itu meliputi Afrika, Amerika, Mediterania, Asia Tenggara dan Pasifik Barat.  Khusus Amerika, Asia dan Asia Tenggara berkontribusi 70% dari keseluruhan kasus global.

Indi bilang, Ppnyakit ini menyebar melalui gigitan nyamuk betina aides aegypti dan aides albopictus. Nyamuk ini juga dapat menularkan cikungunya, demam kuning hingga zika. “Ini memang banyak terjadi pada lingkungan beriklim tropis dan sub tropis,” katanya.

Transmisi penyakit DBD begitu komplek. Hal itu, katanya,  erat kaitan dengan persoalan sosial dan lingkungan, kepadatan penduduk, mobilitas manusia, hingga penyimpanan air.

Karena itu, tingkat risiko serangan DBD juga sangat tergantung pada pengetahuan dan sikap masyarakat.

 

 

 

Indi pun sepakat dengan pernyataan Amran terkait dampak perubahan iklim dalam meningkatkan risiko penyakit ini. Terlebih, nyamuk dikenal sebagai vektor yang mudah beradaptasi dengan situasi dan kondisi lingkungan yang baru. Disinilah pentingnya melakukan upaya pengendalian vektor secara berkelanjutan.

WHO pun, kata Indi, sudah menerbitkan peta jalan penangulangan penyakit tropis terabaikan, termasuk DBD. Dalam dokumen itu, WHO memasukkan DBD ke dalam 20 kelompok penyakit yang akan dicegah dan dikendalikan. Termasuk menurunkan angka kematian dari 0,8% pada 2020 menjadi 0% dalam 2030.

Roadmap ini menjelaskan,  tiga critical action mancapai target 2030, meliputi pengembangan vaksin, meningkatkan efektivitas pengendalian vektor berbasis bukti ilmiah dan berkolaborasi dengan berbagai sektor untuk menekan penyebaran nyamuk melalui penerapan teknologi wolbachia.

Menurut Indi, teknologi ini terbukti efektif di sembilan negara lain. Khusus di Indonesia, uji coba sudah di lima wilayah kota,  seperti Jakarta Barat, Bontang, Semarang dan Kupang. Ia seperti tercantum dalam SK Kemenkes Nomor 1341/2022 tentang penyelenggaraan proyek percontohan Implementasi wolbachia sebagai inovasi penanggulangan DBD.

Dia mengatakan, wolbachia merupakan ibakteri alami yang dapat mencegah nyamuk aides aegypti berkembangbiak dan menularkan virus dengue. “Uji coba sejak 2016. Hasilnya, turun (mampu menekan DBD) hingga 77%,” kata Indi.

 

Nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah. Foto: Paul I. Howell, MPH; Prof. Frank Hadley Collins/Centers for Disease Control and Prevention [CDC]/Image Number: 9534 via Britannica.com

 

Bakteri wolbachia

Kendati hasil uji coba dan laporan sejumlah riset dinilai berhasil, di lapangan penerapan wolbachia menuai pro-kontra. Rencana penyebaran telur nyamuk ber-wolbachia di sejumlah tempat terpaksa urung usai menuai penolakan warga.

Adi Utarini,  Dewan Pengarah BRIN, mengatakan, penting memahami apa dan bagaimana wolbachia. Wolbachia, katanya,  merupakan bakteri alami yang hidup dalam sel serangga, bukan bakteri dari hasil rekayasa genetika.

Wolbachia secara alami bisa ditemukan pada 60% jenis serangga dan dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui telur. Ia ada  antara lain di lalat buah, ngengat, capung dan kupu-kupu.

“Jadi,  yang berperan penting yang betina, karena telur-telur yang dihasilkan akan ber-wolbachia. Kalau jantan, terlur tidak akan menetas,” kata peneliti yang akrab disapa Prof Uut ini.

Menurut Uut, penjelasan itu perlu disampaikan karena berkaitan dengan strategi penerapan wolbachia. Misal, melepas jantan untuk mengurangi populasi nyamuk atau melepas jantan dan betina dengan harapan untuk menggantikan populasi aedes aegypti berwolbachia, seperti yang dilakukan di Yogyakarta.

Kendati demikian, Uut menggarisbawahi bahwa teknologi wolbachia hanya satu dari beberapa starategi menekan dengue. Strategi lain, katanya, bisa dengan sterilisasi nyamuk bahkan rekayasa genetika.

Mereka memilih metode wolbachia karena saat ditemukan pertama kali, bakteri ini mampu menekan replikasi virus hingga 50%.

Uut bilang, wolbachia pertama kali ditemukan peneliti dari Monash University yang kemudian berkolaborasi dengan para peneliti dari berbagai negara. Ada peneliti dari Indonesia, Vietnam, Brazil, Kolumbia bersama-sama uji klinis di lapangan. Perlu waktu 12 tahun untuk proses itu.

Para peneliti yang terlibat pun dari multidisiplin keilmuan, seperti Kesehatan Masyarakakt (Kesmas), epidemologi, biomolekular, sosial, hingga fisipol. “Jadi ini memang penelitian multi disiplin dan multiyears”.

Uut mengatakan, penerapan wolbachia merupakan intervensi jangka panjang. Praktik yang berlangsung di Yokyakarta,  misal, dengan metode penempatan. Cara itu dengan menitipkan ember kecil berisi telur nyamuk ber-wolbachia setiap dua minggu sekali.

Namun,  katanya, penitipan tidak di setiap rumah. Satu ember berlaku untuk radius 70-100 meter persegi.

 

Kader Kesehatan menunjukkan ember berisi telur nyamuk ber-Wolbachia yang akan dititipkan di rumah warga. Foto: Dokumen WMP

 

Dengan luas Yogyakarta mencapai 3.185,80 km persegi, Uut memerlukan waktu 6-7 bulan untuk melakukan penyebaran. Penyebaran dihentikan setelah hasil pemantauan didapati sekitar 60 persen nyamuk di alam mengandung wolbachia.

“Dari penyebaran ini, harapannya terjadi kawin silang antara nyamuk ber-wolbachia dengan yang tidak hingga tercipta proteksi jangka panjang terhadap komunitas,” ujar Uut.

Pada aedes aegypti, wolbachia bekerja dengan menekan, merebut makanan dalam sel yang akhirnya menghambat perkembangan virus dengue. Dengan demikian, saat nyamuk menggingit, tidak terjadi transmisi virus pada manusia.

Uut mengatakan, sejauh ini tidak ada kendala berarti dari usaha penerapan teknlogi wolbachia ini, berikut efek sampingnya. Karena itu, dia pun memastikan bila teknologi itu aman untuk manusia.

“Karena sejak awal, semua rangkaian dalam penelitian ini dengan standar tinggi, penuh kehati-hatian,” katanya.

Uji coba pertama penyebaran dengan melepas telur nyamuk wolbachia di empat dusun secara bertahap. Itupun atas seizin ethical clearance dari komisi etik dan izin operasional di lapangan dari provinsi dan kabupaten. Selain itu, mereka juga melakukan surveilans aktif dengue dengan melibatkan pasien DBD langsung.

Di setiap fase, penilaian oleh tim analisis risiko yang dibentuk Kemenristekdikti. Mereka terdiri dari lima ilmuan merupakan anggota tim inti, plus 19 orang dari berbagai disiplin keilmuan. Hasilnya, mereka menyimpulkan, risiko penerapan teknologi wolbachia dapat diabaikan alias tanpa risiko.

Kesimpulan itu pun sejalan dengan pernyataan National Environment Agency (NEA). Dalam pernyataannya, NEA memastikan wolbachia tidak berbahaya bagi manusia maupun hewan. NEA menyebut, sebagai bakteri yang jamak dijumpai pada serangga, manusia dan hewan pada dasarnya selalu terpapar wolbachia.

“Meskipun demikian, tidak ada laporan mengenai wolbachia yang menyebabkan kerusakan pada manusia maupun hewan,” tulis NEA, sebagaimana dikutip 27 November lalu.

Badan Kesehatan Dunia ini melalui forum WHO Vector Control Advisory Group ke 13 pada 2020 juga memastikan kemanan penerapan teknologi itu.

Tri Wibowo Ambar Garjito,  peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Kemenkes, mengatakan, tingginya kemampuan aedes aegypti beradaptasi menjadi problem tersendiri penanganan kasus di Indonesia.

Karena itu, pengendalian populasi nyamuk dinilai salah satu cara paling efektif untuk menekan kasus.

Beberapa program seperti pemberantasan jentik atau sarang nyamuk sejatinya selaras dengan tujuan itu. Masalahnya, kegiatan itu seringkali tidak berjalan kontinyu.

Untuk itu, penerapan teknologi macam wolbachia bisa jadi opsi menekan penyebaran vektor pembawa virus yang banyak menyebabkan kematian itu.

 

Warsito Tantowijoyo, etnomolog EDP menerangkan proses pembiakan nyamuk wolbachia. Foto: Nuswantoro

 

******

 

Exit mobile version