Mongabay.co.id

Dunia dalam Cengkeraman Industri Fosil: Pertaruhan bagi Kestabilan Ambang Batas Planet Bumi

 

Artikel ini adalah yang pertama dari tiga bagian miniseri yang melihat berbagai dampak industri bahan bakar fosil terhadap lingkungan secara global. Bagian pertama dan bagian kedua mengulas dampak buruk yang terjadi pada sembilan batas planet, sedangkan bagian ketiga membahas solusi ekonomi sirkular.

Bagian kedua: Energi Fosil dan Dampak Ambang Batas Planet: Berubahnya Siklus Hidrologi Bumi dan Ancaman Kekeringan

Bagian ketiga: Meninggalkan Ekonomi Hidrokarbon, Beralih ke Ekonomi Sirkular yang Mendukung Batas Planet

***

 

Jika bicara tentang perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi bahan bakar fosil, tahun 2023 adalah yang terburuk. Negara-negara di Amerika Selatan dilanda gelombang panas yang luar biasa pada pertengahan musim dingin, Antartika mencatat rekor pencairan es laut yang luar biasa, lautan di dunia dilanda gelombang panas laut yang ekstrem, serta terbentuknya kubah-kubah panas di Amerika Utara.

Semua ini terjadi, saat para ilmuwan mengonfirmasi bahwa tahun 2023 “hampir pasti” menjadi tahun terpanas dalam 125.000 tahun terakhir.

Namun peristiwa-peristiwa tersebut, -dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya – walau bersifat ekstrem dan menakutkan, bukan menjadi satu-satunya ancaman lingkungan bumi.

Para peneliti menyebut jika manusia telah mendorong bumi kepada kondisi sembilan “batas operasi aman”, dimana 6 diantaranya telah terlampaui.

Keenamnya adalah batas bahaya untuk perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan sistem lahan, perubahan air tawar, polusi nitrogen, dan polusi kimia (atau yang dikenal sebagai: entitas baru).

Tekanan terhadap dua batasan aman planet lainnya, emisi aerosol di atmosfer dan pengasaman laut pun semakin memburuk. Namun keduanya, serta penipisan ozon di stratosfer, masih berada dalam batas aman, setidaknya untuk sementara.

De-stabilisasi parah yang terjadi pada satu sistem operasi alami Bumi saja bisa berakibat buruk, apalagi jika pelanggaran terhadap enam dari sembilan batas yang bakal memicu kerusakan dan dampak yang amat serius.

Peristiwa yang dipicu oleh perubahan iklim tahun ini, bersama dengan bukti lima pelanggaran batas serius lainnya, kemudian mendorong Mongabay untuk mengajukan pertanyaan hipotesis ini:

Bahan bakar fosil, industri agrokimia dan petrokimia adalah pendorong utama krisis iklim, namun seberapa besar pengaruh minyak, gas alam dan industri batu bara berkontribusi terhadap destabilisasi delapan batas planet lainnya?

Bagi Katherine Richardson, seorang profesor di University of Copenhagen dan penulis pertama tentang pembaruan batas-batas planet, baru-baru ini menyebut secara eksplisit bahwa bahan bakar fosil berdampak tidak hanya pada satu, namun pada banyak batasan, khususnya dua: iklim dan keanekaragaman hayati.

“Tujuh batas planet lainnya beroperasi berdasarkan salah satu batas tersebut,” katanya. “Secara historis kita mengira bahan bakar fosil adalah sumber energi yang tidak ada habisnya, dan tidak menyadari [dampak] eksternalitas yang terkait dengannya.”

Eksternalitas yang merugikan tersebut jika tidak segera dikendalikan dapat mendorong perubahan yang tidak dapat diubah dan akan menghadirkan ancaman besar bagi dunia kita.

Pembaruan kerangka batas planet pada tahun 2023 menilai bahwa enam dari sembilan kini telah dilanggar. Namun, para ilmuwan yang terlibat dalam kerangka tersebut, dan para pengkritiknya, sepakat bahwa sistem Bumi sangat kompleks, sehingga sulit untuk mencapai metrik yang tepat untuk menentukan batas yang melampaui batas. Untuk mengimbangi ketidakpastian ini, para ilmuwan mengandalkan prinsip kehati-hatian untuk membantu menentukan pagar pembatas yang aman bagi aktivitas manusia. Dokumen: Azote for Stockholm Resilience Centre, Stockholm University. Berdasarkan Richardson dkk. 2023, Steffen dkk. 2015, dan Rockström dkk. 2009.

 

Mendobrak Batasan: Perubahan iklim

Kita mulai dengan pelanggaran batas planet yang paling terkenal, yaitu kekacauan iklim yang terkait dengan produksi dan pembakaran minyak, gas alam, dan batu bara.

Peristiwa ekstrem di tahun 2023 membawa dampak jelas: kebakaran hutan di Kanada; gelombang panas di Asia Selatan, Afrika dan Eropa; dan kekeringan di Amerika Selatan.

“Kami terus melihat peningkatan dampak cuaca ekstrem, dan terus melihat peran perubahan iklim sebagai penyebab ekstrem itu,” sebut Joyce Kimutai, ilmuwan iklim di World Weather Attribution Consortium.

“Industri bahan bakar fosil melalui emisi gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global,” katanya.

Pembakaran bahan bakar fosil memang telah memberikan banyak manfaat bagi umat manusia, dalam menggerakkan perekonomian modern yang besar. Namun ia juga menyumbang bagian terbesar dari pemanasan sebesar 1,2°C di era industri. Pembakaran hidrokarbon bertanggungjawab atas 80 persen emisi CO2.

Karbon memerangkap panas dan gas rumah kaca lain seperti metana dan dinitrogen oksida, yang dilepaskan ke atmosfer bumi serta mengganggu siklus karbon bumi dengan konsekuensi yang serius.

“Selama beberapa dekade terakhir penggunaan bahan bakar fosil tidak berkelanjutan bagi planet,” kata Benjamin Franta, peneliti senior dan Kepala Laboratorium Litigasi Iklim di University of Oxford.

“Menunda peralihan dari bahan bakar fosil telah menimbulkan dampak yang tidak dapat berubah, sekarang kita telah rasakan dampaknya.”

 

Kebakaran hutan di Pine Gulch, Colorado. Penelitian yang dipimpin oleh Kristina Dahl, ilmuwan iklim di Persatuan Ilmuwan Peduli, mengaitkan cuaca kebakaran di Amerika Serikat Bagian Barat secara langsung dengan emisi dari perusahaan bahan bakar fosil. Foto: Eric Coulter/Biro Pengelolaan Lahan melalui Flickr (Domain publik).

 

Pada tahun 2022, pembakaran bahan bakar fosil melepaskan sekitar 36,6 miliar ton CO2, dan meningkatnya CO2 di atmosfer menjadi 417,06 bagian per juta. Meskipun peringatan para ilmuwan dan PBB telah  mendesak pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, ternyata subsidi dari negara-negara di dunia untuk industri minyak, gas, dan batu bara telah meningkat. Dana Moneter Internasional (IMF), menyebut ia mencapai rekor baru pada tahun 2022.

Jika emisi terus berlanjut, dan kegagalan untuk mengekangnya, akan menempatkan pemanasan global pada 2,5°C di akhir abad ini. Lalu apa dampak risikonya?

Peter Thorne, seorang ilmuwan iklim di Maynooth University di Irlandia dan salah satu penulis laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPPC) PBB, menyebut dampak pemanasan 1°C saja sudah mengkhawatirkan, 1,5°C buruk, dan 2°C akan jauh lebih buruk.

Kenaikan 2°C dianggap sebagai “ambang batas kritis” yang berpotensi memperbesar dampak iklim yang telah kita saksikan, membawa gelombang panas, kebakaran, kekeringan, badai, kenaikan permukaan laut, dan risiko lebih ekstrim terhadap kehidupan manusia.

Tahun lalu, sekelompok peneliti internasional menerbitkan “Lancet Countdown,” sebuah laporan yang merinci bagaimana perubahan iklim yang menempatkan manusia pada ketergantungan pada bahan bakar fosil akan berada dalam kondisi rentan, meningkatkan penyakit, dan mendorong kerugian ekonomi.

Pada tahun ini, peristiwa cuaca ekstrem menimbulkan kerugian besar terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, jelas Marina Romanello, Direktur Eksekutif “Lancet Countdown. “Apa yang kami lihat adalah keadaan yang menjadi semakin buruk.”

Industri bahan bakar fosil adalah pendorong utama krisis global yang berdampak pada masyarakat paling rentan di negara-negara kaya dan miskin, tambahnya.

Badan Energi Internasional baru-baru ini misalnya, menyatakan permintaan bahan bakar fosil harus turun seperempatnya pada tahun 2030, agar kenaikan suhu 1,5°C, tetap terbuka.

“Tidak ada kata terlambat untuk bertindak,” kata Thorne. Sebut IPCC dalam siklus laporan penilaian ini.

 

Emisi metana yang terkait dengan aktivitas minyak dan gas menjadi perhatian para ilmuwan. Gas rumah kaca yang berumur pendek ini dianggap 87 kali lebih kuat dibandingkan CO2. Jumlah yang besar – sekitar sepertiga dari seluruh emisi yang berasal dari aktivitas manusia – terkait dengan aktivitas bahan bakar fosil, namun menurut penelitian, jumlah tersebut masih dianggap terlalu rendah. Teknologi yang ada dapat mengurangi emisi metana secara drastis hingga 75 persen. Foto: Devon Chandler melalui Pixabay (Domain publik).

 

‘Trio Maut’: Bahan Bakar Fosil dan Ancaman bagi Lautan

Kehidupan dimulai dari laut. Namun kini mereka menghadapi risiko serius. Tahun ini, peristiwa pemutihan massal terjadi di Karibia, meski total kerusakan terumbu karang di sana baru bisa teridentifikasi dalam enam bulan ke depan.

“Ini adalah peristiwa tekanan panas paling parah yang pernah terjadi di wilayah Barat Laut Samudera Atlantik dan Laut Karibia, dan ini masih terus berlangsung,” ungkap Derek Manzello, koordinator Coral Reef Watch di Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS.

Pemutihan juga terjadi di wilayah Pasifik bagian timur, Teluk Persia, dan Laut Merah, yang menjadikannya peristiwa bencana paling parah.

El Niño yang terjadi secara alami pada tahun 2023, ditambah pemanasan yang diakibatkan pembakaran fosil, menjadi pemicu. “Peristiwa El Niño semakin memburuk seiring berjalannya waktu,” lanjutnya.

Menurut para ahli, pemutihan saja bukan hanya sebuah lonceng kematian bagi karang, namun membuat karang menjadi rentan bertahun-tahun kemudian. Namun, pemutihan bukan satu-satunya penyebab stres laut saat ini.

Ancaman lain adalah pengasaman laut, salah satu dari sembilan batas planet telah melemahkan ketahanan laut. Sekitar seperempat emisi CO2 terserap oleh lautan dunia dan menjadi pemicu turunnya tingkat pH laut. Pengasaman laut menjadi ancaman bagi organisme laut, khususnya makhluk pengapur, seperti kerang.

 

Seorang penyelam berenang melintasi karang yang memutih di sepanjang Cheeca Rocks, Florida Keys. Awal tahun ini, peristiwa pemutihan massal terjadi. Foto: Program Karang Laboratorium Oseanografi dan Meteorologi Atlantik (AOML) NOAA.

 

Saat ini, ambang batas planet untuk pengasaman laut masih dikategorikan “berada di batas ruang operasi yang aman” namun dengan terus adanya pembakaran bahan bakar fosil, batas tersebut akan segera terlampaui. Adapun pH laut telah menurun dari 8,16 menjadi 8,07; dan bisa turun menjadi 8,01 pada tahun 2100.

Meningkatnya pengasaman hanyalah salah satu dari “trio maut” pembunuh lautan yang terkait dengan pembakaran bahan bakar fosil dan industri agrokimia berbasis minyak bumi.

Dua penyebab lainnya adalah perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan suhu laut secara keseluruhan, yang seiring dengan meningkatnya gelombang panas laut dan eutrofikasi perairan pesisir telah menyebabkan hilangnya oksigen laut yang berbahaya bagi biota.

Eutrofikasi disebabkan oleh pemanasan laut dan masuknya limpasan pertanian secara besar-besaran dalam bentuk pupuk nitrogen sintetis yang bersumber dari bahan bakar fosil.

Ketiga ancaman kelautan ini harus dipertimbangkan bersama-sama, kata Hans-Otto Pörtner, ilmuwan peneliti di Alfred-Wegener Institute dan mantan ketua Kelompok Kerja II IPCC. Ketiga ancaman tersebut saling berhubungan dan berinteraksi, sehingga mengganggu stabilitas ekosistem laut.

“Saat ketiganya terjadi secara bersamaan, spesies akan kehilangan kapasitasnya untuk menyesuaikan diri, beradaptasi, dan menyesuaikan diri,” sebutnya.

“Jika Anda melihat sejarah bumi tentang peristiwa kepunahan massal: Permian-Triassic [dikenal sebagai Great Dying] kemungkinan besar terkait dengan tiga hal. Pemanasan, pengasaman, dan hilangnya oksigen.” kata Pörtner. Kepunahan Permian memusnahkan 96 persen spesies laut dan 70 persen kehidupan darat.

“Tanpa pengurangan emisi gas rumah kaca secara global, masa depan terumbu karang akan sangat buruk. Ini adalah situasi yang sangat parah yang sedang kita hadapi,” kata Manzello.

Kerusakan terumbu karang tidak hanya merusak kesehatan laut, namun juga mata pencaharian masyarakat, sumber makanan, perekonomian, dan memperburuk banjir di area pesisir.

 

Terminal minyak di Laut Utara. Para ahli menyatakan bahwa eksploitasi cadangan bahan bakar fosil baru tidak sesuai dengan upaya mempertahankan suhu di bawah target PBB sebesar 1,5°C. Awal tahun ini, pemerintah Inggris, telah merilis izin-izin pengeboran baru di Laut Utara. Foto: joiseyshowaa melalui Flickr (CC BY-SA 2.0).

 

Agrokimia: Bahan Bakar Fosil Bentuk Lain

Setelah “trio maut” pengancam lautan yaitu perubahan iklim, pengasaman, dan eutrofikasi, masih ada lagi yang perlu disampaikan: hilangnya oksigen.

Selain disebabkan oleh pemanasan, eutrofikasi diperparah oleh membludaknya sampah yang berasal dari daratan yang berasal dari peningkatan limpasan pertanian dan air limbah. Ia menghasilkan pertumbuhan ganggang muara yang luas dan gelombang merah yang mencekik kehidupan perairan pesisir.

Sejak tahun 1960an, wilayah dengan kadar oksigen rendah di lautan terbuka meningkat sebesar 4,5 juta kilometer persegi, sementara lebih dari 500 lokasi dengan kadar oksigen rendah terdapat di muara dan wilayah pesisir dunia.

Menurut para ahli, produksi pupuk sintetik telah merevolusi pertanian global. Namun kemajuan itu harus dibayar mahal. Polusi nitrogen dan fosfor global adalah ambang batas pertama yang dilanggar manusia pada dekade 1960-1970an.

Beberapa perkiraan menemukan bahwa sebanyak 80 persen nitrogen sintetis yang digunakan di daratan hilang ke lingkungan. Ia menambah perubahan iklim melalui emisi dinitrogen oksida di atmosfer, yang mengalir ke lautan serta menghilangkan oksigen dari keanekaragaman hayati laut.

Zona mati di Teluk Meksiko, yaitu hamparan luas pasang surut oksigen rendah, mencapai puncaknya pada 8.776 mil persegi pada tahun 2017.

Sekali lagi, jejak bahan bakar fosil terlihat jelas di sini: Sekitar separuh pupuk di dunia berasal dari sumber bahan bakar fosil.

Amonia yang menjadi komponen utama pupuk nitrogen sintetis merupakan sumber dari 1-2 persen emisi gas rumah kaca global di atmosfer (hampir setara dengan emisi tahunan Jerman). Pupuk tersebut sebagian besar bersumber dari bahan bakar fosil, seperti batu bara dan metana.

Energi bahan bakar fosil dalam jumlah besar digunakan untuk memproduksi pupuk nitrogen, yang digunakan secara tidak efisien. Dampaknya memperburuk eutrofikasi, berkontribusi pada perubahan iklim, dan merugikan keanekaragaman hayati, jelas Peter Kopittke, profesor ilmu tanah di University of Queensland.

Dalam laporan tahun 2022, Center for International Environmental Law (CIEL) mencatat jika industri bahan bakar fosil dan industri agrokimia memiliki keterkaitan erat.

“Industri bahan bakar fosil mempunyai kepentingan untuk menjaga sistem pangan industri pertanian tetap hidup. Mereka menjual produk agrokimia yang merupakan bahan bakar fosil dalam bentuk lain,” kata Lisa Tostado, juru kampanye agrokimia dan bahan bakar fosil CIEL.

 

Produksi pupuk nitrogen sintetik sangat erat kaitannya dengan stok bahan bakar fosil, yang berdampak pada berbagai batasan planet termasuk iklim dan aliran biogeokimia nitrogen. Foto: eutrofikasi & hipoksia melalui Flickr (CC BY 2.0).

 

Kompleks produksi industri petrokimia di Rotterdam, Belanda. Foto: AnnetteWho melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Siasat ‘Plan B’ Industri Bahan Bakar Fosil

“Industri bahan bakar fosil, agrokimia, dan petrokimia pada dasarnya adalah satu dan sama,” jelas Fredric Bauer, seorang profesor di Lund University, tempat ia meneliti hubungan antara bahan bakar fosil dan petrokimia.

Saling ketergantungan itu disengaja. Seiring dengan meningkatnya peraturan emisi karbon yang membuat mobil listrik beredar di jalan raya, permintaan bensin diperkirakan akan menurun.

Namun perusahaan bahan bakar fosil berencana untuk tetap hidup dan berkembang dengan mengalihkan produksinya ke petrokimia, katanya.

“Apa yang kami lihat adalah masa depan bahan bakar fosil yang telah mengantisipasi penurunan permintaan pasar. Industri melihat adanya permintaan bahan kimia dan plastik yang belum terpenuhi di negara-negara maju.”

Petrokimia diperkirakan menyerap sepertiga permintaan minyak pada tahun 2030, dan hampir setengahnya pada tahun 2050. Ini melampaui permintaan bahan bakar fosil yang dihasilkan oleh truk, penerbangan, dan pelayaran.

Asosiasi Energi Internasional, menyebut sebagian besar produksi tersebut ditujukan untuk memproduksi pupuk sintetis dan, -khususnya, plastik.

“Untuk memastikan masa depan [bisnisnya], industri akan banyak sekali mengubah minyak menjadi bahan kimia dan plastik,” tambah Bauer.

Bauer dan rekan-rekannya memperkirakan bahwa pada tahun 2020, industri kimia secara langsung bertanggungjawab atas sekitar 4 persen emisi gas rumah kaca global, dan secara tidak langsung sekitar 10 persen. Angka-angka tersebut dipastikan terus meningkat.

Dan dampak industri petrokimia ini jauh melampaui emisi karbon. “Kami melihat adanya dampak di beberapa ambang batasan planet termasuk aliran biogeokimia nitrogen, penggunaan air tawar, dan entitas baru,” kata Bauer.

 

Pada tahun 2010, bencana Deepwater Horizon melepaskan sekitar 4,9 juta barel minyak dan gas ke Teluk Meksiko, berdampak pada kehidupan laut, termasuk karang di laut dalam. Dispersan yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak di perairan dalam terbukti lebih beracun bagi karang dibandingkan dengan tumpahan minyak itu sendiri. Foto: Penjaga Pantai AS melalui Wikimedia Commons (Domain Publik).

 

Entitas Baru: Polusi Plastik dan Bahan Kimia

Plastik adalah polutan paling terkenal yang dihasilkan industri petrokimia saat ini. Ia terdapat di mana-mana. Di atmosfer, palung laut dalam, air tawar, awan, di dalam tubuh berbagai spesies darat dan laut, termasuk plankton laut, bahkan di dalam tubuh kita sendiri.

Adapun 99 persen plastik terbuat dari bahan bakar fosil, dengan produksi global diperkirakan meningkat dua kali lipat pada tahun 2040, yang kemudian meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2060.

Diperkirakan 13.000 bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan plastik dan lebih dari 3.200 bahan kimia diketahui memiliki satu atau lebih sifat berbahaya.

Patricia Villarrubia-Gómez, Ph.D. kandidat di Stockholm Resilience Centre, menggarisbawahi bahwa di setiap tahap, mulai dari ekstraksi bahan mentah, hingga produksi dan pembuangan  plastik telah mengganggu kestabilan sembilan ambang batas planet. Termasuk ancaman bagi keanekaragaman hayati, ekosistem, dan kesehatan manusia.

“Plastik adalah hal baru yang mendorong perubahan di planet ini,” katanya.

Plastik hanyalah salah satu kelompok bahan kimia yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai bahan bakunya. Masih terdapat ratusan ribu bahan kimia, zat aditif, dan senyawa yang diproduksi dan dilepaskan ke lingkungan. Secara ilmiah, ini dikenal dengan istilah: “entitas baru”.

Para ilmuwan menyatakan bahwa entitas baru telah melampaui batas planet pada bulan Januari 2022 karena masuknya bahan kimia sintetis dalam kehidupan dan lingkungan yang jauh lebih cepat. Para peneliti sulit untuk mengevaluasi keamanannya, kita sendiri buta terhadap masa depan petrokimia.

“Hubungan antara perubahan iklim, keracunan bahan kimia, polusi plastik, dan hilangnya keanekaragaman hayati merupakan ancaman nyata di seluruh dunia,” kata profesor University of Gothenburg, Bethanie Carney Almroth.

“Bahan kimia industri yang berasal dari bahan bakar fosil adalah sumber utama dari entitas baru, dan polusi kimia. Secara global, terdapat ribuan jalur berbeda dimana bahan kimia dari bahan bakar fosil masuk ke lingkungan,” jelas Michael Bertram, ahli ekotoksikologi di Swedish University of Agricultural Sciences.

Mengembalikan pelanggaran ambang batas planet oleh entitas baru tidak mungkin dilakukan dengan  ilmu pengetahuan saat ini. Triliunan partikel mikroplastik sudah ada di lingkungan, serta sifat persisten berbagai kelas bahan kimia yang berpotensi beracun telah lepas ke alam, menurut Carney Almroth.

“Kita sedang beralih ke keadaan normal baru. Jika kita ingin keadaan ini lebih aman, kita perlu mengubah apa yang kita ekstrak dan produksi,” ujarnya. “Kita perlu membatasi bahan bakar fosil dan menguranginya secara bertahap secepat mungkin.”

 

***

 

Pada tahun 1930-an, perusahaan DuPont menciptakan slogan, “Hidup lebih baik melalui kimia.” Slogan itu ternyata hampa setelah lebih dari satu abad. Bahan bakar fosil dan petrokimia berdampak buruk, sesuatu yang tidak digembar-gemborkan oleh para produsen. Ia mengganggu kestabilan iklim; mengasamkan dan mendeoksigenasi lautan; mencemari udara, air dan tanah; dan membahayakan ekosistem dan kehidupan manusia.

Tulisan asli: Beyond climate: oil, gas and coral are destabilizing all 9 planetary boundaries. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Lanjut membaca tulisan berikutnya:  Energi Fosil dan Dampak Ambang Batas Planet: Berubahnya Siklus Hidrologi Bumi dan Ancaman Kekeringan

 

Referensi:

Richardson, K., Steffen, W., Lucht, W., Bendtsen, J., Cornell, S. E., Donges, J. F., … Rockström, J. (2023). Earth beyond six of nine planetary boundaries. Science Advances, 9(37). doi:10.1126/sciadv.adh2458

IPCC, 2023: Sections. In: Climate Change 2023: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing Team, H. Lee and J. Romero (eds.)]. IPCC, Geneva, Switzerland, pp. 35-115, doi: 10.59327/IPCC/AR6-9789291691647

Romanello, L., Di Napoli, C., Drummond, P., Green, C., Kennard, H., Lampard, P., … Costello, A. (2022). The 2022 report of the Lancet Countdown on health and climate change: health at the mercy of fossil fuels. The Lancet. Retrieved from https://www.thelancet.com/article/S0140-6736(22)01540-9/fulltext

Findlay, H. S., & Turley, C. (2021). Chapter 13 – Ocean acidification and climate change. In Climate Change (Third Edition) (pp. 251-279). Elsevier.

Richardson, K., Steffen, W., Lucht, W., Bendtsen, J., Cornell, S. E., Donges, J. F., … Rockström, J. (2023). Earth beyond six of nine planetary boundaries. Science Advances, 9(37). doi:10.1126/sciadv.adh2458

Sandström, V., Kaseva, J., Porkka, M., Kuisma, M., Sakieh, Y., & Kahiluoto, H. (2023). Disparate history of transgressing planetary boundaries for nutrients. Global Environmental Change, 78, 102628. doi:10.1016/j.gloenvcha.2022.102628

The nitrogen challenge. (2021). One Earth, 4(1), 1-2. doi:10.1016/j.oneear.2021.01.001

Bauer, F., Kulionis, V., Oberschelp, C., Pfister, S., Tilsted, J. P., Finkill, G. D., & Fjäll, S. (2022). Petrochemicals and Climate Change: Tracing Globally Growing Emissions and Key Blind Spots in a Fossil-Based Industry. (IMES/EESS report; Vol. 126). Lund University. https://portal.research.lu.se/en/publications/petrochemicals-and-climate-change-powerful-fossil-fuel-lock-ins-a

Biswal, B. K., & Balasubramanian, R. (2023). Chapter 3 – Microplastics in aquatic and atmospheric environments: Recent advancements and future perspectives. In Emerging Aquatic Contaminants (pp. 49-84). Elsevier.

Peng, G., Bellerby, R., Zhang, F., Sun, X., & Li, D. (2020). The ocean’s ultimate trashcan: Hadal trenches as major depositories for plastic pollution. Water Research, 168, 115121. doi:10.1016/j.watres.2019.115121

Azevedo-Santos, V. M., G. Brito, M. F., Manoel, P. S., Perroca, J. F., Rodrigues-Filho, J. L., P. Paschoal, L. R., … Pelicice, F. M. (2021). Plastic pollution: A focus on freshwater biodiversity. Ambio. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8116388/

Thrift, E., Porter, A., Galloway, T. S., Coomber, F. G., & Mathews, F. (2022). Ingestion of plastics by terrestrial small mammals. Science of The Total Environment, 842, 156679. doi:10.1016/j.scitotenv.2022.156679

Kuhlman, R. L. (2022). Letter to the editor, discovery and quantification of plastic particle pollution in human blood. Environment International, 167, 107400. doi:10.1016/j.envint.2022.107400

Chemicals in Plastics – A Technical Report. (2023). Retrieved from United Nations Environment Programme website: https://www.unep.org/resources/report/chemicals-plastics-technical-report

Levi, P. G., & Cullen, J. M. (2018). Mapping global flows of chemicals: From fossil fuel feedstocks to chemical products. Environmental Science & Technology, 52(4), 1725-1734. doi:10.1021/acs.est.7b04573

Tollefson, J. (2023). Earth’s hottest month: These charts show what happened in July and what comes next. Nature, 620(7975), 703-704. doi:10.1038/d41586-023-02552-2

Shen, L., Jacob, D. J., Gautam, R., Omara, M., Scarpelli, T. R., Lorente, A., … Lin, J. (2023). National quantifications of methane emissions from fuel exploitation using high resolution inversions of satellite observations. Nature Communications, 14(1). doi:10.1038/s41467-023-40671-6

Hmiel, B., Petrenko, V. V., Dyonisius, M. N., Buizert, C., Smith, A. M., Place, P. F., … Dlugokencky, E. (2020). Preindustrial 14CH4 indicates greater anthropogenic fossil CH4 emissions. Nature, 578(7795), 409-412. doi:10.1038/s41586-020-1991-8

Fisher, C. R., Demopoulos, A. W., Cordes, E. E., Baums, I. B., White, H. K., & Bourque, J. R. (2014). Coral communities as indicators of ecosystem-level impacts of the Deepwater Horizon spill. BioScience, 64(9), 796-807. doi:10.1093/biosci/biu129

DeLeo, D. M., Ruiz-Ramos, D. V., Baums, I. B., & Cordes, E. E. (2016). Response of deep-water corals to oil and chemical dispersant exposure. Deep Sea Research Part II: Topical Studies in Oceanography, 129, 137-147. doi:10.1016/j.dsr2.2015.02.028

Trowbridge, J., Goin, D. E., Abrahamsson, D., Sklar, R., & Woodruff, T. J. (2022). Fossil fuel is the common denominator between climate change and petrochemical exposures, and effects on women and childrenʼs health. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 160(2), 368-371. doi:10.1002/ijgo.14408

Woodruff, T. J., Charlesworth, A., Zlatnik, M. G., Pandipati, S., DeNicola, N., & Latif, I. (2023). Code OB: We need urgent action on climate change and toxic chemicals. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 160(2), 363-365. doi:10.1002/ijgo.14566

 

Exit mobile version