Mongabay.co.id

Sefnat Sailana, Tokoh Agama Peduli dan Penjaga Lingkungan Hidup dari Alor

 

 

 

 

 

 

 

Sefnat Sailana menyusuri hutan gereja di Kelaisi Timur, Alor Selatan, Nusa Tenggara Timur, hari itu. Liklat, anjing putih Sefnat selalu membuntuti kami. Sambil mengunyah pinang dan menyanggul golok di pinggangnya, Sefnat menunjukkan jenis-jenis pohon dan beberapa tanaman pangan di kebun kemakmuran gereja yang mereka tanam.

Sefnat adalah pendeta yang baru pensiun (emeritus) awal 2023. Dia pernah menjadi Ketua Klasis Alor Tengah Selatan, periode tahun 2001-2011 dan 2015-2023. Hutan gereja dan kebun kemakmuran adalah program Sefnat Sailana sejak jadi ketua klasis.

Emeritus pendeta protestan itu kini tinggal di Kelurahan Kelaisi Timur, Alor Selatan, Alor. Dia banyak melakukan aksi-aksi penyelamatan dan perawatan lingkungan dari balik gereja sejak aktif jadi pendeta sampai pensiun.

Awalnya dia gelisah melihat warga sekitar banyak menebang pohon untuk berbagai keperluan, baik rumah maupun gereja, sedang yang menanam pohon tidak sebanyak yang menebang.

“Waktu itu, saya terinspirasi ketika kita bikin rumah gereja, kita tebang pohon. Ketika kita bikin rumah jabatan gereja kita tebang pohon, warga pun tebang pohon. Pertanyaannya, berapa yang kita tanam?’ Akhirnya terinspirasi, lebih baik buat hutan gereja. Ya, kita jangan hanya tebang, tapi juga tanam,” kata Sefnat, 11 November lalu.

Sejak saat itu dia berkomitmen terus menghijaukan daerahnya dengan menanam pohon sebanyak-banyaknya. Saat hendak memberikan pelayanan kepada jemaat, dari rumah ke rumah atau dari gereja ke gereja, Sefnat berjalan kaki sambil membawa bibit pohon untuk ditanam di sepanjang jalan yang dia lewati.

Dia terbiasa melakukan itu, bahkan pernah sampai empat hari jalan kaki, istirahat di jalan, karena awal tahun 2000-an tidak ada motor.

“Hutan gereja itu hanya sebagai contoh. Jadi kita fokusnya kalau bisa setiap orang mesti punya hutan,” katanya.

Bukan hanya Sefnat, anak-istrinya pun terlibat dalam gerakan itu.

“Dulu, bapak masih ketua klasis … kalau mau pergi ke jemaat mana gitu, itu sudah siap memang anakan (bibit pohon), jadi pergi ke sana, tanam di sana, (jalan) sambil menanam,” kata Yublina Asadama, istri Sefnat.

Bukan hanya menanam di sepanjang jalan, Yublina Asadama–biasa dipanggil Mama Opi–bilang,  suaminya itu melarang keluarganya itu membunuh atau menyakiti hewan-hewan yang ditemui di tengah jalan, semisal ular.

Ular juga ciptaan Tuhan, bagian dari alam yang harus dilindungi, meskipun dalam kepercayaan di sana ular direpresentasikan sebagai jelmaan setan. Sefnat tidak berpikir seperti itu. Menurut dia, setan ada dalam diri manusia.

 

 

Pohon kemiri di Alor. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Sempat terpikir di benak mama Opi bahwa suaminya bekerja terlalu keras hingga terkadang kurang memperhatikan kesehatan.

Bagi Sefnat, harus memberikan teladan kepada para jemaat bukan sekadar khutbah di atas mimbar gereja, tetapi bersama jamaat. Sefnat mengajarkan para jemaat untuk tanam pohon apa saja. Dia selalu bilang, kalau lingkungan baik, maka hidup akan baik.

Sedikit demi sedikit warga mendapatkan manfaat atas gerakan yang dilakukan Sefnat.

“Jadi beliau ini, bapak pendeta ini, ajar kami jamaat itu. semua tanaman harus tanam, air saja harus tanam…. Jadi, ini air tidak sulit dicari,” kata Immanuel Onlet, Jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Bethel Katang, saat ditemui di gereja seusai ibadah. November lalu.

“Beliau suruh kami tanam. Beliau sama-sama, bukan hanya omong saja, beliau tanam ya kita tanam. Jadi, rumput di jalan itu ditanam.”

Onlet bilang, tanaman-tanaman itu menjadi saksi atas kekonsistenan Sefnat dalam melakukan penghijauan di hutan dan kebun.

Pemahaman dan perilaku masyarakat Alor mulai berubah terkait lingkungan, khusus,  para jemaat. Mereka mulai tinggalkan tani  bakar hutan atau sebagian bukit di Alor untuk jadi lahan pertanian. Biasa, setelah tanam dan selesai panen, ladang itu ditinggalkan begitu saja. Ketika ingin bertani lagi, mereka membakar hutan lagi dan ditinggalkan lagi seusai panen, begitu seterusnya.

Sistem  ini mulai ditinggalkan. Mereka mulai menggunakan lahan permanen, sedangkan lahan-lahan yang telah dibersihkan itu ditanami pohon kembali.

“Dampaknya itu kebiasaan orang membakar hutan itu sudah, khusus untuk jemaat sini itu, sudah tidak ada. Jadi ada pemahaman, peningkatan pemahaman, untuk bisa berpikir tentang masa depan,” Immanuel Langmao, jemaat GMIT Ebenhaezer Apui.

Jemaat diarahkan untuk tanam pohon-pohon yang berusia panjang, seperti pohon kemiri. Selain bagus untuk konservasi lingkungan juga menghasilkan. Kemiri sudah menjadi salah komoditas unggulan di Alor.

“Hingga [ketika] kemiri sudah jadi, tidak mungkin orang potong lagi. Sekaligus, kemiri juga kan pohonnya besar, itu juga konservasi alam,” kata Sefnat.

Saat ini, gereja se-Klasis Alor Tengah Selatan punya sekitar 30 hektar kebun gereja dan 60 hektar kebun kemakmuran. Setiap gereja memiliki luas hutan dan kebun berbeda-beda. Ada satu gereja punya 3-4 kebun dan 2-3 hutan. Luasan ini bukan ukuran pasti karena satu kebun atau hutan biasa satu atau sebagian lereng bukit. Satu lereng bukit diasumsikan satu hektar oleh mereka.

Dia berangan, 20-30 tahun ke depan gereja tak akan kekurangan kayu bila ingin bangun gereja atau rumah dinas para pelayan jemaat dengan syarat keberlangsungan hutan harus terus terjaga. Pemanfaatan bisa, dengan tetap terus menanam. Warga atau gereja yang tebang pohon harus tanam pohon lebih banyak daripada yang ditebang.

Sefnat menggalakkan kampanye “Telah Kutemukan Eden yang Hilang” dalam mengkonservasi hutan. Tujuannya,  menggambarkan bahwa menjaga hutan berarti menjaga Eden yang hilang dalam kepercayaan Kristen Protestan.

Dia mengadopsi frase-frase dalam Al-Kitab supaya istilah-istilah yang dipakai itu mudah diterima dan dipahami para jemaat. Itu pula alasan dia tidak menggunakan istilah populer dalam masyarakat modern, semisal eco-gereja.

 

Sumur resapan di sekitar GMIT Ebenhaezer Apui. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Pagar hidup

Langit mulai memerah di ufuk barat. Kami keluar hutan gereja melewati perkampungan warga. Sebagian besar rumah warga terbuat dari papan.

Sebuah rumah dinding bata yang sebagian roboh karena terkena gempa. Sefnat bilang, daerah Alor rawan gempa hingga rumah papan menjadi alternatif mengantisipasi bencana ini.

Rumah-rumah di perkampungan Keleasi Timur itu dipagari pohon-pohon yang potong rapi. Di sepanjang jalan banyak terdapat tempat sampah dari bambu. Kami berdua kerap dipanggil warga untuk mampir ke rumah mereka. “Bai, mampir dulu ko,” kata warga pada Sefnat. Bai adalah panggilan untuk orang yang dituakan.

Awalnya banyak warga menggunakan pagar bambu di rumah mereka. Dia mengimbau warga pakai “pagar hidup,” rumah yang dengan tanaman. Selain lebih asri, dengan pagar hidup biaya lebih murah juga tahan gempa.

“Kita tanam pagar hidup. Kalau di sini, mereka mau bikin pagar, pagar mati, tapi potong kayu, bambu, musti paku, musti cat, costnya tinggi, dan tidak ramah lingkungan. Lebih baik kita tanam pagar hidup.”

Selain pagar hidup, dia juga menganjurkan untuk menanam bunga di halaman rumah supaya lebih asri dan indah. Paling tidak,  dalam satu rumah ada dua tanaman bougenville (bougainvillea).

Saat Sefnat pindah tugas ke gereja lain sebagai pendeta, hal pertama yang dia sampaikan kepada jemaat lingkungan, melindungi satwa dan anjuran untuk menanam pohon.

“Sampai lingkungan ini (saat beliau datang), jadi kami (beri) gelar ‘itu pendeta, itu pendeta pertanian.’ Nah, sekarang baru paham bahwa memang pendeta itu, salah satunya itu tugasnya,” kata Yahya Sabila, jemaat Gereja Mahanaim Maipiy.

 

 

Rumah warga Alor yang menggunakan pagar hidup, indah dan asri. Tempat penampungan air di GMIT Mahanaim Maipiy. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

 

Air Gereja

Tempat tugas Sefnat sebagai pendeta di Alor pertama kali adalah di GMIT Ebenhaezer Apui. Dia pindah dari Rote ke Alor pada 1999 setelah mengabdi di sana sejak 1994. Sefnat dihadapkan pada daerah yang sulit air.

Warga harus berjalan kaki dari rumah ke sumber air untuk mengambil air dengan bambu. Seruas bambu berukuran besar sebagai tempat penyimpanan air yang diberi dua lubang kecil di salah satu ujungnya dan dipasang tali sebagai pengait untuk digendong atau dikaitkan ke kepala (dari dahi depan ke belakang).

Medan yang harus ditempuh warga pun berbeda-beda. Ada yang harus naik bukit, ada pula harus turun bukit untuk bisa mengakses air bersih. Mereka biasa mengambil air pagi dan sore, sekaligus mandi di sumber air.

“Jauh. Bukan pakai motor, bukan naik sandal juga [kaki tak pakai sandal],” kata Immanuel Langmao, jemaat GMIT Ebenhaezer Apui, disambut tawa orang yang duduk di sekitarnya.

Sefnat pun mulai menginventarisir sumber air  di Alor Selatan. Dia mendata seluruh sumber, rinci dengan kondisi sungai serta debit airnya. Dia membuat kategori sungai dengan debit kecil, sedang, dan besar.

Setelah selesai, dia membuat saluran air dari sumber air di atas bukit ke lokasi gereja Ebenhaezer Apui. Air ditampung di sana. Terdapat penampungan air yang digali ke dalam tanah dengan volume 4x4x4 meter. Tempat penampung air Apui digali ke dalam tanah juga karena untuk mengantisipasi gempa.

 

Tempat penampungan air di GMIT Ebenhaezer Apui. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Penyaluran air tidak dengan tenaga mesin, tetapi secara alami lewat pipa karena sumber berada di tempat tinggi. Dari tempat penampungan gereja ini kemudian air disalurkan kepada warga yang membutuhkan. Warga kena sumbangan perawatan Rp1.000 per meter kubik.

“Kami mempergunakan kearifan-kearifan lokal yang masih relevan untuk mengelola ini apa air…. mata air kita jaga,” kata Sefnat.

Berbeda dengan di GMIT Ebenhaezer Apui, sumber air di daerah jemaat GMIT Mahanaim Maipiy berada di bawah bukit hingga air harus dipompa ke bukit dahulu baru tersalur ke warga.

Sedangkan tempat penampungan tak digali ke dalam tanah sebagaimana di Apui, tetapi bikin bangunan persegi empat yang dicor dan bagian dalamnya dikeramik.

Sumber tenaga untuk penggerak pompa air pakai tenaga matahari (solar sel) hingga lebih ramah lingkungan dan lebih sederhana. Pengelolaan air di gereja ini ditangani pemerintah desa atau kelurahan, tetapi idenya juga dari pihak gereja yang diinisiasi Sefnat.

Sefnat juga membuat sumur resapan dan tempat tangkapan (jebakan) air hujan. Di gereja-gereja di Klasis Alor Tengah Selatan dibuat sumur resapan. Di rumah para jemaat  juga dianjurkan membuat sumur resapan di sekitar rumahnya. Di GMIT Mahanaim Maipiy ada tiga jebakan air hujan di sebelah kiri gereja.

“Dulu,  kita berpikir, ya ini kalau kita tidak kreatif mengelola air hujan, maka lambat atau cepat, secara sadar kita mewariskan air mata penderitaan kepada anak cucu,” kata Sefnat.

“Kita di rumah hampir semua tanam air, ada semua di setiap rumah. Jadi, halaman hampir semua sudah ada,” kata Yahya Sabila.

Sedangkan di daerah aliran sumber mata air dan di bahu-bahu sungai ditanami pohon-pohon untuk terus menjaga kelestarian sumber mata air.

Warga juga dilarang pakai potas di sungai saat menangkap ikan karena akan merusak. Sampai saat ini air gereja itu masih terus melayani warga, bahkan sampai ke kantor pemerintah.

Penyaluran diatur sesuai ketersediaan air di tempat penampungan. Bila air banyak seperti musim hujan, bisa disalurkan dua kali sehari, pagi dan sore, bahkan sepanjang hari. Bila musim kemarau,  air hanya disalurkan pagi saja dari pukul 6.00-7.00.

“Tergantung ketersediaan air di bak penampung. Kalau cukup, sore ada jalan lagi satu jam, tapi kalau tidak, tidak cukup, kami tidak kasih jalan lagi,” kata Herlia Langmao, pengurus air gereja GMIT Ebenhaezer Apui.

Gereja akan terus menerus berusaha melayani dengan lebih baik. Immanuel Langmao bilang meskipun sistem pelayanan air sudah cukup baik tetapi belum sepenuhnya maksimal, mereka ingin lebih baik lagi.

“Kita berusaha berteologi secara kontekstual,” kata pendeta yang melayani jemaat selama 29 tahun itu.

 

Sefnat Sailana di taman rumahnya yang begitu asri, penuh tanaman bunga, obat-obatan, dan rempah. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Ritual dan lingkungan

Ketika merayakan berbagai ritual, baik ritual agama maupun sosial, Sefnat mengajak warga dan jemaat untuk merayakannya dengan perayaan yang kontekstual dan bermanfaat untuk lingkungan.

Semisal ada acara nikahan, mempelai setidaknya diberi dua bibit pohon untuk ditanam dan dirawat. Demikian juga bila ada jemaatnya yang lahiran, berulang tahun, dirayakan dengan menanam pohon.

“Itu kegiatan pokoknya ulang tahun anak-anak tidak pernah bikin pesta-pesta. Itu hanya untuk tanam,” kata mama Opi.

Sefnat juga tidak jarang berkhutbah dengan tema hutan, sungai untuk para jemaatnya. Bila memperingati hari hutan, dia akan berkhutbah di atas mezbah yang dibuat dengan tumpukan batu dan tanah di tengah hutan, lanjut dengan aksi menanam pohon.

Demikian pula bila hari air, dia akan berkhutbah di sekitar aliran sungai sambil aksi, baik menanam pohon atau membersihkan sampah di sungai sebagai langkah konservasi.

“Kerja kita adalah khutbah yang hidup. Jadi apa yang kita khutbahkan, itu yang kita lakukan. Jadi kata dan perbuatan harus sama,” kata alumnus Fakultas Teologi, Universitas Artha Wacana, Kupang, ini.

Ketika merayakan Hari Natal, menginisiasi konsep yang berbeda dari biasa. Hari Natal biasa dirayakan dengan membuat pohon Natal, produksi industri, para jemaat di sana membuat dari pohon kecil yang hidup lengkap dengan pot (polybag) lalu dihias sebagaimana biasa.

Sehabis perayaan Natal, tanaman itu ditanam di kebun atau di pekarangan hingga Natal tidak banyak meninggalkan sampah plastik, tetapi makin menghijaukan bumi.

“Hingga habis Natal kita tanam di kebun, di hutan gereja atau kebun kemakmuran. Hingga betul-betul Natal bermakna,” kata Sefnat.

 

Jebakan air yang dibangun di sebelah kiri gereja Mahanaim Maipiy. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Pendidikan lingkungan

Sefnat juga upayakan pendidikan lingkungan bagi generasi muda. Dia mengajarkan, dan memberi contoh anak-anak agar peduli lingkungan sejak dini. Dia selalu mengajak anak-anak memungut sampah sebelum beribadah.

“Kita untuk anak-anak sekolah minggu, tiap kali mereka berkumpul ibadah, sekitar tiga menit dimanfaatkan istilahnya gerakan semut. Mereka pilih sampah di sekitar lokasi ibadah. Ini saya kita menanamkan nilai kepada anak-anak,” kata Sefnat.

Sefnat juga menginisiasi jambore lingkungan hidup dan terlaksana dua kali pada 2016 dan 2017 dengan peserta anak-anak umur 11 tahun ke bawah  dari setiap gereja se-Klasis Alor Tengah Selatan.

Jambore selama tiga hari dengan kegiatan jelajah alam, nonton film bertema lingkungan, dan aksi tanam pohon.

Saat jelajah alam, setiap regu diminta menemukan sahabat alam mereka. Mereka diminta merenungi sahabat alam. Bila itu tumbuhan, mereka akan mengitari, merenungkan, lalu mendoakan.

“Diakhiri dengan janji dan komitmen bahwa mereka akan memelihara alam dan lingkungan mereka berada,” kata Sefnat.

Sedangkan film yang mereka tonton biasanya Diego dan Alicia (Diego and Alicia Save the Otters) yang menceritakan dua saudara yang selalu memantau hewan-hewan dengan kamera.

Bila ada hewan sakit, jatuh, atau butuh pertolongan, mereka berdua segera memberi pertolongan.

Sefnat pernah mendapatkan penghargaan NTT Academia Award pada 2010. Juga penghargaan pengelola lingkungan hidup dengan kategori pembina lingkungan hidup dari Gubernur Nusa Tenggara Timur pada 2011. Ia sebagai apresiasi atas kerja-kerjanya menjaga dan memperjuangkan lingkungan hidup.

Beberapa kali dia mendapat tawaran menjadi pendeta di gereja yang terletak di kota, tetapi selalu menolak. Dia lebih senang melakukan pelayanan di pedalaman, bergerak bersama warga melakukan aksi-aksi sosial-lingkungan.

Hening Purwati Parlan, Direktur Eco Bhineka Muhammadiyah, bilang, Sefnat Sailana pantas dapat penghargaan Kalpataru karena berhasil mengkontekstualisasikan ajaran agama jadi gerakan lingkungan.

Selama ini, katanya,  diskursus agama yang berkembang jarang menyasar isu lingkungan,  lebih banyak menyasar isu radikalisme, spiritualitas ketuhanan, dan moderasi keberagamaan. Isu lingkungan kalah penting mendapatkan porsi perhatian yang cukup dari sudut pandang agama.

“Semestinya yang namanya agama itu jadi barisan cinta kasih terhadap sesama, alam semesta dan keanekaragaman hayati ciptaan Tuhan,” kata Hening.

 

Perkampungan yang terletak di di atas bukit di Maipiy. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

********

 

*Liputan ini didukung oleh program Spiritual Changemaker Initiatives dari Ashoka.

 

 

 

Exit mobile version