Mongabay.co.id

Energi Fosil dan Dampak Ambang Batas Planet: Berubahnya Siklus Hidrologi Bumi dan Ancaman Kekeringan

 

Bagian kedua dari tiga artikel ini menyoroti berbagai dampak industri bahan bakar fosil kepada lingkungan global. Bagian pertama dan bagian kedua mengulas dampak buruk yang terjadi pada sembilan batas planet, sedangkan bagian ketiga membahas mengenai solusi ekonomi sirkular.

Bagian pertama: Dunia dalam Cengkeraman Industri Fosil: Pertaruhan bagi Kestabilan Ambang Batas Planet Bumi

Bagian ketiga:  Meninggalkan Ekonomi Hidrokarbon, Beralih ke Ekonomi Sirkular yang Mendukung Batas Planet

***

 

Pada tahun 2020, kekeringan terburuk dalam 40 tahun terakhir melanda Afrika Timur. Curah hujan yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun diikuti dengan kegagalan musim hujan berturut-turut. Kelangkaan air menyebabkan kematian massal hewan ternak, konflik berbasis sumber daya, dan gelombang migrasi spesies yang terganggu.

Kekeringan ini berdampak langsung kepada kehidupan 50 juta orang. Fenomena ini hanya satu contoh bagaimana emisi bahan bakar fosil, dan kekacauan iklim berefek pada siklus hidrologi global. Ia menjadi ancaman bagi pasokan air bagi manusia yang pada gilirannya menggoyahkan ketahanan pangan, pun memperburuk konflik sosial dan politik.

“Kami menemukan bahwa kekeringan menjadi sangat parah akibat perubahan iklim,” kata Joyce Kimutai dari World Weather Attribution Consortium dalam sebuah penelitian tahun 2023 menjelaskan.

Laporan terbaru Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPPC) PBB mengenai iklim dan air memetakan sejumlah dampak serius terkait air yang telah dirasakan secara global. Seperti kekeringan dan badai yang semakin parah, penurunan hasil panen, menyusutnya gletser, dan masih banyak lagi.

“Semua komponen siklus air global telah berubah akibat perubahan iklim dalam beberapa dekade terakhir,” tulis para penulis penelitian. Lalu bagaimana hubungan antara penggunaan energi fosil dengan ambang batas planet kita?

 

Kekeringan terjadi berkepanjangan di derah ‘Tanduk Afrika” pada tahun 2020 yang berdampak pada kehidupan 50 juta orang. Para ilmuwan menilai bahwa perubahan iklim secara signifikan meningkatkan tingkat keparahan tragedi kekeringan tersebut. Gambar oleh Silvya Bolliger/Perlindungan Sipil dan Bantuan Kemanusiaan Uni Eropa melalui Flickr (CC BY-ND 2.0).

 

Memainkan Kartu Domino Batas Planet

“Perubahan iklim yang dipicu penggunaan bahan bakar fosil adalah satu penyebab utama peningkatan variabilitas [siklus hidrologi]. Saat ini terjadi kondisi dimana lebih banyak air di satu tempat dan lebih sedikit air di tempat lain,” ungkap Lan Wang-Erlandsson, peneliti di Pusat Ketahanan Stockholm.

Redistribusi air yang sangat acak mempengaruhi jumlah air yang tersedia untuk tanaman (yang disebut ‘air hijau’) dan air yang tersedia untuk kehidupan manusia (disebut ‘air biru’). Gabungan keduanya menciptakan apa yang oleh para peneliti disebut sebagai batas planet perubahan air tawar.

Pada tahun 2022, para ilmuwan menyatakan jika batas perubahan air tawar air hijau dan air biru yang “telah terlampau” telah mendorong Bumi ke dalam kondisi risiko yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Untuk memahami tentang batas planet, sembilan dari unsur batas planet mempengaruhi satu sama lain. Ketidakseimbangan membuat situasi tidak stabil, layaknya kartu domino yang saling berjatuhan.

Misalnya, bahan bakar fosil menyebabkan pemanasan global dan menambah energi panas dalam jumlah besar pada sistem cuaca global. Peningkatan energi membuat sistem Bumi semakin kacau, sehingga menyebabkan cuaca ekstrem yang lebih besar.

Efek domino batas planet menyebabkan ketidakstabilan iklim jatuh ke dalam domino batas perubahan air tawar. Ketidakstabilan ini pada gilirannya berdampak pada bioma di seluruh bumi lewat cara-cara yang kompleks.

 

Lapisan es yang terdegradasi di bagian utara Alaska. Pencairan lapisan es dianggap sebagai titik kritis iklim karena dapat memicu pelepasan karbon, metana, dan sejumlah dampak lainnya secara besar-besaran. Foto: Benjamin Abbott.

 

Ilmuwan memperingatkan perubahan iklim global telah mendorong perubahan siklus air di Hutan Hujan Amazon, yang semakin intensif karena perubahan penggunaan lahan akibat penggundulan hutan dan mengubahnya menjadi bentang savana.

Krisis ini pada gilirannya berdampak yang lebih buruk secara global. Selain mengancam kepunahan spesies tropis yang tak terhitung jumlahnya, terjadi pula pelepasan karbon secara massal dari yang pernah disimpan oleh hutan hujan.

“Bahan bakar fosil dan penggundulan hutan secara bersamaan telah mempercepat hilangnya hutan hujan dengan siklus hidrologi yang berubah,” jelas Rong Fu, ilmuwan iklim di University of California, Los Angeles.

“Di bagian tenggara Amazon, dimana tanah mulai mengering dan musim kemarau meningkat, pada dasarnya kita mencapai titik di mana iklim tidak mampu lagi menopang hutan hujan,” kata Fu.  Kekeringan dan kebakaran besar yang melanda hutan menambah tekanan perubahan iklim.

Jika Hutan Hujan Amazon berubah dalam satu atau dua dekade ke depan, Wang-Erlandsson menyebut ini akan lebih sulit untuk membatasi perubahan iklim.

“Penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara lebih cepat dalam skala global akan turut membantu mencegah krisis ini menjadi semakin parah.”

 

Aktivitas industri minyak dan gas berperan besar dalam degradasi Amazon Foto: Neil Palmer/CIAT melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Transformasi di Ketinggian

Perubahan yang disebabkan oleh bahan bakar fosil di Amazon, terlihat jelas dari matinya pohon-pohon yang tergantung kepada air. Namun jauh di atas itu, yaitu atmosfer bumi, perubahan lain yang tidak terlihat akibat bahan bakar fosil mungkin sedang berlangsung.

Pada tahun 2020, kebakaran hutan dahsyat telah melanda seluruh Australia. Kebakaran ini memicu reaksi kimia yang melemahkan dan menghancurkan ozon di stratosfer. Padahal menipis, bahkan menghilangnya lapisan ozon (salah satu dari batas planet lainnya), memungkinkan penetrasi radiasi matahai ultraviolet yang mematikan.

“Ketika asap di Australia menyapu seluruh dunia, para ilmuwan melihat sejumlah penipisan ozon dan beberapa rekor nilai ozon yang rendah di garis lintang tengah,” kata Kane Stone, seorang ilmuwan peneliti di Massachusetts Institute of Technology.

Hal ini karena keberadaan asap di stratosfer menyebabkan reaksi kimia yang mengaktifkan molekul klorin yang mampu merusak ozon, tambahnya.

Studi menunjukkan kebakaran di Australia pada tahun 2020 mengurangi ozon di garis lintang tengah sekitar 3-5 persen dan mungkin telah memperluas lubang ozon Antartika sekitar 10 persen.

Kebakaran lainnya seperti kebakaran di Kanada tahun ini, yang membumihanguskan sekitar 1 miliar pohon dan memompa 2 miliar ton CO2 tambahan ke atmosfer yang dapat berdampak pada penipisan ozon. Para peneliti berupaya memahami bagaimana skala, intensitas, dan bahkan spesies pohon yang terbakar dapat memengaruhi aktivasi klorin.

Di tingkat global, lapisan ozon diperkirakan akan pulih dalam empat dekade mendatang karena penghapusan klorofluorokarbon yang menjadi penyebab utama penipisan ozon dan juga gas rumah kaca berdasarkan Protokol Montreal. Meski, batas planet yang mengalami penipisan ozon di stratosfer saat ini dianggap masih dalam batas aman.

Namun temuan-temuan kebakaran hutan ini mengkhawatirkan, terutama di dunia yang semakin panas dan potensi terjadinya kebakaran besar lebih sering terjadi.

“Jika kebakaran hutan menjadi lebih ekstrem dan lebih sering terjadi di masa depan, kejadian kimia seperti ini bisa lebih sering terjadi,” kata Stone. “Jika ini terjadi, maka dapat menunda pemulihan lapisan ozon.”

“Ini merupakan kesimpulan logis bahwa jika terjadi banyak kebakaran, dan hal tersebut menurunkan ozon, maka hal tersebut akan menunda pemulihan,” kata Peter Bernath, profesor di Old Dominion University di Virginia AS. “Tapi itu semua masih perlu kajian lebih lanjut.”

 

Kebakaran yang telah memecahkan rekor terjadi di seluruh Australia pada tahun 2019-2020, yang memicu penipisan ozon. Para peneliti khawatir kebakaran yang lebih hebat dan lebih sering bakal menunda pemulihan lapisan ozon. Foto: Badan Antariksa Eropa/Luca Parmitano melalui Flickr (CC BY-NC-SA 2.0).

 

Perubahan iklim menyebabkan perubahan pada stratosfer, lapisan atmosfer yang berjarak 10-50 kilometer dari permukaan bumi. Penelitian menemukan pemanasan di troposfer yang disebabkan oleh gas rumah kaca mendinginkan stratosfer tengah dan atas sebesar 1,8°-2,2°C. Tanpa pengurangan emisi, lapisan ini bisa menyusut hingga 1,3 km pada tahun 2080, yang berdampak pada satelit, komunikasi radio, dan GPS. Foto: NASA melalui Flickr (CC BY-NC 2.0).

 

Perubahan Stratosfer Lainnya

Perubahan iklim yang disebabkan oleh bahan bakar fosil menyebabkan perubahan lain di stratosfer. Dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca di troposfer, uap air di stratosfer akan meningkat. Beberapa model menunjukkan tingginya kadar uap air di stratosfer dapat menyebabkan penundaan besar dalam pemulihan ozon.

Namun, sebuah makalah penelitian baru-baru ini mengesampingkan skenario terburuk tersebut, seperti studi yang dilakukan oleh Peer Nowack, seorang profesor ilmu iklim dan lingkungan di Karlsruhe Institute of Technology di Jerman.

Perubahan iklim juga mengubah suhu stratosfer. Studi yang diterbitkan awal tahun ini menemukan jika stratosfer bagian tengah hingga atas mendingin sekitar 1,8-2,2oC diantara tahun 1986 dan 2022. Bagi para penulis penelitian, ini jelas merupakan jejak iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Di tingkat global, pendinginan dapat mendorong pemulihan lapisan ozon dengan memperlambat reaksi yang menyebabkan penipisan.

Namun sebaliknya, perubahan suhu di ketinggian ini juga dapat menyebabkan pergeseran distribusi ozon di seluruh garis lintang bumi.

“Hal ini akan mempunyai implikasi berbeda,” kata Nowack.

Temuan-temuan yang saling bertentangan antar penelitian ini menunjukkan betapa sedikitnya yang kita ketahui tentang hasil akhir dari aktivitas pembakaran bahan bakar fosil.

Masih terdapat ketidakpastian mengenai interaksi antara emisi, perubahan iklim, dan dampak terhadap troposfer dan stratosfer. Studi pemodelan di tahun 2019 menemukan bahwa perubahan iklim dan awan yang disebabkan oleh bahan bakar fosil dapat menyebabkan peningkatan suhu bumi sebesar 8°C.

“Semakin kita menjaga iklim seperti semula, semakin besar pula kemungkinan pemulihan ozon kembali ke tingkat normalnya yang sesuai dengan yang kita inginkan,” simpul Nowack.

 

Menurut penelitian, polusi udara lokal yang berasal dari bahan bakar fosil (dioksida nitrat dan ozon di permukaan tanah) dapat mengurangi penyerbukan oleh serangga seperti lebah, lalat, ngengat, dan kupu-kupu dengan memengaruhi sinyal kimia yang dipancarkan tanaman. Foto: Richard_Casebow.

 

Polusi Aerosol yang Mengotori Langit

Cerobong asap dan pipa knalpot tidak hanya mempercepat perubahan iklim. Mereka juga mencemari udara yang kita hirup. Ketika bensin dibakar, ia tidak hanya melepaskan karbon dioksida, tetapi juga karbon monoksida, nitrogen oksida, partikel dan hidrokarbon yang tidak terbakar tetapi berkontribusi terhadap polusi udara.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hampir seluruh populasi global terpapar polusi udara yang diperkirakan menjadi sebab 4,2 juta kematian dini setiap tahunnya. Sementara itu, peneliti Harvard memperkirakan lebih dari 8 juta orang meninggal akibat polusi bahan bakar fosil pada tahun 2018 saja.

“Kita berbicara tentang perubahan iklim, dan kita berbicara tentang polusi udara. Namun kita benar-benar perlu memikirkan hal-hal tersebut secara holistik,” jelas Frederica Perera, Direktur pendiri Pusat Kesehatan Lingkungan Anak Columbia.

Risiko itu berdampak pada kelompok yang paling rentan, termasuk anak-anak: “Kita melihat kelahiran prematur, asma, dampak pada perkembangan otak dini, dengan hampir dua juta kematian bayi dan anak setiap tahunnya, terkait dengan polusi dan risiko lingkungan lainnya,” Perera mengatakan.

Gelombang panas yang terkait dengan perubahan iklim dan peristiwa cuaca ekstrem memperburuk dampak ini dan menimbulkan dampak tambahan terhadap kesehatan mental yang bakal dirasakan oleh manusia.

Penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap dapat mengurangi aerosol di atmosfer. “Ini bakal berdampak pada kesehatan, serta kematian dini hingga pada tingkat yang sangat tinggi,” kata Jos Lelieveld, Direktur Institut Kimia Max Planck, di Jerman.

Namun dampak kesehatan hanyalah salah satu konsekuensi dari aerosol yang berasal dari bahan bakar fosil. Meskipun batas planet perihal aerosol global saat ini masih berada dalam batas aman, pelanggaran terhadap batas regional mungkin telah terjadi di India dan Tiongkok, dimana polutan bahan bakar fosil secara historis sangat tinggi.

“Ini adalah wilayah-wilayah di mana kami telah mengidentifikasi bahwa siklus air skala regional mungkin dipengaruhi muatan aerosol lokal yang besar,” jelas Govindasamy Bala, seorang profesor di Institut Sains India.

Polusi aerosol di Asia, atau dalam bentuk karbon hitam, yang umumnya dikenal sebagai jelaga dan sulfat, dihasilkan oleh proses pembakaran batu bara dan biomassa. Aerosol ini bercampur dengan buangan knalpot kendaraan bermotor dan berinteraksi dengan radiasi matahari dapat menganggu pola curah hujan dan melemahnya musim hujan di Asia.

“Emisi aerosol, pada dasarnya dapat menurunkan curah hujan monsun di wilayah monsun belahan utara Bumi, khususnya monsun India, dan monsun Afrika Utara,” tambah Bala.

Aerosol juga memberikan efek pendinginan secara keseluruhan yang menutupi pemanasan global yang disebabkan oleh gas rumah kaca yang berumur panjang seperti CO2. Ini menimbulkan kekhawatiran bagi beberapa peneliti.

“Itu berarti kita perlu berbuat lebih banyak lagi untuk mencegah pemanasan secara keseluruhan. Karena dengan mengurangi bahan bakar fosil, kita menghilangkan sebagian efek pendinginan dari aerosol,” kata Lelieveld. “Intinya adalah kita perlu menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secepat mungkin untuk mencegahnya melebihi target 2°C.”

 

Polusi udara di Anyang, Tiongkok. Kota ini bergantung pada pembakaran batu bara dan merupakan rumah bagi industri baja dan kimia. Kota ini dinobatkan sebagai kota paling berasap di negara ini pada tahun 2020. Foto: V.T Polywoda melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Sebanyak 80 persen polusi udara beracun terkait dengan pembakaran batu bara, minyak, solar, dan gas alam; pembakaran bahan bakar fosil untuk energi atau transportasi melepaskan sejumlah aerosol dan partikel kecil yang terkait dengan berbagai kondisi kesehatan, termasuk kanker paru-paru dan penyakit jantung. Foto PBB/Taman Kibae melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Ekstraksi Bahan Bakar Fosil di Darat dan di Laut

Setelah diselesaikan, Jalur Pipa Minyak Mentah Afrika Timur yang kontroversial akan menghubungkan ladang minyak di wilayah Danau Albert di Uganda Barat ke pelabuhan Tanga di pantai Tanzania.

Para penentang mengatakan pembangunan pipa tersebut mengancam kawasan yang dilindungi, termasuk hutan, sungai dan lahan basah, serta spesies kharismatik yang terancam punah seperti gajah savana Afrika dan simpanse timur.

“Ada implikasi besar terhadap konservasi,” jelas Tutilo Mudumba, ahli ekologi di Center for Agriculture and Bioscience International.

Penelitiannya menunjukkan aktivitas minyak dan gas di Air Terjun Murchison, sebuah taman nasional terbesar di Uganda, dapat berdampak pada pola pergerakan gajah, yang berpotensi meningkatkan konflik manusia-satwa liar dan mengganggu dinamika predator-mangsa.

Dampak lokal dari ekstraksi dan distribusi minyak dan gas dapat berdampak dalam jarak yang jauh, dengan implikasi global yang jelas terhadap perubahan penggunaan lahan.

Para ahli menyebut proyek ini akan menjadi ‘bom iklim‘ karena CO2 yang dihasilkan saat bahan bakar fosil tersebut digunanakan di masa depan. Proyek minyak dan gas serupa yang sedang dikembangkan di seluruh dunia, menjelaskan data yang serupa.

“Saluran Pipa Minyak Mentah Afrika Timur adalah sebuah contoh dimana meski saat ini belum ada produksi yang berarti, namun ada potensi minyak dalam jumlah besar bakal mengalir,” kata Bart Wickel, Direktur Sains dan Penelitian di organisasi nirlaba Earth Insight.

“Ini berarti bakal ada jumlah energi fosil yang bakal digunakan di masa depan, yang bakal mendorong perubahan iklim lebih jauh,” lanjutnya.

 

Singa di Taman Nasional Air Terjun Murchison Uganda dengan latar belakang peralatan pengeboran minyak.  Foto: Tutilo Mudumba.

 

Menurut analisis Earth Insight, lebih dari 135 juta hektar hutan tropis alami mengalami tumpang tindih dengan blok minyak dan gas di Amazon dan Kongo. Pengeboran di hutan-hutan asli ini akan semakin mengganggu kestabilan batas penggunaan lahan yang telah dilanggar, ditambah bakal merusak keanekaragaman hayati global (yang juga masuk dalam batas planet lainnya).

“Yang sering diabaikan [dari proyek semacam ini] adalah dampak besar eksplorasi, eksploitasi, dan pembangunan infrastruktur bahan bakar fosil terhadap sumber daya air, keanekaragaman hayati, dan masyarakat lokal,” jelas Wickel.

Hampir setiap tahapan produksi minyak dan gas dapat meninggalkan jejak dampak lingkungan dan sosial yang sangat besar. Sebuah makalah penelitian yang meninjau 31 penelitian yang diterbitkan awal tahun ini menyatakan bahwa satwa liar darat umumnya bakal terkena dampak negatif dari ekstraksi minyak melalui pembangunan jalan, survei seismik, rekahan hidrolik, pemasangan sumur minyak, kontaminasi dan gangguan ekstraksi lainnya.

Tantangan lebih besar akan muncul saat produksi minyak dialihkan ke lautan, seperti bencana Deep Horizon di Pantai Teluk AS pada tahun 2010. Meski peristiwa tersebut menjadi liputan berita selama berbulan-bulan, tumpahan ke laut dalam skala kecil masih terus terjadi, bahkan berlangsung selama bertahun-tahun.

Sebuah laporan pada tahun 2021, merinci bagaimana jumlah tumpahan minyak di Teluk Guinea, Afrika antara tahun 2002 dan 2012, yang berasal dari tumpahan kecil yang terkait dengan pelayaran dan aktivitas lepas pantai, yang para ahli menyebut mungkin telah melebihi volume Deepwater.

Laporan lain yang diterbitkan awal tahun ini menemukan bahwa diperkirakan 273 ton minyak bocor ke kawasan perlindungan laut di perairan Inggris selama 5 tahun terakhir, yang berasal dari kebocoran pipa kronis.

Di seluruh perairan Inggris, hampir 13.000 ton minyak bocor dari berbagai aktivitas ekstraksi lepas pantai dalam lima tahun terakhir, menurut LSM Oceana.

 

Pembersihan tumpahan kapal tanker minyak di Yunani. Menurut para ahli, insiden seperti ini hanyalah satu dampak kegiatan minyak dan gas terhadap keanekaragaman hayati secara langsung. Foto: Milos Bicanski/Visual Iklim (CC BY-NC-ND 4.0).

 

Bahan Bakar Fosil dan Keanekaragaman Hayati

Kerangka sembilan batas planet ini memiliki inti: Fokus untuk tidak melanggar delapan dari sembilan batas pada akhirnya dimaksudkan sebagai cara untuk melindungi batas yang paling penting: yaitu integritas biosfer.

Namun di sini, eksploitasi dan polusi bahan bakar fosil semakin meluas, sehingga memperburuk krisis keanekaragaman hayati secara global.

Selama miliaran tahun, iklim dan keanekaragaman hayati telah berinteraksi untuk menciptakan kondisi bagi kehidupan di Bumi, sebut Katherine Richardson, profesor di University of Copenhagen dan pakar batas planet. Kini, di tengah kepunahan massal keenam, batas integritas biosfer telah terlampaui.

“Selama sekitar 100 tahun terakhir, aktivitas umat manusia telah memberikan dampak global sehingga kita mengubah interaksi [alami kita dengan alam],” kata Richardson.

Konsumsi bahan bakar fosil telah menghancurkan jaringan kehidupan dan menambah dampak termasuk polusi dan hilangnya habitat. Konsekuensi bagi spesies dan seluruh ekosistem, pada akhirnya akan menghancurkan seluruh bioma.

“Terdapat wilayah yang luas dimana biosfer tidak memiliki kemungkinan untuk beradaptasi lagi terhadap perubahan lingkungan yang cepat ini,” kata Ingo Fetzer, peneliti di Stockholm Resilience Centre.

Ekosistem dan spesies turut merasakan panasnya: Dari Amazon, mendekati titik kritis savana yang terdegradasi hingga karang laut menghadapi ancaman pemanasan 1,5°C. Arktik yang berubah dengan cepat karena kehilangan es laut secara massal, Afrika dengan populasi anjing liar yang terancam punah, penyebaran penyakit yang cepat pada hewan amfibi, dan gelombang panas laut yang memicu penurunan fitoplankton, sehingga merusak jaring makanan di laut.

Pengurangan emisi secara drastis, penghapusan bahan bakar fosil, dan peningkatan upaya konservasi adalah satu-satunya cara untuk mengatasi tantangan ganda yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

“Kita perlu mengurangi emisi untuk melindungi sistem alam planet. Sistem alami ini akan membantu kita menstabilkan iklim dalam jangka panjang,” kata Hans Otto Pörtner, ilmuwan peneliti di Alfred-Wegener Institut dan mantan ketua Kelompok Kerja II IPCC.

“Jika kita membiarkan perubahan iklim dengan melampaui apa yang telah kita tetapkan sebagai target berdasarkan laporan penilaian IPCC, kita telah menantang kesehatan bumi.”

Tulisan asli: Beyond climate fossil fuels rapidly eroding earth safe operating space. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Lanjut membaca tulisan berikutnya:  Meninggalkan Ekonomi Hidrokarbon, Beralih ke Ekonomi Sirkular yang Mendukung Batas Planet

 

Referensi

Caretta, M.A., A. Mukherji, M. Arfanuzzaman, R.A. Betts, A. Gelfan, Y. Hirabayashi, T.K. Lissner, J. Liu, E. Lopez Gunn, R. Morgan, S. Mwanga, and S. Supratid, 2022: Water. In: Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, M. Tignor, E.S. Poloczanska, K. Mintenbeck, A. Alegría, M. Craig, S. Langsdorf, S. Löschke, V. Möller, A. Okem, B. Rama (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, UK and New York, NY, USA, pp. 551–712, doi:10.1017/9781009325844.006.

Wang-Erlandsson, L., Tobian, A., Van der Ent, R. J., Fetzer, I., Te Wierik, S., Porkka, M., … Rockström, J. (2022). A planetary boundary for green water. Nature Reviews Earth & Environment. Retrieved from https://www.nature.com/articles/s43017-022-00287-8

Global blue and green water cycles exit from pre-industrial variation – freshwater change planetary boundary exceeded? (2022). In EGU General Assembly 2022. Retrieved from https://meetingorganizer.copernicus.org/EGU22/EGU22-13474.html

Staal, A., Flores, B., Aguiar, A., Bosmans, J., Fetzer, I., & Tuinenburg, O. (2020). Feedback between drought and deforestation in the Amazon. Environmental Research Lettersdoi:10.31223/osf.io/8rq4n

Fu, R., Yin, L., Li, W., Arias, P. A., Dickinson, R. E., Huang, L., … Myneni, R. B. (2013). Increased dry-season length over southern Amazonia in recent decades and its implication for future climate projection. Proceedings of the National Academy of Sciences110(45), 18110-18115. doi:10.1073/pnas.1302584110

Solomon, S., Stone, K., Yu, P., Murphy, D. M., Kinnison, D., Ravishankara, A. R., & Wang, P. (2023). Chlorine activation and enhanced ozone depletion induced by wildfire aerosol. Nature615(7951), 259-264. doi:10.1038/s41586-022-05683-0

Hansen, J. E., Sato, M., Simons, L., Nazarenko, L. S., Sangha, I., Kharecha, P., … Li, J. (2023). Global warming in the pipeline. Oxford Open Climate Change3(1). Retrieved from https://academic.oup.com/oocc/article/3/1/kgad008/7335889?login=false

Scientific Assessment of Ozone Depletion: 2022 Executive Summary. (n.d.). Retrieved from World Meteorological Organization website: https://ozone.unep.org/system/files/documents/Scientific-Assessment-of-Ozone-Depletion-2022-Executive-Summary.pdf

Bernath, P., Boone, C., & Crouse, J. (2022). Wildfire smoke destroys stratospheric ozone. Science375(6586), 1292-1295. doi:10.1126/science.abm5611

Smith, Jessica Birte. 2012. The Sources and Significance of Stratospheric Water Vapor: Mechanistic Studies from Equator to Pole. Doctoral dissertation, Harvard University. Retrieved from https://dash.harvard.edu/handle/1/10121968

Konopka, P., Tao, M., Ploeger, F., Hurst, D. F., Santee, M. L., & Riese, M. (2022). Stratospheric moistening after 2000. Geophysical Research Lettersdoi:10.5194/egusphere-egu22-2301

Santer, B. D., Po-Chedley, S., Zhao, L., Zou, C., Fu, Q., Solomon, S., … Taylor, K. E. (2023). Exceptional stratospheric contribution to human fingerprints on atmospheric temperature. Proceedings of the National Academy of Sciences120(20). doi:10.1073/pnas.2300758120

Nowack, P., Ceppi, P., Davis, S. M., Chiodo, G., Ball, W., Diallo, M. A., … Joshi, M. (2023). Response of stratospheric water vapour to warming constrained by satellite observations. Nature Geoscience16(7), 577-583. doi:10.1038/s41561-023-01183-6

Eyring, V., Arblaster, J. M., Cionni, I., Sedláček, J., Perlwitz, J., Young, P. J., … Watanabe, S. (2013). Long‐term ozone changes and associated climate impacts in CMIP5 simulations. Journal of Geophysical Research: Atmospheres118(10), 5029-5060. doi:10.1002/jgrd.50316

Vohra, K., Vodonos, A., Schwartz, J., Marais, E. A., Sulprizio, M. P., & Mickley, L. J. (2021). Global mortality from outdoor fine particle pollution generated by fossil fuel combustion: Results from GEOS-chem. Environmental Research195, 110754. doi:10.1016/j.envres.2021.110754

Perera, F. (2017). Pollution from fossil-fuel combustion is the leading environmental threat to global pediatric health and equity: Solutions exist. International Journal of Environmental Research and Public Health15(1), 16. doi:10.3390/ijerph15010016

Perera, F., & Nadeau, K. (2022). Climate change, fossil-fuel pollution, and children’s health. New England Journal of Medicine386(24), 2303-2314. doi:10.1056/nejmra2117706

Richardson, K., Steffen, W., Lucht, W., Bendtsen, J., Cornell, S. E., Donges, J. F., … Rockström, J. (2023). Earth beyond six of nine planetary boundaries. Science Advances, 9(37). doi:10.1126/sciadv.adh2458

Nair, H. R., Budhavant, K., Manoj, M. R., Andersson, A., Satheesh, S. K., Ramanathan, V., & Gustafsson, Ö. (2023). Aerosol demasking enhances climate warming over South Asia. npj Climate and Atmospheric Science6(1). doi:10.1038/s41612-023-00367-6

Lelieveld, J., Klingmüller, K., Pozzer, A., Burnett, R. T., Haines, A., & Ramanathan, V. (2019). Effects of fossil fuel and total anthropogenic emission removal on public health and climate. Proceedings of the National Academy of Sciences116(15), 7192-7197. doi:10.1073/pnas.1819989116

Plumptre, A.J., Ayebare, S., Mudumba, T. (2015). An Assessment of Impacts of Oil Exploration and Appraisal on Elephants in Murchison Falls National Park, Uganda. Report to Total E&P Uganda. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/283122658_An_Assessment_of_Impacts_of_Oil_Exploration_and_Appraisal_on_Elephants_in_Murchison_Falls_National_Park_Uganda

Mudumba, T., Stimpson, B., Jingo, S., & Montgomery, R. (2023). The implications of global oil exploration for the conservation of terrestrial wildlife. Environmental Challengesdoi:10.2139/ssrn.4341821

Harfoot, M. B., Tittensor, D. P., Knight, S., Arnell, A. P., Blyth, S., Brooks, S., … Burgess, N. D. (2018). Present and future biodiversity risks from fossil fuel exploitation. Conservation Letters11(4). doi:10.1111/conl.12448

Ford, H. V., Jones, N. H., Davies, A. J., Godley, B. J., Jambeck, J. R., Napper, I. E., … Koldewey, H. J. (2022). The fundamental links between climate change and marine plastic pollution. Science of The Total Environment806, 150392. doi:10.1016/j.scitotenv.2021.150392

Dixon, A. M., Forster, P. M., Heron, S. F., Stoner, A. M., & Beger, M. (2022). Future loss of local-scale thermal refugia in coral reef ecosystems. PLOS Climate1(2), e0000004. doi:10.1371/journal.pclm.0000004

Luedtke, J. A., Chanson, J., Neam, K., Hobin, L., Maciel, A. O., Catenazzi, A., … Stuart, S. N. (2023). Ongoing declines for the world’s amphibians in the face of emerging threats. Nature. Retrieved from https://www.nature.com/articles/s41586-023-06578-4

Pörtner, H., Scholes, R. J., Arneth, A., Barnes, D. K., Burrows, M. T., Diamond, S. E., … Val, A. L. (2023). Overcoming the coupled climate and biodiversity crises and their societal impacts. Science380(6642). doi:10.1126/science.abl4881

Miner, K. R., Turetsky, M. R., Malina, E., Bartesch, A., Tamminen, J., McGuire, A. D., … Miller, C. E. (2022). Permafrost carbon emissions in a changing Arctic. Nature Reviews Earth & Environment. Retrieved from https://www.nature.com/articles/s43017-021-00230-3

Heffernan, L., Cavaco, M. A., Bhatia, M. P., Estop-Aragonés, C., Knorr, K., & Olefeldt, D. (2022). High peatland methane emissions following permafrost thaw: Enhanced acetoclastic methanogenesis during early successional stages. Biogeosciences19(12), 3051-3071. doi:10.5194/bg-19-3051-2022

Abbott, B. W., Brown, M., Carey, J. C., Ernakovich, J., Frederick, J. M., Guo, L., … Zolkos, S. (2022). We must stop fossil fuel emissions to protect permafrost ecosystems. Frontiers in Environmental Science10doi:10.3389/fenvs.2022.889428

Pisoft, P., Sacha, P., Polvani, L. M., Añel, J. A., De la Torre, L., Eichenger, R., … Rieder, H. E. (2021). Stratospheric contraction caused by increasing greenhouse gases. Environmental Research Letters. Retrieved from https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/abfe2b

Ryalls, J. M., Langford, B., Mullinger, N. J., Bromfield, L. M., Nemitz, E., Pfrang, C., & Girling, R. D. (2022). Anthropogenic air pollutants reduce insect-mediated pollination services. Environmental Pollution297, 118847. doi:10.1016/j.envpol.2022.118847

Dicks, L. V., Breeze, T. D., Ngo, H. T., Senapathi, D., An, J., Aizen, M. A., … Potts, S. G. (2021). A global-scale expert assessment of drivers and risks associated with pollinator decline. Nature Ecology & Evolution5(10), 1453-1461. doi:10.1038/s41559-021-01534-9

Thompson, K.F., Webber, T., Karantzas, L., Gordon, J., Frantzis, A. (2023). Summer and winter surveys of deep waters of the Hellenic Trench, Greece, provide insights into the spatial and temporal distribution of odontocetes. Endang Species Res 52:163-176. https://doi.org/10.3354/esr01265

Tian, D., Fan, J., Jin, H., Mao, H., Geng, D., Hou, S., … Zhang, Y. (2020). Characteristic and spatiotemporal variation of air pollution in northern China based on correlation analysis and clustering analysis of five air pollutants. Journal of Geophysical Research: Atmospheres125(8). doi:10.1029/2019jd031931

 

Exit mobile version