Mongabay.co.id

Kegigihan Mariam, Perempuan Nelayan di Teluk Kupang

 

 

Mama Teteh, bukan nama asing bagi warga Kelurahan Air Mata, Kota Kupang. Dia adalah perempuan nelayan satu-satunya di Kupang, Nusa Tenggara Timur [NTT].

Ditemui Mongabay Indonesia, Minggu [5/11/2023], Mariam Badaruddin [60] nama lengkapnya, tengah menjahit jaring 2 inchi bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kupang.

“Saya dapat bantuan 4 unit. Saya harus memasang pemberat sendiri dan merakitnya, sebab ikatannya tidak sesuai. Keahlian ini saya dapatk dari orangtua saya,” tuturnya.

Mariam baru kembali aktif melaut pada akhir Oktober 2023. Terjatuh dari perahu usai melaut, membuatnya hanya berbaring sejak Mei lalu. Setelah menjalani pengobatan, kondisinya mulai membaik pada Agustus, meski berjalan tertatih.

“Saya ingin segera mancing dan menjala, agar dapat penghasilan,” ucapnya.

Baca: Kisah Dewa, Nelayan Inspiratif di Kota Kupang

 

Mariam Badaruddin perempuan nelayan Kota Kupan, NTT, berada di perahunya yang di Kali Air Mata. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Perahu rusak

Siang itu, Mama Teteh memperhatikan perahunya yang diparkir di Muara Kali. Dia hendak turun mengadu nasib, di perairan Teluk Kupang.

Beberapa jenis ukuran jaring, diletakkan di perahu dayungnya. Tak lupa, dia membawa alat pancing dan perbekalan untuk semalaman mencari ikan di laut.

Menggunakan perahu kecil tak sampai 1 GT bermesin tempel, biasanya dia melaut sampai Pulau Kera. Bahkan paling jauh hingga Pulau Semau, berjarak sekitar 20 km sebelah barat Kota Kupang di Pulau Timor.

“Beta [saya] biasa berangkat sore hari, subuhnya sudah kembali. Tergantung air laut pasang juga. Kadang malam baru melaut,” ujarnya.

Kini, Mama Teteh hanya mengandalkan perahu dayung kecil itu. Perahu besar bermesin tempel miliknya, rusak saat terjadi badai Seroja, April 2021 lalu.

Dia belum berencana memperbaikinya.

“Dulu harga lem cuma Rp100 ribu, sekarang mencapai Rp300 ribu ukuran 1 kg. Bila ada rezeki perahunya akan diperbaiki,” tutur ibu delapan anak ini.

Baca: Radith Giantiano, Generasi Muda NTT yang Peduli Perubahan Iklim

 

Mariam Badaruddin sedang menjahit jaring di teras rumahnya di Kelurahan Air Mata, Kota Kupang, NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Tangkapan menurun

Mama Teteh menuturkan, sejak usai 8 tahun ikut sang ayah melaut. Terbiasa mendapat uang, membuatnya tidak ingin melanjutkan sekolah lebih tinggi.

“Untung saja waktu badai Seroja terjadi, anak saya sudah tamat SMA semua.”

Mama Teteh mengenang, sebelum ada badai Seroja, dia bisa mendapatkan lobster hingga dua kilogram.

“Sejak badai Seroja, sulit sekali mendapatkan ikan karena banyak karang di Teluk Kupang yang rusak. Sekarang, dapat uang Rp100 ribu sehari saja susah, kadang pulang tangan kosong,” ucapnya.

Baca juga: Inilah Dampak Badai Siklon Tropis Seroja pada Terumbu Karang di TNP Laut Sawu

 

Perahu nelayan tradisional tampak parkir di pantai Kelapa Lima, Kota Kupang, NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Mama Teteh bangga pernah ke Jakarta, ikut pertemuan nelayan pesisir seluruh Indonesia. Saat itu, Ibu Susi menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Hampir semua nelayan yang datang laki-laki.

“Selain saya, ada seorang perempuan nelayan dari Pulau Jawa yang hadir, tapi ia hanya menangkap kepiting di pesisir pantai. Nelayan perempuan hanya saya saja yang menangkap ikan di laut. Banyak yang bertanya dan tidak percaya,” tuturnya.

Dina Soro dari LSM PIKUL [Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal], mengakui Mama Teteh merupakan perempuan nelayan yang gigih memperjuangkan hak nelayan perempuan.

Mama Teteh bahkan ikut aksi di Jakarta, menuntut pengakuan dan kesetaraan hak perempuan.

“Beliau satu-satunya perempuan nelayan dari NTT yang gigih memperjuangan hak perempuan nelayan. Kasihan kalau nelayan perempuan tidak diakui, mereka kesulitan akses hak-hak sebagai nelayan,” ucapnya.

 

Exit mobile version