Mongabay.co.id

Derita Warga Lahat dalam Jerat Polusi PLTU Batubara

 

 

 

 

 

 

Asap putih mengepul tipis dari ujung cerobong PLTU Keban Agung milik PT Priamanaya Energi. Gemuruh mesin, terdengar sayup-sayup tertiup angin.

“Kalau pagi-pagi daun pisang ini hitam galo [semua]. Debu dari asap PLTU batubara,” kata Ahmad Supri, warga Desa Muara Maung,  Lahat,  Sumatera Selatan.

Lelaki 73 tahun duduk di gubuknya, mulai mengatur napas. Keringat mengalir dari kening penuh kerut. Sejak berhenti jadi sopir pada 2021, Supri menggarap ladang.

Kini, hasil panen padi tak seperti dulu. Sejak PLTU beroperasi pada 2016, panen padi lesu. Dari empat kampil benih yang ditanam biasa bisa panen 40-50 karung gabah, sekarang hanya 12 karung.

“Produksi kebun-kebun di daerah sini setelah ada PLTU menurun drastis. Cuma kita ndak pacak ngomong.

Ladang Supri berada 600 meter di belakang PLTU Keban Agung. Di pinggiran ladang ditanami pisang, nangka, terong, dan ubi-ubian. Pada musim hujan,  dia tanam padi, tiga bulan panen. Di musim kemarau,  ganti tanam kacang tumpang sari dengan jagung.

“Kalau dulu lumayan. Sekarang dak bagus lagi, sejak ado PLTU tidak bagus,” kata Nurhayanah, istri Supri.

Hasil buah-buahan juga jadi kerdil. “Sejak ada asap-asap itu, buah pisang kecik nian [kecil sekali]. Banyak yang gilo (tanaman stres) kena panas dan debu batubara. Hasil kacang juga tidak bagus lagi.”

Angga Dwiartama, dosen sosiologi pertanian di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung menyebut,  kandungan asam dari tambang batubara punya pengaruh buruk terhadap tanaman.

Dia contohkan,  kasus di India. Air limpasan dari tambang dan debu batubara yang bersifat asam, mengendap di tanah dan air teruji menurunkan produktivitas tanaman.

Debu batubara di udara juga dapat menutup lapisan stomata yang melingkupi daun. “Saat stomata tertutup, penyerapan CO2 turun, jadi proses fotosintesis juga terhambat. Efeknya, produksi bulir padi turun. Biasanya banyak gabah hampa,” kata lulusan University of Otago, Dunedin-New Zeland ini.

Meski demikian, fly ash batubara yang dikelola dengan sistem yang baik, justru berpotensi menaikkan produksi. “Tapi air asam dari tambang batubara berpotensi menurunkan produksi.”

Dampak jangka panjang senyawa berbahaya dalam batubara—termasuk asam—yang terakumulasi akan mengancam mikroorganisme tanah dan air. “Efeknya pada kesuburan tanah dan produktivitas tanaman.”

Angga menyarankan,  ada pembatas (barrier) di sekitar sawah untuk mengurangi debu masuk ke sawah. Merotasi tanaman dan pemberian pupuk kompos serta pemberaan lahan dapat memulihkan kesuburan tanah.

 

 

Baca juga: Kala Tambang Batubara  ‘Kuasai’ Sumsel, Lingkungan Rusak, Hidup Warga Makin Susah

Warga Muara Maung tidak memakai masker meski wilayah itu diselimuti debu batubara. Foto: RMOL Sumsel

 

Ngeluh, lapor, hasilnya?

Sahwan,  warga Desa Muara Maung, pernah melaporkan PLTU Keban Agung ke Dinas Lingkungan Hidup atas dugaan pencemaran lingkungan.

Dia bilang, PLTU membuang limbah air bahang ke Sungai Pule, yang bermuara ke Sungai Lematang.

“Waktu kita laporin, mereka dapat sanksi administrasi. Tetapi tidak ada lanjutannya.”

Sejak tercemar, Sungai Pule was-was gunakan air tidak. Sebagian orang sudah tak gunakan lagi. Sebelumnya, sungai ini banyak dimanfaatkan warga yang berladang di sekitar PLTU. “Dulu ikan segede-gede gini—menunjuk lengan—sekarang tidak ada lagi.”

Warga juga terdampak secara kesehatan. Ketua Komunitas Anak Padi itu bilang, banyak warga Muara Maung terserang gatal-gatal, batuk dan sesak napas. Dia menduga dampak PLTU.

Sampai sekarang,  masyarakat Desa Muara Maung masih banyak gunakan air sungai untuk mandi dan mencuci.

“Warga di sini ini kalau sakit itu langsung berobat, mereka tidak mikir apo ini kerno PLTU atau yang lain.”

Sahwan sempat meminta laporan medis warga yang sakit dari Puskesmas, tetapi ditolak.

Dia khawatir, dampak buruk PLTU akan makin parah. Terlebih saat ini,  limbah batubara PLTU sudah dihapus dari daftar limbah berbahaya dan beracun (B3).

PLTU Keban Agung dibangun di Desa Kebur, Kecamatan Merapi Barat, Lahat,  Sumatera Selatan, tetapi jarak lebih dekat dengan pemukiman warga Desa Muara Maung.  Hanya 800 meter dari rumah warga di pinggir Sungai Lematang.

Pembangkit ini dibangun di mulut tambang Priamanaya Energi berkapasitas 2×135 MW dengan biaya US$310 juta, termasuk jaringan transmisi 150 Kilovolt (KV) sepanjang 20 kilometer sampai Gardu Induk Lahat.

Pada laman Primanaya disebut, PLTU Keban Agung untuk memenuhi kebutuan setrum di Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu, yang naik rata-rata 11,3 % setiap tahun.

Pada 31 Oktober 2007, Priamanaya Energi meneken kontrak PPA (power purchase agreement) dengan PT PLN (Persero) untuk jangka 30 tahun. Setiap satu Kwh listrik PLTU dihargai US$5 sen.

Kebutuhan batubara PLTU disuplai dari Priamanaya Energi dan PT Dizamatra Powerindo di Lahat. Luas izin konsesi keduanya 1.971 hektar dengan cadangan batubara 280 juta ton.

Bahan bakar batubara berkalori rendah, diklaim lebih hemat hingga Rp 3 triliun per tahun dibanding BBM jenis solar.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, pada 2022, PLTU Keban Agung mengkonsumsi 831.494 ton batubara kalori rendah, antara 2500-3.100.

Hasil pembakaran batubara itu menghasilkan produksi listrik (netto) 1,28 juta MW.

Dalam data itu juga disebutkan, emisi gas rumah kaca berupa karbon dioksida (CO2) dari pembakaran batubara PLTU mencapai 1,4 juta ton lebih.

Zakki Amali, Manajer Riset di Trend Asia mengatakan, batubara kalori rendah murah dari sisi harga, tetapi kurang efisien untuk bahan bakar PLTU.

“Batubara kalori rendah cenderung banyak air, panas kurang. Hingga dibutuhkan bahan bakar lebih banyak,” katanya.

Batubara kalori rendah berdampak lebih buruk terhadap kesehatan warga sekitar PLTU. “Sebetulnya, batubara kalori rendah atau tinggi sama bahayanya. Tetapi batubara kalori rendah lebih banyak menghasilkan debu, dampaknya kasus ISPA tinggi.”

Bahkan PLTU dengan clean coal technology (CCT) nyatanya masih memancarkan CO2 dan polutan beracun seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan particulate matter.

 

 

DCIM102MEDIADJI_0284.JPG

 

Dampak kesehatan

Suhartini ,  guru SDN 8 Merapi Barat mengatakan, beberapa tahun belakangan, anak-anak gampang terserang pilek. Dia paham betul kondisi sekarang jauh berubah dibanding waktu pertama kali mengajar pada 1998.

Guru 55 tahun itu menduga, pilek yang menyerang anak-anak karena debu batubara. Sudah 15 tahun Desa Muara Maung tempat sekolah itu berdiri dikepung tambang batubara. Belum lagi, PLTU Keban Agung yang hanya 900 dari sekolah.

“Sekarang debu banyak, mungkin karena itu anak jadi gampang pilek,” katanya.

Aiwa Marlina,  Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Lahat, mengakui, pencemaran udara jadi pemicu munculnya banyak penyakit, salah satu, ISPA.

“Pencemaran udara pasti akan berdampak pada pernapasan. Jika ditanya apakah debu batubara jadi penyebab ISPA, ya bisa saja,” katanya.

Data dari 33 puskesmas di Lahat sampai Oktober 2023, menunjukkan,  ada 126 anak-anak lebih lima tahun terserang ISPA. Usia 1-5 tahun ada 31 kasus. Lima kasus menyerang anak usia 0 tahun.

Kasus ISPA tertinggi berada di Kecamatan Merapi. Di Puskesmas Merapi I ada 10 kasus, dan Puskesmas Muara Lawai ada 14 kasus.

Tetapi data ini hanya berdasarkan kunjungan pasien ke Puskesmas, tak termasuk mereka yang berobat ke bidan dan dokter umum. Diperkirakan kasus ISPA di Lahat lebih banyak dari yang tercatat.

Hasil riset Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut,  emisi polutan udara dari pembangkit listrik batubara di Indonesia meningkat 110% dalam satu dekade terakhir.

Dalam laporan berjudul “Manfaat Kesehatan dari Transisi Energi Berkeadilan dan Penghentian Bertahap Batubara di Indonesia” itu

CREA mengindikasikan, emisi polutan udara pembangkit listrik batubara di Indonesia turut bertanggung jawab atas 10.500 kematian akibat polusi udara dan biaya kesehatan sebesar US$7,4 miliar.

Sumatera Selatan menempati urutan ke 8 dari 10 provinsi paling terdampak emisi PLTU batubara.  Rata-rata ada 283 kematian setiap tahun akibat pembangkit listrik batubara.

CREA juga menyebut,  kebijakan pemerintah akan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik batubara dari 45 GW jadi 63 GW sebelum 2028, akan berdampak pada lonjakan kematian. Jumlah diperkirakan meningkat jadi 16.600 per tahun dan biaya kesehatan naik jadi US$11,8 miliar per tahun.

Pada 4 November lalu, Mongabay datang ke Kantor PLTU Keban Agung.  Petugas keamanan yang jaga pos depan mengatakan Edwin, humas PLTU baru pulang ke Sekayu.

Mongabay coba menghubungi via telepon dan layanan perpesanan, tetapi tak ada respons. Mongabay kemudian menghubungi Syarifudin bagian HRD.   “Gak ada orang di kantor pak, lagi libur dan office lagi perbaikan,” jawabnya lewat WhatsApp.

 

Emas hitam batubara. Foto: Hendar

 

 

Beban PLN

Skema take or pay (TOP) dalam jual beli listrik dari Independent Power Producer (IPP) atau pembangkit listrik swasta ke PLN justru membebani keuangan perusahaan listrik negara itu. PLN harus membayar listrik dari IPP meski daya yang disalurkan tidak gunakan.

Pada 2017, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memperkirakan, untuk setiap 1 Gigawatt listrik yang tidak terpakai, PLN membayar setidaknya US$3,16 miliar. Pada 2021, PLN diperkirakan membayar Rp103 triliun kepada IPP melalui skema TOP.

Zakki menyebut,  ada “pemborosan anggaran” PLN dari skema TOP. “Mestinya uang itu bisa digunakan untuk biaya pensiun dini PLTU ata transisi energi.”

Laporan CREA dan Trend Asia berjudul “Ambiguitas versus Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia,” menemukan, sekitar 33% dari 58 GW kapasitas bahan bakar fosil  terpasang  di Indonesia melebihi keperluan puncak pada 2021.

Kelebihan pasokan ini melebihi standar batas cadangan listrik nasional 30-35%. Belum lagi biaya perawatan mencapai Rp16 triliun harus ditanggung PLN.Sumatera Selatan,  jadi lumbung energi di Sumatera kelebihan daya lebih dari 1.000 MW.

Perkumpulan Sumsel Bersih, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu lingkungan dan energi, mencatat, enam PLTU beroperasi di Sumatera Selatan berkapasitas 2.168 MW. Kebutuhan listrik hanya 36,39%, atau 789 MW.

Meski demikian, pemerintah terus membuka ruang bangun PLTU di berbagai wilayah, termasuk Sumsel. Trend Asia mencatat,  ada 13,8 Gigawatt PLTU baru akan beroperasi sampai 2030, sesuai RUPTL 2021-2030.

 

 

PLTU Keban Agung terlihat jelas dari tepi Sungai Lematang di Desa Muara Maung, Merapi Barat, Lahat, Sumsel. Foto: RMOL Sumsel

 

 Segera transisi energi

Menghentikan pengembangan pembangkit baru bahan bakar fosil merupakan langkah penting pertama dalam transisi energi. Penggunaan energi fosil mendorong pemanasan global dan perubahan iklim yang makin buruk.

IESR mengusulkan,  pensiun PLTU 9,2 GW, hitungan PLN hanya 5 GW akan dipensiunkan. Pemerintah khawatir,  penutupan PLTU akan berdampak pada PLN.

Berdasarkan data 2022, PLN mengoperasikan 6.314 pembangkit dengan kapasitas mencapai 44.940 MW atau sekitar 65% dari total terpasang di tanah air.

“Pemerintah mikirnya kalau PLTU dipensiunkan, berarti ada nilai aset yang hilang, negara rugi. Kalau dianggap merugikan negara ya repot, ” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Dia menilai, penghentian batubara bertahap merupakan peluang besar membersihkan sistem ketenagalistrikan Indonesia. “Kita lebih banyak bicara masalahnya, tapi tidak keluar dengan solusi.”

Selama ini,  pemerintah tidak pernah menghitung biaya yang harus ditanggung masyarakat dampak PLTU batubara.

“Orang jadi gampang sakit karena polusi udara dan biaya kesehatan meningkat, tetapi produktivitas kerja menurun. Hingga berdampak pada ekonomi.”

Untuk itu, kata mantan Koordinator Indonesia Climate Action Network ini, transisi energi akan menguntungkan Indonesia. Ia dapat menurunkan biaya energi jauh lebih murah dan aman dalam jangka panjang, dibanding energi fosil yang rentan dipengaruhi pasar global dan konflik.

Dengan transisi energi,  katanya, Indonesia membangun industri baru berbasis energi terbarukan hingga punya daya saing.

“Produk-produk juga rendah karbon, bisa lebih diterima di pasar internasional.”

 

 

*********

 

*Liputan ini merupakan Fellowship Akademi Jurnalis dan Lingkungan yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Traction Energy Asia.

Exit mobile version