Mongabay.co.id

Meninggalkan Ekonomi Hidrokarbon, Beralih ke Ekonomi Sirkular yang Mendukung Batas Planet

 

 

Artikel ini adalah bagian ketiga dari tiga artikel yang menyoroti berbagai dampak industri bahan bakar fosil terhadap lingkungan global. Bagian pertama dan bagian kedua mengulas mengenai dampak buruk yang terjadi pada sembilan batas planet, sedangkan bagian ketiga membahas solusi ekonomi sirkular.

Bagian pertama: Dunia dalam Cengkeraman Industri Fosil: Pertaruhan bagi Kestabilan Ambang Batas Planet Bumi

Bagian kedua: Energi Fosil dan Dampak Ambang Batas Planet: Berubahnya Siklus Hidrologi Bumi dan Ancaman Kekeringan

***

 

Ekstraksi bahan bakar fosil hidrokarbon yang dilakukan lewat pembakaran dan mengubahnya menjadi plastik, pupuk nitrogen sintetis atau petrokimia lain, adalah model teknologi lama. Ekonomi linear “ambil-buat-buang” ini dianggap sudah ketinggalan zaman, dan dampaknya telah menjadi ancaman nyata terhadap kehidupan di Bumi. Demikian simpulan dari sejumlah pakar yang diwawancarai oleh Mongabay untuk seri liputan ini.

“Bahan bakar fosil meski memberikan banyak manfaat juga mendorong perekonomian berbiaya tinggi yang besar. Ini  menimbulkan banyak kerugian yang justru menguras biaya pemulihan yang lebih besar,” jelas Steven Stone, Wakil Direktur Divisi Industri dan Ekonomi di Program Lingkungan Hidup PBB.

Dia menyebut produksi minyak, gas, dan batu bara sebagai simbol paradigma industri linier, yang perlu segera digantikan dengan solusi ekonomi sirkular. Lalu seperti apa paradigma baru yang ditawarkan itu?

Model ekonomi sirkular berkisar pada 3R: “reuse, reduce, recycle,” membatasi limbah melalui siklus tertutup yang meregenerasi alam, meminimalkan penggunaan sumberdaya, menggerakkan produksi dengan energi terbarukan, dan mengalihkan masyarakat dari konsumerisme yang tanpa henti.

Bahan bakar fosil (karena toksisitas dan daya rusak lingkungannya) pada dasarnya tidak sesuai dengan pengembangan ekonomi sirkular. Jelas Anne Velenturf, peneliti senior di Universitas Leeds.

“Sirkularitas harus berkaitan dengan perbaikan lingkungan, penguatan masyarakat, dan pemeliharaan kesejahteraan ekonomi. Eksploitasi bahan bakar fosil secara terus-menerus tidak akan menghasilkan dampak seperti itu,” katanya.

Untuk mencapai sirkularitas, berarti harus dimulai dari transformasi menyeluruh pada sektor produksi energi dan material, sebelum dikarenakan perubahan iklim, penggundulan hutan, polusi, dan kepunahan besar keenam membuat Bumi tidak lagi dapat dihuni.

Sejumlah solusi sirkular sedang dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan, sekaligus mengembalikan Bumi ke batas planet yang aman. Namun tantangannya adalah bagaimana cara mencapai tujuan tersebut di tengah perekonomian global yang tergantung pada bahan bakar fosil, agrokimia dan petrokimia yang linear dan boros.

 

Laju transisi energi terbarukan harus dipercepat jika perubahan iklim ingin dijaga di bawah 2°C. Melembagakan efisiensi energi adalah alat utama untuk mencapai tujuan tersebut. Foto: Tom Jutte melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Solusi Sirkular Pertama: Hilangkan Bahan Bakar Fosil, Tingkatkan Energi Terbarukan

Mengingat ancaman ekstrim yang ditimbulkan perubahan iklim, -dimana sektor energi bertanggungjawab atas sekitar setengah emisi gas rumah kaca, para ahli mengatakan tidak ada cara lain harus ada peralihan besar-besaran ke energi alternatif.

Penghentian eksploitasi minyak, gas dan batu bara lebih lanjut harus dilakukan, sebaliknya peningkatan energi terbarukan dengan cepat perlu dilakukan. Sesuatu yang didukung langsung oleh para aktivis menjelang KTT Iklim COP28 di Dubai.

Namun kita pun perlu realistis tidak terlalu banyak pada hasil KTT, dimana seperti pengalaman pertemuan-pertemuan sebelumnya masih banyak negara-negara di dunia yang memberikan triliunan subsidi pada bahan bakar fosil. Pengeboran minyak dan gas di AS, Arab Saudi, dan Rusia menempatkan dunia pada jalur kenaikan suhu global setidaknya 2°C di atas tingkat pra-industri.

“Bahkan hanya dengan membakar seluruh cadangan bahan bakar fosil aat ini, akan menyebabkan suhu melebihi 1,5°C,” jelas Peter Thorne, ilmuwan iklim di Maynooth University di Irlandia.

Energi terbarukan khususnya tenaga surya, meski semakin meningkat setiap tahunnya, namun lajunya terlalu lambat, mengacu laporan Badan Energi Internasional (IEA).  Meski energi terbarukan tahunan makin banyak digunakan, bahan bakar fosil masih menyumbang 80 persen keperluan energi global.

Untuk mencapai target net-zero, energi terbarukan berbasis non-biomassa harus tumbuh sebesar 13 persen setiap tahunnya pada 2023-2030; atau dua kali lebih cepat dibandingkan lima tahun terakhir.

 

Sebuah area pengeboran minyak di Jepang. Badan-badan internasional termasuk PBB telah menyerukan diakhirinya perluasan eksploitasi minyak dan gas. Para peneliti menyatakan bahwa ekonomi sirkular yang berkelanjutan harus didukung oleh sumber energi terbarukan, yang harus dirancang berdasarkan prinsip sirkular. Foto: Koichi Hayakawa melalui Flickr (CC BY-SA 2.0).

 

Alternatif penghentian penggunaan bahan bakar fosil saat ini berpusat pada teknologi penangkapan karbon yang belum terbukti efektifitasnya. Idenya adalah menyedot CO2 udara dan memutar/menguburnya masuk dalam ‘ekonomi karbon sirkular‘.

Beberapa pihak berasumsi penangkapan karbon ini dapat mengatasi emisi, sekaligus solusi yang tidak terlalu merugikan secara ekonomi dan memungkinkan penggunaan bahan bakar fosil secara berkelanjutan. Pihak skeptis sebaliknya keberatan karena biaya, kemanjuran, dan jangka waktu penerapannya yang lama.

Thorne menyebut kita seharusnya fokus dengan apa yang bisa dilakukan sekarang, bukan pada tahun-tahun mendatang. “Semua solusinya ada: Ini adalah kombinasi dari teknologi [baru], efisiensi energi, kebiasaan konsumsi, kebijakan keuangan dan kebijakan.”

Jonathan Foley, Direktur Eksekutif Project Drawdown, menyebut mencapai ekonomi sirkular sangatlah. Dia mendesak penghentian bahan bakar fosil dan mengganti sumber energi fosil dengan energi terbarukan.

“Hal ini tidak akan terjadi dalam semalam,” kata Foley. “Teknologi yang bakal menjadi kunci jawabannya. Kita akan melakukan transisi [energi] ini, tantangannya adalah seberapa cepat, dan adil.”

Organisasinya telah mengkaji hampir 100 solusi teknologi untuk mengurangi atau menggantikan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Mulai tenaga surya terkonsentrasi hingga solusi sistem limbah menjadi energi.

Beberapa peneliti mengusulkan teknologi yang mampu mengurangi emisi metana dalam produksi bahan bakar fosil. Sekitar sepertiga metana, -gas rumah kaca yang jauh lebih kuat dibandingkan CO2, dihasilkan selama produksi minyak dan gas dan sering berkobar naik ke atmosfer.

Prioritas lainnya adalah melipatgandakan upaya mengakhiri deforestasi yang trendnya mulai menurun secara global. Penghentian deforestasi ditujukan untuk meningkatkan penyimpanan karbon. Hilangnya pohon saat ini bertanggungjawab atas sekitar 10 persen dari emisi.

“Mengurangi emisi metana dan melindungi hutan bisa jadi solusi cepat saat ini. Sembari memberi waktu tambahan untuk penerapan solusi iklim lain yang mungkin memerlukan waktu lebih lama,” ujar Foley.

Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa 70 persen emisi metana yang terkait dengan bahan bakar fosil dapat dikurangi dengan teknologi saat ini.

 

Polar Night Energy, sebuah perusahaan yang berbasis di Finlandia, telah mengembangkan “baterai pasir” sebagai cara untuk memaksimalkan potensi energi terbarukan sekaligus mengatasi kritik baterai yang terus berulang. Teknologinya menangkap kelebihan energi dari energi terbarukan dan menyimpannya sebagai panas, yang nantinya dapat digunakan dalam industri atau bangunan. Dok: Polar Night Energy.

 

Meskipun pengurangan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim sangatlah penting, konservasi dan pemulihan kawasan alami seperti di Amazon dan tempat lain juga diperlukan. Dok: CIAT/Neil Palmer melalui Flickr (CC BY-SA 2.0).

 

Solusi Kedua: Kurangi Permintaan

Menurut laporan Circularity Gap 2023, untuk mengembalikan umat manusia ke batasan planet yang aman, ekstraksi dan konsumsi material harus dikurangi sepertiganya secara global.

Hal ini merupakan bagian sulit, konsumsi material oleh umat manusia saat ini mencapai lebih dari 100 miliar ton setiap tahunnya. Menghilangkan bahan bakar fosil, secara khusus batu bara dari campuran bahan bakar, akan mengurangi permintaan mineral sekaligus strategi inti untuk mencapai tujuan ini.

Pakar menyebut penerapan prinsip sirkular secara agresif pada sektor-sektor utama yang banyak menggunakan bahan bakar fosil, seperti semen, baja, aluminium, plastik, dan makanan, dapat mengurangi emisi karbon sebesar 9,3 miliar ton per tahun.

Namun untuk melakukan pengurangan tersebut jelas suatu hal yang menantang, apalagi saat ini dunia sedang beralih ke energi terbarukan yang menuntut banyak mineral intensif seperti litium, kobalt, dan nikel.

Bersamaan dengan peningkatan penggunaan mineral, penghentian instalasi pembangkit listrik tenaga angin dan surya yang sudah habis masa pakainya diperkirakan akan menghasilkan banyak limbah di dalam dekade mendatang.

Untuk sepenuhnya membuka potensi penghematan karbon di sektor transportasi, kita perlu meningkatkan sirkularitas material kendaraan listrik seperti baterai, alih-alih membuangnya ke alam.

Di sisi lain untuk strategi sirkular, pengurangan permintaan, meningkatkan transportasi alternatif dan adopsi ‘model berbagi’, dapat mengurangi emisi secara signifikan dan mengurangi lahan yang digunakan untuk pertambangan.

 

Menggerakan kendaraan listrik dengan energi terbarukan dan meningkatkan sirkularitas dalam rantai pasokannya berpotensi meningkatkan kinerja lingkungan. Foto: Cindy Shebley melalui Pexels (Domain publik).

 

Solusi Ketiga: Meninjau Kembali Petrokimia, Khususnya Penggunaan Plastik

Industri petrokimia menimbulkan tantangan khusus dalam memangkas produksi minyak, gas, dan batu bara. Sektor ini saat ini bergantung pada penggunaan bahan bakar fosil baik sebagai sumber energi, maupun bahan baku plastik.

Meski prinsip sirkular plastik di seluruh rantai pasokan dapat mengurangi polusi hingga 80 persen, sekaligus mengurani setengah produksi sekali pakai menurut data UNEP. Sayangnya daur ulang plastik adalah sebuah kegagalan besar. Hanya sekitar 14 persen dari seluruh plastik yang dikumpulkan secara global, dengan tingkat daur ulang pada kisaran 9 persen.

Pelaku swasta dan peneliti pun berinovasi untuk mengatasi masalah akhir masa pakai ini, alih-alih mengakibatkan berton-ton plastik berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar.

Sebuah perusahaan Perancis, Carbios adalah satu contohnya. Pabrik tersebut akan beroperasi pada tahun 2025 dengan menggunakan enzim pemecah plastik PET. Plastik tersebut dapat digunakan kembali hingga 10 siklus sekaligus menurunkan emisi CO2 hingga 50 persen dibandingkan dengan plastik murni, jelas CEO Carbios, Emmanuel Ladent.

Setelah beroperasi, pabrik tersebut akan memproses sekitar 50.000 ton PET setiap tahunnya. Ini adalah cara untuk menekan sampah plastik.

“Jika kita ingin menghentikan polusi plastik, kita perlu memberi nilai tambah pada sampah, yang saat ini tidak ada,” tutur Ladent.

Namun Kristian Syberg, seorang ahli ekotoksikologi dan profesor di Roskilde University di Denmark, menyebut limbah petrokimia seperti plastik tidak dapat selesai dengan hanya mendaur ulang. Plastik PET, yang menyumbang sekitar seperlima dari seluruh produksi plastik saat ini akan terus berkembang di masa depan.

 

Para peneliti dan perusahaan berinovasi untuk menggantikan bahan kimia berbasis bahan bakar fosil dengan bahan alternatif. Sebagai contoh Innomost yang berbasis di Finlandia, mengganti bahan kimia dengan produk yang berasal dari limbah kehutanan. Foto: MPCA melalui Flickr (CC BY-NC 2.0).

 

Pembangunan pabrik yang mampu mendaur ulang 50.000 ton plastik PET setiap tahun sedang berlangsung dengan menggunakan enzim untuk memecah plastik sehingga dapat digunakan kembali. Secara global, diperkirakan 70 juta ton PET diproduksi setiap tahun untuk plastik sekali pakai dan tekstil. Dok: Carbios.

 

“Kita jelas harus lebih baik dalam mendaur ulang,” kata Syberg.

“Namun untuk mencapai sirkularitas, konsumsi harus dikurangi dan produksi plastik dibatasi. “Yang paling penting adalah mengurangi sampah dan untuk mencapai hal tersebut, kita perlu mengurangi konsumsi.”

Mengurangi produksi plastik sekali pakai yang tidak penting bisa menjadi jalan cepat menuju pengurangan konsumsi, kata Patricia Villarrubia-Gómez dari Pusat Ketahanan Stockholm.

Perubahan harus dimulai dari tingkat produksi plastik dengan desain produk yang benar-benar dapat digunakan kembali, didaur ulang, dan tidak terlalu beracun.

Transparansi industri juga diperlukan. Plastik saat ini mengandung ribuan senyawa yang berpotensi beracun, dimana informasi komponen kimia ini disimpan perusahaan dan tidak dipublikasikan untuk umum.

“Kita perlu mengurangi jumlah bahan kimia dengan menghilangkan bahan kimia berbahaya dalam plastik,” lanjut Syberg.

Dalam konteks lebih luas, industri perlu mencari alternatif bahan baku alternatif dan meminimalkan produksi beragam macam produksi, tidak terbatas pada plastik.

“Ada potensi besar industri ini menjadi bagian dari transisi energi dengan berinvestasi pada energi terbarukan, seperti yang sebelumnya mereka investasikan pada energi fosil,” jelas Fredric Bauer, peneliti di Lund University.

 

Bahan bakar alternatif menawarkan jalur potensial untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil di sektor ekonomi yang sulit didekarbonisasi seperti penerbangan. Foto: Ozzy Delaney melalui Flickr (CC BY 2.0).

 

Solusi Keempat: Mengurangi Pupuk Nitrogen Sintetis

Bahan kimia pertanian seperti pupuk berbasis nitrogen sintetik, adalah industri yang bergantung pada bahan baku bahan bakar fosil. Saat ini, batu bara dan metana merupakan bahan utama dalam pembuatan amonia melalui proses Haber-Bosch, dengan amonia sebagai bahan aktif utama dalam banyak pupuk.

Amonia hijau” dianggap sebagai salah satu cara untuk mendekarbonisasi pupuk dalam skala global.

Proses ramah lingkungan dilakukan lewat penggunaan energi terbarukan (seperti angin atau surya), air, dan udara untuk menghasilkan amonia. Berbagai proyek yang didukung perusahaan dan pemerintah (seperti AS, Denmark, dan Norwegia) sedang dijalankan untuk meningkatkan produksi amonia bebas bahan bakar fosil.

Salah satu perusahaan yang mengupayakan solusi ini adalah Talus Renewables, sebuah perusahaan rintisan berbasis di AS yang telah membangun pabrik produksi amonia ramah lingkungan modular di Kenya.

Bermitra dengan Kenya Nut Company, pabrik Talus dapat menghasilkan satu ton amonia hijau setiap hari.

“Sifat amonia kami yang bebas karbon sangat menarik. Kami menurunkan skor intensitas karbon, [dengan menanam] tanaman pokok sekitar 25 persen,” kata Hiro Iwanaga, CEO Talus Renewables.

Iwanaga mencatat amonia hijau memiliki potensi kegunaan lain seperti sumber bahan bakar kapal laut atau untuk ‘menyimpan‘ hidrogen sebagai sumber penggunaan energi ramah lingkungan.

Namun tantangan alternatif ini adalah ketidakpastian teknologi, skala industri, biaya dan kurangnya produksi hidrogen ramah lingkungan. Jumlahnya hanya sekitar 1 persen dari produksi global. Ini tentu tidak dapat menyelesaikan seutuhnya masalah lingkungan utama, yaitu masuknya amonia ke saluran air yang menciptakan zona-zona mematikan di muara estuaria secara global.

Meskipun positif terhadap masa depan amonia hijau, Bruce Campbell, Kepala Strategi Inovasi di Clim-Eat, sebuah LSM yang bekerja pada sistem pangan berkelanjutan, punya pandangan lain.

“Area [tanaman] yang dipupuk ditujukan untuk pakan ternak. Jika manusia merubah pola makan dengan mengurangi konsumsi daging, maka pengurangan lepasan amonia akan sangat signifikan.”

Selain itu Campbell menyebut pentingnya memanfaatkan pupuk organik, meningkatkan pengelolaan pupuk pertanian, berinovasi dengan biostimulan (yang mendorong penyerapan nitrogen oleh tanaman) dan menerapkan praktik pertanian regeneratif adalah bagian dari paket untuk mengatasi penggunaan pupuk yang berlebihan dan penyalahgunaannya.

Pakar lain menyoroti perlunya meningkatkan sirkularitas di sektor pangan dengan mengatasi limbah makanan dan menangkap nutrisi yang mungkin hilang.

 

Perusahaan Talus Renewables yang berbasis di AS meluncurkan pabrik modular “amonia hijau” di Kenya. Sistem ini dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengatasi rantai pasokan pupuk yang panjang dan tidak dapat diandalkan. Dok: Talus Renewables.

 

Pangsa sektor petrokimia terhadap permintaan minyak akan meningkat di masa depan. Laporan “Planet Positive Chemicals” menguraikan bagaimana penerapan prinsip sirkular dapat mengurangi permintaan bahan kimia sekitar 30 persen pada tahun 2050. Foto: Rudy dan Peter Skitterians melalui Pixabay (Domain publik).

 

Menuju Masa Depan Bumi yang Layak Huni

Menghapuskan bahan bakar fosil, agrokimia, dan petrokimia berbasis minyak bumi merupakan tugas besar. Namun hasilnya setimpal, para ahli mengatakan manfaatnya akan jauh melebihi manfaat yang bisa dicapai hanya dengan mengatasi perubahan iklim saja.

“Kita akan membangun dunia yang jauh lebih baik,” kata Foley.

Mengurangi limbah di seluruh sektor ekonomi, mengurangi konsumsi material, dan mendukung industri dengan energi bersih dan terbarukan, merupakan hal yang menjanjikan.

“Ini persoalan bagaimana kita mampu memanfaatkan teknologi untuk mengurangi permintaan energi, meningkatkan efisiensi energi, dan beralih ke bahan bakar yang memberikan masa dimana Bumi dapat ditinggali oleh semua orang,” jelas Marina Romanello, Direktur Eksekutif Lancet Countdown.

Tulisan asli: Circular economy poised to go beyond outdated oil gas and coal experts say. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

 

Referensi:

Renewable Energy Market Update – June 2023. (2023). Retrieved from IEA website: https://www.iea.org/reports/renewable-energy-market-update-june-2023, License: CC BY 4.0

The Imperative of Cutting Methane from Fossil Fuels: An assessment of the benefits for the climate and health. (2023). Retrieved from IEA, United Nations Environment Programme website: https://iea.blob.core.windows.net/assets/9efb310e-94d7-4c46-817b-9493fe5abb0a/Theimperativeofcuttingmethanefromfossilfuels.pdf

Diez-Cañamero, B., & Mendoza, J. M. (2023). Circular economy performance and carbon footprint of wind turbine blade waste management alternatives. Waste Management164, 94-105. doi:10.1016/j.wasman.2023.03.041

Richter, J. L. (2022). A circular economy approach is needed for electric vehicles. Nature Electronics5(1), 5-7. doi:10.1038/s41928-021-00711-9

De Abreu, V. H., Da Costa, M. G., Da Costa, V. X., De Assis, T. F., Santos, A. S., & D’Agosto, M. D. (2022). The role of the circular economy in road transport to mitigate climate change and reduce resource depletion. Sustainability14(14), 8951. doi:10.3390/su14148951

Turning off the Tap: How the world can end plastic pollution and create a circular economy. (2023). Retrieved from United Nations Environment Programme website: https://wedocs.unep.org/bitstream/handle/20.500.11822/42277/Plastic_pollution.pdf?sequence=4

Bachmann, M., Zibunas, C., Hartmann, J., Tulus, V., Suh, S., Guillén-Gosálbez, G., & Bardow, A. (2023). Towards circular plastics within planetary boundaries. Nature Sustainability6(5), 599-610. doi:10.1038/s41893-022-01054-9

Aurisano, N., Weber, R., & Fantke, P. (2021). Enabling a circular economy for chemicals in plastics. Current Opinion in Green and Sustainable Chemistry31, 100513. doi:10.1016/j.cogsc.2021.100513

Carney Almroth, B., Dey, T., Karlsson, T., & Wang, M. (2023). Chemical simplification and tracking in plastics. Science382(6670), 525-525. doi:10.1126/science.adk9846

Thomas, G., & Parks, G. (2006). Potential Roles of Ammonia in a Hydrogen Economy. Retrieved from U.S. Department of Energy website: https://www.energy.gov/eere/fuelcells/articles/potential-roles-ammonia-hydrogen-economy

Tournier, V., Topham, C. M., Gilles, A., David, B., Folgoas, C., Moya-Leclair, E., … Marty, A. (2020). An engineered PET depolymerase to break down and recycle plastic bottles. Nature580(7802), 216-219. doi:10.1038/s41586-020-2149-4

The Future of Petrochemicals: Towards more sustainable plastics and fertilisers. (2018). Retrieved from IEA website: https://iea.blob.core.windows.net/assets/bee4ef3a-8876-4566-98cf-7a130c013805/The_Future_of_Petrochemicals.pdf

 

Exit mobile version