Mongabay.co.id

Aliansi Lintas Sektor untuk Industri Sawit Berkeadilan Terbentuk, Seperti Apa? [1]

 

 

 

 

Tata kelola industri sawit masih karut marut baik secara ekologi dan social. Berbagai persoalan muncul dari proses awal perizinan, kerusakan lingkungan, konflik lahan sampai persoalan tenaga kerja dan lain-lain. Konferensi internasional “Transisi berkeadilan di industri sawit” pun merumuskan aliansi lintas sektor.

Dalam konrefensi yang dihelat 28-29 November 2023 di Sambas, Kalimantan Barat,  hadir dari perwakilan enam negara, Indonesia, Jerman, India, Kamboja dan Afrika.

“Upaya mendorong transisi yang adil, karena ada kondisi belum adil,” kata Ahmad Surambo, Direktur Sawit Watch, dalam pertemuan itu.

Latar belakang dorongan isu sawit berkeadilan ini, katanya,  lantaran secara keseluruhan industri ini belum dikelola berkelanjutan, baik secara ekologi dan sosial.

Sebagai investasi berbasis lahan, perkebunan monokultur skala besar seperti industri sawit menyebabkan keanekaragaman hayati hilang dan ancam penghidupan manusia. Terlebih lagi, industri ini menggunakan herbisida, pestisida, dan pupuk kimia secara luas, menambah daya rusak alam dan berdampak pula pada manusia.

Ditambah lagi, katanya,  dengan kasus hubungan industrial yang buruk. Upah rendah, risiko kerja tinggi, perjanjian kerja yang tidak seimbang karena relasi kuasa. Perluasan perkebunan sawit sejalan dengan perampasan tanah masyarakat adat atau masyarakat lokal.

 

Konferensi internasional “Transisi berkeadilan di industri sawit” pun merumuskan aliansi lintas sektor. Dalam konrefensi yang dihelat 28-29 November 2023 di Sambas, Kalimantan Barat, hadir dari perwakilan enam negara, Indonesia, Jerman, India, Kamboja dan Afrika. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, kata Rambo,  situasi perburuhan di industri sawit sudah mulai mengalami perbaikan karena terbangun jaringan dari mulai tingkatan bawah sampai tingkatan atas.

“Namun, para buruh sawit belum sejahtera dan banyak masyarakat adat yang kehilangan tanah adatnya, perlu dirumuskan mengenai transisi yang adil seperti apa,” katanya.

Hal itulah yang mendorong Sawit Watch bersama dengan Jaringan Transnational Palm Oil Labor Solidarity (TPOLS) mendesain program “Transisi yang Adil di Perkebunan Sawit,” yang mulai pada 2021, sampai 2024.

Sawit Watch sebagai koordinator program dengan Sajogjo Institute (SAINS),  Lembaga Informasi Perburuan Sedane (LIPS),  TPOLS,  Sepasi, SBSS, KPBI, SPN, Serbuk Indonesia, sebagai pelaksana lapangan yang tersebar pada lima wilayah, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Lahirlah rumusan aliansi lintas sektor pada konferensi tahun ini. Aliansi terbentuk karena industri sawit tak berdiri sendiri. Industri ini saling terhubung satu sektor dengan sektor lain, dan menimbulkan persoalan sama dari hasil ekspansi industri sawit.

Selain itu, gerakan rakyat dirasakan masih berjuang secara sporadis. “Tuntutan bersifat normatif harus ditingkatkan jadi perjuangan lebih ideologis yaitu menuntut hasil kerja kita yang selama ini dirampas oleh pengusaha,” katanya.

Adapun rekomendasi konferensi ini adalah membangun aliansi lintas sektor yang berjejaring secara lokal, regional, nasional dan internasional. Aliansi yang terbangun akan menyusun strategi perjuangan bersama.

Mereka mempunyai tugas dan fungsi di masing-masing sektor dan akan meningkatkan pemahaman terhadap persoalan masing-masing sektoral.  “Juga mematangkan landasan persatuan yang berbasiskan pada perspektif perjuangan kelas pekerja.”

Masing-masing sektor, katanya,  akan jadikan aliansi sebagai alat propaganda dan kampanye untuk mendukung perjuangan bersama. Aliansi juga jadi alat persatuan dan perjuangan bersama dalam aksi-aksi bersama memenangkan tuntutan di masing-masing sektor, termasuk advokasi kebijakan.

Terbentuknya aliansi ini bukan tanpa tantangan. Mereka harus mengentaskan beberapa persoalan pada masing-masing sektor. Di dalam aliansi, harus mengenali dan memahami persoalan mendasar di setiap lintas sektor.

Aliansi juga harus dapat mereduksi ego sektoral advokasi lintas sektoral, dan mampu merangkul untuk bergerak bersama-sama.

 

Pertemuan dalam Konferensi Intarbasional transisi ke industri sawit berkeadilan. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Konsep berkeadilan

Konsep berkeadilan muncul dari Tony Mazzocchi. Dia memimpin serikat pekerja Amerika Serikat “Oil Chemical and Atomic Workers Union” (OCAW) pada 1970-an. Saat itu, situasi perburuhan mengalami tekanan, lantaran penutupan pabrik-pabrik akibat polusi yang dihasilkan.

Para pekerja menuntut “dana tambahan untuk pekerja,” hingga tidak hanya industri, juga para pekerja memiliki kesempatan untuk bertransisi, dan pemerintah tak berikan beban pemulihan lingkungan kepada para pekerja.

Michael Oncom, dari ΩKonfederasi Persatuan Buruh Indonesia, mengatakan,  secara prinsip transisi berkeadilan mendorong dialog sosial antara pemangku kepentingan, hingga tercipta ekosistem yang berkeadilan di semua sektor industri.

“Para pemain sawit saat ini telah mengeruk keuntungan luar biasa di industri sawit hingga melahirkan banyak para konglomerat baru di Indonesia,”katanya, dalam sesi diskusi di konferensi itu.

”Para pengusaha sawit boleh saja berbisnis yang kemudian menghasilkan keuntungan di satu sisi. Sisi lain,  para pengusaha juga wajib meningkatkan kesejahteraan kaum buruh, tak merampas lahan petani, tidak merampas hutan adat dan tak merusak lingkungan,” katanya.

Dia bilang, kondisi pekerja sawit yang jadi perhatian adalah kesehatan para pekerja.  Bukan berarti mengabaikan hak-hak normatif yang lain, katanya, tetapi pekerjaan yang tinggi risiko dengan upah minim dilakukan karena tidak ada pilihan lain.

Konsep transisi berkeadilan menurut KPBI,  katanya, pebisnis boleh mempertahankan perusahaan tetapi harus memenuhi hak-hak normatif yang sudah diatur Undang-undang. “Perlu ada peran negara yang harus terlibat dalam pengawalan penegakan hukum,” katanya.

Saat ini,  yang terjadi sebaliknya. Negara, katanya,  malah memberikan karpet merah terhadap pengusaha.

Dia berharap, negara bisa berjuang untuk pemenuhan hak-hak pekerja di sektor industri sawit.

 

Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), sudah lama protes plasma dengan PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP), Sejak September lalu, warga sudah aksi beberapa kali. Foto ini dari video aksi warga 21 September lalu. Foto: video warga

 

 

Aspek lingkungan

Fitry Arianti, dari Indonesia Rainforest Action Network, mengatakan, perspektif ekologi juga harus menjadi hal yang diperhatikan dalam menciptakan transisi berkeadilan di industri sawit.

“Buruh juga perlu memahami, mereka ikut terdampak karena ada perubahan ekologi akibat alih fungsi hutan akibat perkebunan sawit,” katanya.

Dia mengatakan, perlu memetakan untuk mempersatukan isu advokasi hak-hak buruh dan lingkungan dalam menyikapi transisi yang berkeadilan. Hilangnya hutan, menyebabkan terganggunya ekosistem.

“Saya pernah mendengar ada buruh yang diserang harimau. Buruh ini yang menjaga alat berat saat membuka hutan. Harimau merasa rumahnya diganggu hingga menyerang pekerja.”

Hutan, katanya,  merupakan ruang untuk kehidupan masayarakat dan sosial. Ketika hutan dirusak, maka penghidupan masayarakat akan hilang.

Industri sawit, katanya, memerlukan lahan luas, dengan cara menebang hutan, jadikan masyarakat yang tinggal di sekitar terdampak. Penghidupan masyarakat terganggu, katanya, bahkan menghilangkan pula wilayah masyarakat adat.

Oliver Pye, dari University of Bonn, menambahkan, inti dari perspektif transisi berkeadilan (just transition) adalah keyakinan bahwa buruh memiliki kepentingan mendasar dalam transformasi sosial-ekologis  dan mereka memiliki kekuatan untuk melakukannya.

“Para pemilik perusahaan sawit suka berbicara tentang people, planet dan profit. Mereka tentu saja menghasilkan banyak keuntungan. Tapi bagaimana dengan masyarakat?” katanya.

Selain pengupahan rendah, Oliver juga menyoroti perlakuan terhadap buruh perempuan yang jadi penebar pupuk dan menyemprotkan herbisida.

Dalam diskusinya dengan para buruh, satu hal yang sangat jelas adalah buruh merupakan pihak paling dirugikan oleh industri sawit. Mereka juga terkena dampak perusakan lingkungan yang dilakukan industri sawit.

Buruh perempuan terkena paparan racun yang disemprotkan setiap hari. Ada pula buruh yang patah punggung permanen karena kecelakaan kerja saat menganggut sawit.

Tragedi di banyak perkebunan sawit di Indonesia, katanya, tak serta merta jadikan buruh sebagai sekutu dalam mendukung gerakan keadilan lingkungan.

“Kita harus berpikir secara dialektis tentang ini. Buruh tidak dan tidak dapat menjadi pencinta lingkungan melalui peningkatan kesadaran. Mereka menjadi pencinta lingkungan melalui perjuangan,” katanya. (Bersambung)

 

Dari Konferensi internasional “Transisi berkeadilan di industri sawit” Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia
Pekerja sawit . Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version