Mongabay.co.id

Dari COP28: Kala Negara-negara Sepakat Tinggalkan Energi Fosil

 

 

 

 

 

Kesepakatan untuk tinggalkan energi fosil berhasil dibuat pada Konferensi Iklim (Conference of the Parties/COP) 28 di Dubai. Perwakilan  negara-negara itu sepakat lakukan “transisi dari bahan bakar fosil dengan cara adil, teratur dan merata” untuk mencegah dampak terburuk perubahan iklim. Dalam kesepakatan itu juga menyerukan melipatgandakan tiga kali lipat penggunaan energi terbarukan di semua negara.

“Kita apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita katakan. Kita harus mengambil langkah penting untuk kembalikan kesepakatan ini ke dalam aksi nyata,”  kata  Sultan Al-Jaber, Presiden COP28 dalam pertemuan iklim di Dubai itu seperti dikutip dari Reuters.

Beberapa negara menyambut baik kesepakatan ini karena berhasil mencapai sesuatu yang sulit dicapai dalam perundingan iklim selama beberapa dekade. Kesepakatan ini lumayan jadi terobosan baru karena baru kali pertama pertemuan puncak iklim PBB menyebutkan secara jelas upaya peralihan bahan bakar fosil dalam teks COP.

Mengutip Reuters, sebelum terjadi kesepakatan akhir itu, negosiasi di KTT COP28 sempat alot dan penuh drama, sampai ada penambahan waktu satu hari penuh untuk mencapai kesepakatan akhir. Pertemuan yang dijadwalkan hanya berlangsung 12 hari, akhirnya jadi 13 hari.

Lebih dari 100 negara melobi keras untuk memberikan pernyataan yang tegas dalam perjanjian COP28 untuk “menghentikan secara bertahap” penggunaan minyak, gas dan batubara.Hhal itu mendapatkan tantangan dari kelompok Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang dipimpin Arab Saudi.

Kelompok produsen minyak OPEC juga sempat mengirimkan surat kepada para anggota, meminta mereka untuk melobi agar tak ada teks spesifik menargetkan bahan bakar fosil.

OPEC pun mengklaim,  dunia dapat mengurangi emisi tanpa menghindari bahan bakar tertentu.

Pertemuan puncak iklim PBB itu dihantui perpecahan, perbedaan pendapat, dan kemungkinan hasil terendah yang mungkin, hanya demi mencapai kesepakatan. Kesepakatan akhirnya memutuskan penghentian penggunaan energi fosil secara bertahap dan masuk dalam teks COP.

Meskipun begitu, sebagian negara, termasuk aliansi negara-negara kepulauan kecil merasa kecewa dengan keputusan itu karena tidak sesuai target penghapusan yang diinginkan.

Keputusan akhir itu hanya “menghentikan bertahap” penggunaan minyak, gas dan batubara, tidak penuh menghapus bahan bakar fosil.

 

Baca juga: COP28: Jokowi Sebut Percepatan Transisi Energi Perlu Kolaborasi, Apa Kata Masyarakat Sipil?

 

Pencemaran dari PLTU Captive IMIP antara lain terjadi di Desa Kurisa, di mana warna laut berubah menjadi hitam karena tumpahan batubara dari stockpile yang berada di sekitar jetty IMIP dan limbah lainnya. Gambar diambil per 24 Oktober 2023. Foto: Aliansi Sulawesi Terbarukan.

 

Anne Rasmussen, negosiator utama Aliansi Negara Kepulauan Kecil mengkritik kesepakatan ini sebagai tindakan yang tak ambisius. Aliansi Negara Kepulauan Kecil, katanya,  tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan itu. Menurut mereka, keputusan itu bersifat inkremental, bukan transformental.

“Kami telah membuat kemajuan bertahap dibandingkan business as usual, ketika apa yang benar-benar kami butuhkan adalah langkah perubahan eksponensial dalam tindakan kami,” kata Rasmussen seperti dikutip  dari Reuters.

Walhi Nasional juga menilai, kesepakatan akhir KTT COP28 itu tidak lebih progresif dan ambisius dari komitmen iklim sebelumnya untuk mencapai target Perjanjian Paris sebesar 1,5 derajat celcius.

Menurut Walhi, meskipun bahan bakar fosil pertama kali masuk dalam teks COP, tetapi hal itu tidak memiliki makna besar.

“Makna bahan bakar fosil dalam teks COP tidak lebih besar karena hanya diberhentikan bertahap, tapi tidak ada kata “penghapusan” secara penuh penggunaan bahan bakar fosil,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional kepada Mongabay, 13 Desember lalu.

Kesepakatan akhir KTT COP28 itu, kata Uli, tidak ada bedanya dengan keputusan Glasgow dua tahun lalu yang tak ada kemajuan apapun hingga kini. Padahal, katanya,  situasi krisis iklim makin memburuk.

Terlebih lagi, katanya, tidak ada kejelasan pendanaan besar dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang untuk aksi-aksi mitigasi.

Negara-negara maju secara konsisten gagal memenuhi janji yang dibuat pada 2009 untuk menyediakan dana US$100 miliar per tahun dalam bentuk pendanaan iklim sampai 2020 dalam mendukung aksi iklim negara-negara berkembang.

Jumlah itu, masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan keperluan negara-negara miskin mengurangi emisi karbon dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, yang saat ini diperkirakan mencapai triliunan dolar per tahun.

Uli bilang, kalau tidak ada dukungan dana dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang akan memberikan dampak serius terhadap krisis iklim.

Dari semua dampak perubahan iklim, katanya, negara-negara berkembanglah yang menanggung beban lebih besar.

“Sisi lain, negara-negara berkembang dituntut untuk aksi mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim, tetapi tidak diikuti dukungan dana. Semua aksi mitigasi dan adaptasi jika tidak didukung dana itu bulshit.”

Menurut Uli, kondisi iklim akan jadi lebih buruk kalau komitmen iklim negara-negara maju tidak memberikan dukungan dana serius kepada negara berkembang.

 

Baca juga: COP28: Organisasi Masyarakat Sipil Serukan Keseriusan Komitmen dan Aksi Iklim

Kawasan industri nikel di Pulau Obi. Kepulan asap pabrik dan PLTU batubara lepas ke udara. Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

 

Negara maju itu harus membayar utang ekologis mereka untuk mengganti semua kehilangan dan kerugian yang dialami warga negara berkembang.

“Pemberian dana kepada negara berkembang itu merupakan satu hal paling penting untuk aksi mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim,” katanya.

Dia juga khawatir soal kesepakatan akhir soal melipatgandakan tiga kali lipat penggunaan energi terbarukan di semua negara. Faktanya, kata Uli, mayoritas transisi energi yang selama ini terimplementasi masih berbasis ekstraktif.

Uli contohkan, pembangunan kawasan industri nikel untuk kendaraan listrik di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara.

Menurut dia, pembangunan ekosistem listrik yang diklaim sebagai model transisi energi bersih berkelanjutan itu justru mengorbankan lingkungan juga menggerus kehidupan masyarakat adat serta komunitas lokal.

Belum lagi, katanya, deforestasi di Maluku Utara dan Sulawesi terus terjadi ekstraksi penambangan nikel.

“Wilayah-wilayah itu sudah mengalami krisis ekologi dan krisis multidimensi akibat kepentingan transisi energi yang disebut bersih dan berkelanjutan itu,” katanya.

Ironisnya, kata Uli, implementasi transisi energi bersih justru dijawab dengan co-firing (mencampur biomassa dan batubara).  Kebun-kebun hujan energi dibangun untuk jadi ‘pelet’ kayu, sampah, cangkang sawit dan “sawdust” (serbuk gergaji), sebagai bahan bakar pengganti parsial ke dalam boiler batubara.

Menurut dia, co-firing biomassa pada PLTU merupakan bentuk ketergantungan terhadap batubara, sekaligus membuka jalan baru untuk penghancuran hutan hujan.

 Co-firing biomassa juga disinyalir menyingkirkan masyarakat sekitar dan memperpanjang konflik agraria. Hal serupa juga akan terjadi dalam skema biodiesel.

“Jika negara-negara maju meningkatkan transisi energi bersih dengan wajah-wajah ekstraktif seperti itu, yang menjadi sasaran dampaknya adalah negara-negara berkembang, salah satu Indonesia.”

Apalagi, katanya, tidak ada kejelasan pendanaan yang diberikan dari negara maju.

Tak hanya itu, kata Uli, pengembangan teknologi carbon capture and storage (CCS) atau penyimpanan emisi karbon dioksida (CO2) juga terus menjadi kampanye dalam KTT COP28.

Padahal, katanya, teknik penyerapan karbon itu sama saja tetap melanggengkan pelepasan emisi dari fosil, atau tidak bisa menghentikan penggunaan energi fosil.

Bukan hanya itu, katanya, kesepakatan akhir KTT COP28 semua mengarah ke pendekatan pasar, termasuk perdagangan karbon yang merupakan jalan sesat hadapi krisis iklim.

Dia bilang, kesepakatan akhir KTT COP28 akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, menghabiskan hujan tersisa, mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal. Juga memperpanjang perampasan tanah dan akan memicu lebih banyak kriminalisasi maupun intimidasi masyarakat.

 

PLTU Omlin. Sete;ah PLTU beroperasi, warga alami banyak keluhan. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

 

Emisi fosil rekor tertinggi

Emisi karbon dioksida (CO2) Global pada 2023 terus mengalami kenaikan, bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah.

Ironisnya, Indonesia jadi salah satu negara 10 besar penghasil karbon di dunia. Bahkan, di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.

Begitu hasil laporan terbaru tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data pada 5 Desember lalu. Laporan itu seperti delusi bagi para pemimpin dunia, khusus Indonesia yang juga ikut dalam pertemuan puncak Iklim PBB itu.

Sebelum itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pembukaan COP28 terlihat optimis mengungkapkan kalau antara 2020-2022, Indonesia berhasil menurunkan emisi karbon 42% dibandingkan perencanaan BAU 2015.

Sedang laporan itu menyebut,  karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat 18.3% pada 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lain.

Capaian kenaikan emisi disumbang dari penggunaan energi fosil (khususnya batubara), alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi. Di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.

Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19.9% dari total emisi alih fungsi lahan dunia. Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada  1997 terjadi akibat kebakaran gambut di Indonesia.

Temuan yang disusun  120 ilmuwan internasional menyatakan secara gamblang, bahwa tindakan global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil tidak berjalan dengan cepat dan cukup untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya.

Tanpa upaya mengurangi emisi, ada 50% kemungkinan kenaikan suhu 1,5oC di atas pra-industrialisasi akan ditembus dalam jangka waktu tujuh tahun, beberapa tahun lebih cepat dari proyeksi Laporan IPCC.

“Dampak perubahan iklim terlihat jelas di sekitar kita, namun tindakan mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fosil masih sangat lambat,” kata Profesor Pierre Friedlingstein, dari Global Systems Institute di Exeter, yang memimpin penelitian itu.

 

Insalasi panel surya atap di Vinilon Group di Mojokerto. Perlu dorong makin banyak industri beralih dari penggunaan energi ke terbarukan, salah satu lewat sdurya atap. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version