Mongabay.co.id

Emisi dari Deforestasi di Daerah Tropis Dunia Meningkat, Bagaimana di Indonesia?

 

Data pemantauan deforestasi terbaru dari alat pemetaan karbon yang dikembangkan organisasi nirlaba CTrees yang berbasis di California, menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca dari hilangnya hutan tropis telah meningkat sebesar 5 persen pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya.

Para peneliti di organisasi tersebut menggunakan platform Pelaporan dan Verifikasi Pengawasan Yurisdiksi (JMRV) yang memetakan hutan dan lahan non-hutan guna memantau stok, emisi, dan serapan karbon di seluruh planet ini.

Meskipun deforestasi meningkat di wilayah tropis secara global, data menunjukkan bahwa beberapa titik api mengalami penurunan deforestasi pada tahun 2022.

Di Indonesia misalnya, telah terjadi penurunan emisi akibat deforestasi pada 2022. Temuan ini sejalan dengan data yang dikumpulkan oleh berbagai sumber lain yang menunjukkan penurunan kehilangan tutupan hutan di negara ini.

Data platform JMRV juga menunjukkan penurunan emisi akibat deforestasi di Basin Congo, Afrika. Namun di Brasil, emisi baru mulai turun pada tahun 2023, kemungkinan besar disebabkan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan baru yang mulai menjabat pada awal tahun ini.

Secara total, platform ini memperkirakan deforestasi hutan tropis menghasilkan 4,5 miliar metrik ton setara karbon dioksida pada tahun 2022. Namun, hal berbeda terjadi pada hutan beriklim sedang.

 

Ladang kedelai yang berdekatan dengan hutan tropis di Brasil. Emisi di negara ini baru mulai turun pada tahun 2023, kemungkinan besar disebabkan oleh kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan baru yang mulai menjabat pada awal tahun ini. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

“Kami juga memperhatikan bahwa hutan boreal dan hutan beriklim sedang, telah mulai menyerap lebih banyak karbon, mungkin karena hutan ini dikelola dengan sangat baik, tumbuh dengan cepat, dan iklim telah sedikit membantu hutan tersebut karena musim tanam yang semakin meningkat,” kata Sassan Saatchi, CEO dan salah satu pendiri CTrees, mengatakan kepada Mongabay dalam sebuah wawancara video.

Menurut data, penyerapan karbon di AS meningkat lebih dari 30 persen pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, ini kemungkinan berhubungan dengan berkurangnya kebakaran hutan pada tahun tersebut. Sebaliknya, Kanada mengalami penurunan penyerapan karbon akibat kekeringan dan kebakaran hutan yang melanda sebagian wilayah negara tersebut pada tahun 2022.

Selain pemantauan data global, platform JMRV juga dapat digunakan oleh yurisdiksi di masing-masing negara untuk memantau dan memverifikasi stok karbon mereka.

Alat ini, katanya, dapat melengkapi pengumpulan data dan proses penilaian bagi para ilmuwan dan pembuat kebijakan selama dan pasca KTT perubahan iklim PBB, atau COP28, yang telah berlangsung di Dubai.

“Salah satu hal penting mengenai negara atau yurisdiksi yang ikut serta dalam COP, khususnya untuk tahun ini, adalah mereka melaporkan seberapa baik kinerja masing-masing negara setelah penandatanganan Perjanjian Paris dalam hal pengurangan emisi,” kata Saatchi.

“Mereka dapat menggunakan alat ini untuk membandingkan angka-angka yang mereka peroleh dengan menggunakan inventaris masing-masing.”

Platform JMRV diluncurkan pada tahun 2022, dan dikembangkan lebih lanjut dengan data satelit beresolusi lebih tinggi. Global stocktake, sebuah istilah yang merujuk pada mekanisme pemantauan dan peninjauan kemajuan dalam mencapai tujuan pengurangan emisi berdasarkan perjanjian iklim Paris tahun 2015 telah membantu negara-negara di dunia.

Grafik yang dihasilkan menggunakan alat JMRV menunjukkan penurunan emisi karbon tahunan Indonesia akibat deforestasi, degradasi, dan kebakaran dari tahun 2001 hingga 2022. Dok: CTrees.

 

Platform JMRV kini menggabungkan data dari misi ICESat-2 NASA yang memberikan informasi tambahan mengenai volume biomassa di hutan, kepadatan kayu, dan dimensi vegetasi. Tim CTrees juga menggunakan data historis dan machine learning untuk mengamati perubahan tutupan pohon dan karbon yang tersimpan dalam vegetasi selama bertahun-tahun.

“Dalam perubahan dari tahun ke tahun, maka Anda dapat melihat emisi berasal dari perubahan penggunaan lahan serta faktor lingkungan seperti perubahan iklim, kekeringan atau kebakaran. Namun Anda tidak dapat memisahkan keduanya, sehingga langkah selanjutnya adalah membuat atribusi,” kata Saatchi.

Tim kemudian menggunakan data dari program Landsat NASA serta data LIDAR untuk membedakan antara kawasan yang mengalami deforestasi dan kawasan yang terdegradasi.

“Kami memisahkan aktivitas penggunaan lahan dari aktivitas iklim atau lingkungan hidup, negara-negara hanya perlu merespons perubahan antropogenik yang terjadi dalam hal pengurangan emisi,” kata Saatchi.

Platform ini juga mengukur tingkat karbon pepohonan di kawasan non-hutan dan lahan basah, kawasan-kawasan yang banyak memiliki biomassa. Alat JMRV mengungkapkan sepertiga dari seluruh pohon di Afrika berada di luar hutan dan, jika digabungkan dengan hutan savana dan hutan kering, pepohonan tersebut menyimpan lebih dari 60 miliar metrik ton setara karbon dioksida.

Di luar negosiasi pada konferensi iklim PBB, Saatchi mengatakan dia berharap alat ini, yang bekerja secara open source, akan dapat membantu menyediakan data yang dapat diandalkan bagi pembeli dan pemasok di pasar karbon. Juga membantu meningkatkan kapasitas di negara-negara yang tidak memiliki sumberdaya atau teknologi pengumpulan data inventarisasi hutan.

“Harapan saya adalah ini dapat membantu mereka memulai aktivitas mereka yang berkelanjutan,” katanya.

Tulisan asli: Tropical deforestation increases even as a few hotspots see respite, new data shows.  Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

***

Foto utama: Sungai Ivindo di Gabon. Data dari platform JMRV juga menunjukkan penurunan emisi akibat deforestasi di Cekungan Congo. Dok: Zuzana Burivalova.

 

Pemerintah Sebut Deforestasi Turun, Apa Kata Organisasi Lingkungan?

Exit mobile version