Mongabay.co.id

Eratkan Kerja Sama Lintas Iman Atasi Krisis Iklim

 

 

 

 

Krisis iklim sudah menimpa berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Hampir seluruh aspek kehidupan terdampak krisis iklim tetapi masih sedikit masyarakat yang menyadari ini.  Salah satu aksi bisa lewat gerakan lintas iman.  Untuk itu, perlu mempererat hubungan antar iman dalam atasi kerusakan lingkungan dan krisis iklim ini.

Terjadi peningkatan suhu bumi oleh aktivitas ekonomi menyebabkan gunung-gunung es, daratan es kutub utara mencair dan pulau-pulau kecil dan pesisir rawan tenggelam, serta sederet ancaman lain.

Semua terdampak krisis iklim, termasuk anak-anak paling rentan. Dalam laporan ‘The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index’,  menyajikan analisis risiko iklim komprehensif dari sudut pandang anak.

Riset ini menyebutkan, sekitar satu miliar anak—hampir separuh dari total 2,2 miliar anak di dunia—hidup di salah satu dari 33 negara “berisiko sangat tinggi” terdampak krisis iklim.

Budi Haryanto, peneliti Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia, mengatakan,  Indonesia posisi 46 sebagai negara berisiko tinggi terdampak krisis iklim.

Jadi, katanya, anak-anak Indonesia terancam mengalami keterpaparan tinggi terhadap penyakit tular vektor, pencemaran udara, badai, gelombang panas, banjir rob dan lain-lain.

 

Roy Murtado, Pendiri Pesantren Ekologi Al Miskat Bogor. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Belum lagi, keterbatasan akses layanan esensial bagi warga miskin, katanya, dampak krisis iklim akan makin besar menghantam kelompok ekonomi marginal yang merupakan populasi terbesar di Indonesia.

“Di Indonesia, lima penyakit infeksi paling rentan muncul karena perubahan iklim adalah malaria, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, demam berdarah dan leptospirosis,” katanya,  saat diskusi di musyawarah lintas iman di Bumi Perkemahan Joglo Bangkongreang,  Kemang, Bogor, belum lama ini.

Dalam musyawarah lintas iman ini dihadiri para pemuda dari sejumlah organisasi berkumpul untuk membahas persoalan iklim dan kerusakan lingkungan, dengan salah satu sumber ahli, Budi Haryanto.

Hadir antara lain dari Jemaat Ahamadiyah Indonesia, GUSDURian, XR Indonesia, Formula, Pemuda Gereja, Patembayan Jawadipa, Lingkar Studi Feminis, dan Bentala Semua. Juga, Mahasiswa IPB University, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, serta Para Santri Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar Bogor dan lain-lain.

 

Banjir yang mengenangi jalan utama di Batam. Anak-anak, jadi paling rentan saat bencana iklim terjadi. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia (1)

 

Roy Murtado, pendiri Pesantren Ekologi Al Miskat Bogor juga penanggungjawab diskusi mengatakan, tujuan utama kegiatan ini untuk mempererat hubungan antar iman terutama dalam konteks atasi kerusakan lingkungan dan krisis iklim.

Dia bilang, tak ada pencapaian berhasil kalau tidak ada upaya kerja sama, terutama masyarakat sipil. Akhirnya, kata Roy, bisa mendorong hubungan antar iman lebih erat dalam menyelesaikan masalah lingkungan bersama-sama.

Roy berharap,  musyawarah lintas iman ini jadi wadah silaturahmi maupun perjumpaan kelompok agama, terutama kalangan orang muda dan tokoh agama. “Ini untuk berbagi pandangan dari perspektif agama mereka dalam menghadapi kerusakan lingkungan hidup.”

Alva Maldini, dari Lingkar Studi Feminis menyambut baik dengan diskusi atau musyawarah lintas iman ini. “Ikut pelatihan bersama pesantren ekologi ini jadi bisa gunakan pendekatan lintas iman,” katanya.

Dia mengatakan, komunitasnya melihat persoalan lingkungan maupun iklim dengan perspektif eco feminis. Mereka, mengadvokasi soal kerusakan lingkungan, salah satu mengenai  dampak PLTU Suralaya, di Banten.

“Kita melihat bagaimana dampaknya bagi perempuan dan orang muda yang coba kita advokasi.”

Peran pemuda di Lingkar Studi Feminis, katanya, dengan memberdayakan para feminis muda untuk mengadvokasi dan mengkampanyekan krisis iklim dengan pendekatan feminisme.

Syarifah Putri, pemuda Jamaah Ahmadiyah Indonesia, mengatakan,  krisis iklim nyata hingga perlu tindakan dari sekarang. Aksi  ini bisa mulai dengan langkah  kecil seperti gunakan transportasi ramah lingkungan dan tanam pohon.

“Gerakan kami mulai dengan menanam pohon secara pribadi dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” katanya.

Sejauh ini,  kata Putri,  sudah belasan kali sosialisasi dan penanaman sekitar 37.000 bibit pohon. Mereka juga penyadartahuan melalui sosial media.

Reka Maharwati, dari Komunitas Kemitraan Enter Nusantara, mengatakan, di Enter Nusantara banyak mahasiswa dan anak muda tergabung. Generasi muda ini fokus menyuarakan persoalan krisis iklim.

“Anak muda harus berperan. Kita mencoba mengajak anak muda supaya bergerak memperlambat laju krisis iklim,” kata Reka, dalam diskusi.

 

Pemuda Lintas Iman saat mengikuti acara Musyawarah Lintas Iman untuk Iklim. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, ada lima sektor penyumbang sektor emisi, seperti energi, kehutanan/lahan, sampah, proses industri  dan penggunaan produk, serta sektor pertanian.

“Anak muda yang akan rasakan kesulitan air dan kelaparan nanti gara-gara krisis iklim ini,” katanya.

Alfina Damayanti, mahasiswa Insitut Pertanian Bogor mengatakan, peran pemuda lintas iman penting dalam menjaga keharmonisan antara sesama manusia, alam dan Tuhan.

“Dalam konteks agama, saya sebagai Muslim harus lebih paham bahwa agama adalah salah satu pembatas moral agar kita tidak merusak lingkungan massif.”

Dia berpendapat, peran pemuda untuk atasi krisis iklim bisa mulai dari diri sendiri. Hal itu, katanya, bisa dilakukan lewat perubahan-perubahan kecil.

“Kalaupun ingin melakukan perubahan-perubahan besar bisa, tetapi perlu waktu. Jadi, step by step,“ katanya.

Dalam acara ini, selain diskusi soal krisis iklim dan urgensi transisi energi, ada juga nonton bareng dan diskusi tiga film dokumenter tentang sampah produksi Yayasan Desantara & Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar. Sekaligus juga rilis dan diskusi modul belajar krisis iklim yang disusun Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar & Desantara untuk pelajar SMA sederajat.

 

 

Rumah warga di Demak terkena banjir rob. Sebagian warga tetap bertahan, sebagian memilih pindah. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version