Mongabay.co.id

Adaptasi Iklim: Petani Padi Pulau Buru Kurangi Musim Tanam dan Pilih Varietas Tahan Cuaca

 

Seri tulisan tentang krisis iklim yang dirasakan petani di Pulau Buru Maluku disajikan di dalam tiga artikel. Tulisan pertama menyoroti krisis iklim dan dampaknya bagi para petani, tulisan kedua tentang adaptasi petani menyikapi iklim yang berubah, dan tulisan ketiga tentang perjuangan para petani perempuan.

***

 

Wajah Ketua Kelompok Tani Sari Murni Desa Waekarta, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku Budi Santoso Sumringah. Kebahagiannya disebabkan hasil panen gabah meningkat drastis. Bagaimana tidak, lahan 25 hektar dari 18 orang anggota kelompoknya, masing-masing menghasilkan 3–4 ton gabah/hektar.

Para petani Desa Waekarta amat beruntung saat masuki musim tanam padi kedua, air masih tersedia, sebelum dampak El-Nino melanda Kabupaten Buru.

Alhamdulillah, hasil panen musim tanam kedua bisa menutup biaya operasional. Kalau panen merosot lagi musim ini, mungkin petani sudah tidak bisa garap sawah lagi,” ujar Budi saat dijumpai Mongabay (3/11/2023).

Meski di tengah ancaman kemarau panjang, hasil panen sawah para petani Desa Waekarta berhasil. Mereka bersyukur atas kecukupan air dan minimnya hama tanaman mereka.

Pada musim tanam pertama 2023, mayoritas petani Waekarta hasil panennya merosot tajam. Tahun-tahun sebelumnya, 2021-2022 adalah mimpi buruk, banyak tanaman padi yang rusak total (puso), kala Pulau Buru dan daerah Kepulauan Maluku dilanda La-Nina.

Cuaca ketika itu tak menentu, bisa tiba-tiba hujan dan panas. Tanaman padi mereka pun masif terserang  hama. Lahan sawah seluas 272,00 hektar di desa jauh dari target menghasilkan padi. Akibatnya, para petani pun terpaksa berhutang menutupi kerugian, demi bisa menggarap sawah.

 

Petani Desa Waekasar mengangkat gabah yang telah dimasukan dalam karung usai panen. Foto: Jaya Barends/ Mongabay Indonesia

 

Salah satunya Witarsa, dia mengaku saat itu tak kembali modal. ”Sekali musim tanam butuh Rp7,5 juta, di 2021–2022 saya rugi. Hasil panen di bawah 50 persen,” akunya.

Ketua Gapoktan Desa Waekerta Heriyanto pun mengiyakan. Dia sebut petani ketika itu dibebankan ikut arahan Program IP-400 dari pemerintah.

Lewat program tersebut, dalam setahun siklus tanam padi dilakukan 4 kali dengan menggunakan benih padi umur pendek atau Genjah/Super Genjah dengan sistem tabur langsung di sawah. Varietas yang digunakan adalah Cakrabuana, Mekongga, dan Cigeulis.

Namun program itu tidak menghitung adanya perubahan cuaca yang tak menentu. Ketika musim tanam berlangsung, lebih banyak terjadi hujan ketimbang panas.

Ditambah dalam dua minggu selepas panen, lahan langsung dipersiapkan masuk musim tanam kembali. Tanah tak diberi istirahat cukup, kestabilan unsur hara terganggu, dan siklus hama belum sepenuhnya putus.

Walhasil panen kala itu merosot tajam. Tanaman padi terserang wereng cokelat, blas, dan walang sangit. Meski berkali-kali semprotan hama dilakukan hasilnya nihil. Hujan yang terus menerus melunturkan obat-obatan kimia itu.

”Pokoknya, hama datang silih berganti. Petani sangat dirugikan oleh program IP-400. Mayoritas sawah puso,” ungkap Heriyanto.

Untuk menutupi kerugian, sebagian petani terpaksa bekerja sebagai kuli bangunan atau menanam palawija.  Sebagian uang hasil kerja itu dipakai untuk modal menggarap sawah dan membayar hutang di bank.

Belajar dari pengalaman itu, pada tahun 2023 para petani bersepakat merubah musim tanam hanya tiga kali dalam setahun. Benih padi yang dipilih pun berbeda, yaitu Siliwangi. Varietas tersebut di klaim lebih tahan hama dibandingkan bibit lainnya.

Hasillnya, dari luas sawah produktif Desa Waekarta, seluas 794,25 semuanya dapat panen. Peningkatan produktivitas pun terjadi. Jika sebelumnya dari satu hektar lahan menghasilkan 40–50 karung gabah kotor (Rp7–8 juta jika dinilai harga jual beras), maka kini per hektar menghasilkan gabah kotor 110-130 karung (Rp25–30 juta harga jual beras).

Hal serupa dirasakan petani di Desa Waekasar. Junaidi, Ketua Gapoktan Jiwa Mas menyebut pada musim tanam pertama dan kedua tahun 2023, mereka mulai mengganti varietas benih padinya. Jika dulu para petani menggunakan benih Mekongga, Cigeulis; dan Inpara 2, kini mereka berganti ke Situ Bagendit.

”Hasil panennya bagus sekali.”

 

Sarno, petani padi asal Desa Waetele, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku. Untuk menyisiati iklim yang berubah, petani mencari varietas yang lebih tahan cuaca. Foto: Jaya Barends/ Mongabay Indonesia.

 

Varietes Rendah Emisi Metan

Jika di Desa Waekarta para petani menikmati hasil panen padinya, hal sebaliknya terjadi di Desa Parbulu, Kecamatan Waelata. Kecamatan ini meliputi desa-desa seperti Waelo, Waetina, Waeflan, Waeleman, Parbulu, Debowae, Dava, Basalale, dan Waehata. Total area sawah adalah seluas 3.835,80 hektar, dengan sawah produktif 1.956,00 hektar dan yang tidak produktif 1.879,80 hektar.

Di musim tanam kedua 2023, banyak petani yang gagal panen karena padinya banyak yang terserang hama.

Anggi Setiawan, seorang warga setempat, sebut kegagalan ini disebabkan para petani menanam padi tidak serentak.

”Ada para petani yang menabur benih padi duluan. Bahkan ada juga melewati musim tanam,” ujarnya. Tindakan ini tentu menyebabkan siklus hama tidak putus. Hama berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.

Akibatnya, di dalam satu hamparan yang terdiri dari sejumlah petakan sawah, ada sebagian petani yang sudah memanen, tapi ada yang masih menggarap dan menabur benih. Umur padi pun bervariasi, ada satu bulan, dua bulan dan tiga bulan.

Toto Sudaryanto, Penyuluh Balai Pertanian Kecamatan Lolongguba, Dinas Pertanian Kabupaten Buru menjelaskan ‘kenekatan’ petani ini disebabkan persoalan keterbatasan ketersediaan air.

“Persoalan air membuat musim tanam tak serentak,” ujarnya.

Kini saat anomali cuaca El-Nino datang sebagai dampak krisis iklim, sebagian petani di Kecamatan Lolongguba pun terpaksa menunda musim tanam ketiga. Mereka masih memantau perkembangan cuaca.

Kemarau yang masih panjang dan belum adanya tanda-tanda masuk ke musim hujan membuat para petani menahan diri. Pertimbangan lainnya, air irigasi tidak cukup. Imbas sosialnya, ini bisa memicu keributan diantara para petani saling memperebutkan air yang ada.

”Belajar dari tahun sebelumnya [2021-2022], hujan tapi panas lagi. Keadaan ini berpengaruh pada tanaman dan hasil panen,” jelas Pamuji, Ketua Gapoktan Desa Wanareja.

Salah satu yang masih menahan diri adalah Sudrajat, warga Desa Waetele. Sudah sebulan lebih dia tidak turun bersawah. Dia memilih tidak melanjutkan tanam padi di musim ketiga, karena khawatir malah merugi. Dia memilih kerja kebun yang lain.

 

Padi berumur satu bulan yang terserang hama di area sawah Desa Grandeng, Kecamatan Lolongguba, Kabupaten Buru, Maluku. Foto: Jaya Barend/ Mongabay Indonesia.

 

Mitigasi dan Adaptasi Dampak Krisis Iklim

I Nyoman Widiarta, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, menyarankan para petani melakukan mitigasi untuk mengurangi serangan hama dan penyakit tanaman. Dia sebut petani dapat menanam varietas yang rendah emisi metan dan melakukan pemupukan nitrogen sesuai kebutuhan di lokasi tanaman.

Untuk benih padi, Widiarta merekomendasikan Inpari 13, Inpari Cakrabuana Agritan, Inpari 17 dan Inpari 18 yang emisi metannya lebih rendah 25 persen dari jenis Ciherang.

“Sisa hasil panen [jerami] tidak dibakar, dan lakukan dekomposisi dengan bantuan mikroba methanotrophs untuk mengurangi emisi metan. Petani juga perlu lakukan pengendalian berbasis pada pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT),” jelasnya.

Sedang untuk daya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, Widiarta menyebut petani dapat menerapkan sistem kalender tanam untuk mengurangi risiko gagal panen. Kalender tanam ini diperbarui berdasarkan ramalan musim yang dikeluarkan BMKG.

Fenomena kemarau basah saat terjadinya La Nina jelasnya, menyebabkan air cukup tersedia untuk meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) padi, sehingga lahan tadah hujan menjadi lebih produktif.

Namun, air yang melimpah akibat La-Nina dapat pula menyebabkan banjir yang merendam tanaman padi. Dampaknya, tanaman kelebihan air yang berakibat hasil panen berkurang.

Sebaliknya saat El-Nino kekurangan air menyebabkan berkurangnya areal tanam atau panen. Tanaman pun bisa puso akibat kekeringan dan hasil panen menjadi lebih rendah.

”Kekeringan berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman,” jelasnya.

Soal dampak krisis iklim, Penyuluh Balai Pertanian (BPP) Kecamatan Waeapo, Dinas Pertanian Kabupaten Buru, Supri mengatakan petani telah mulai diperkenalkan perihal cara-cara adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim.

“Sasaran utama sosialisasi adalah Ketua Gapoktan dan Ketua Kelompok Tani di Kecamatan Waeapo. Dari mereka diharapkan dapat disampaikan ke para petani anggotanya,” ungkapnya.

 

Hadapi Krisis Iklim Peneliti Kembangkan Padi Tahan Cuaca Panas

 

Exit mobile version