Mongabay.co.id

Cerita Samanhudi, Penggerak Pertanian Organik dari Banyuwangi

 

 

 

 

Hujan baru saja reda. Tanah di sekitar Dusun Umbulrejo,  Desa Sumberbaru, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Jawa Timur,  masih basah, hari itu. Tanaman padi menguning di beberapa sudut. Tumpukan jerami membukit tanda habis panen. Tanaman-tanaman padi itu ditanam dengan pola organik.

Adalah Samanhudi, penggerak pertanian organik di Banyuwangi dari Desa Sumberbaru. Dia mendampingi petani untuk terapkan pertanian organik di sembilan kecamatan di Banyuwangi,  dari Kalibaru, Glenmore, Sempu, Songgon, Singojuruh, Licin, Glagah, Kabat, dan Genteng.

“Saya asli petani, lahir dari seorang petani,” kata pria 59 tahun ini.

Pada 1997, dia didaulat jadi Ketua Kelompok Tani Mendokaryo. Kelompok tani ini berdiri  sejak 1980 an. Pada 1982 vakum. Baru 1997, aktif lagi dan dia ditunjuk jadi ketua. “ Sekarang berubah jadi Mendo Sampurno,” cerita Ketua Kelompok Tani Mendo Sampurno ini.

Samanhudi bilang, sejatinya, merasa tak paham teori pertanian.

Kala itu, dia bertani sistem hortikultura. Ada tanam semangka, melon, cabai , dan lain-lain.  Hasil pertaniannya lumayan.

“Jadi, mungkin itu yang kemudian masyarakat jadikan saya sebagai ketua.”

 

Padi organik. Foto: Eni Muslihah/Mongabay Indonesia

 

Dia pun memperkuat ilmu pertanian dengan belajar dan minta dampingan dari keponakannya yang insinyur pertanian, Sudarmadi. Dia ahli perkebunan.

Dalam waktu bersamaan, keponakannya diangkat jadi penyuluh pertanian di Lumajang. Samanhudi menerapkan dan meneruskan konsep pertanian itu. Sampai sekarang tetap mendapat pendampingan dari keponakannya.

Begitu diangkat jadi Ketua Kelompok Tani Mendo Sampurno, dia banyak belajar. “Ke luar daerah. Ke Tindan, Lawang, Jogja, dan banyak daerah lain”

Dia bisa ikut pelatihan itu, katanya, karena jadi salah satu kelompok tani yang direkomendasi Dinas Pertanian Banyuwangi untuk menambah wawasan soal pertanian dan pengelolaan secara organik.

“Sejak awal 1997. Kadang saya mewakili kabupaten, kadang juga mewakili kecamatan. Lupa berapa kali ikut pelatihan itu.”

Mengenai pertanian organik, dia sudah dapatkan dari orangtuanya.

“Dulu,  saya lihat bapak memang bertani organik. Pakai kotoran ternak. Kerbau. Kan bapak saya punya banyak kerbau. Cuma dulu tidak memandang istilah petani organik dan non organik. Ya bertani, jadi bertani saja. Pupuknya ya pakai kotoran ternak itu,” katanya.

 

Beras organik dari Banyuwangi. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Samanhudi bilang, mereka terapkan pola pertanian organik dengan pestisida bikin sendiri. “Bahannya dari jamur, bakteri, parasit, virus dan lain-lain. Pupuknya, pakai kotoran kambing.”

Dia bikin dan kemas pupuk sendiri bahkan sudah ada merek, JP4O Minakjinggo. JP40 itu merupakan kepanjangan dari  Jaringan Petani Pembuat dan Pemakai Pupuk Organik. Nama Minakjinggo, katanya, diambil dari nama raja atau Bupati Banyuwangi yang terkenal.

“[Kalau] dari anggota atau mitra kami, pupuk organik mayoritas pakai kotoran kambing. Ada sebagian pakai kotoran kerbau atau sapi,” katanya, seraya bilang anggota atau mitra tani bisa pakai pupuk organik darinya atau bikin sendiri.

Komoditas pertanian yang murni organik, katanya, padi dan kedelai. Kedelai oleh salah satu anggota kelompok tani. Samanhudi fokus tanam padi. “Tanaman anggota kelompok tani beragam. Ada sayur, buah, jagung, dan lain-lain,” katanya.

Dia punya enam orang pendamping khusus kelompok tau mitra tani tersebar di sembilan kecamatan. Mereka bekerja sesuai jadwal yang disepakati atau saling berganti sesuai kesepakatan.

“Ditambah beberapa pemuda untuk jadi tim pemasaran. Ada yang lulusan pertanian, ada lulusan sekolah menengah atas. Kami serius bangun usaha ini. Jadi kami coba tempatkan dan sediakan anak muda dan orang-orang profesional di bidangnya.”

Selain mengelola lahan sendiri, melalui PT Sirtanio, Samanhudi juga menyediakan benih, pupuk dan pestisida organik (biopestisida).

Kelompok tani dan mitra dapat menggunakan berbagai keperluan bertani dari Samanhudi lalu membayar setelah panen tanpa bunga. Dia juga memberikan pendampingan dan pengawalan mulai dari semai sampai panen.  Kelompok tani dan mitra tani bisa menjual hasil panen padanya.

Dia tidak ingin memberatkan petani. Proses kelola lahan petani didampingi dan harga jual hasil ditentukan di depan sesuai kontrak. Meskipun gagal panen atau tak sesuai ekspektasi, katanya, mereka tetap kembali ke harga kontrak.

“Kalau harga di luar mengalami fluktuasi, kami stabil. Cenderung naik. Contoh. Harga di kertas kontrak Rp5.000. Kalau di luar lebih Rp200, kami tambah atau menaikkan lebih dari kontrak. Sebaliknya, semisal harga di luar di bawah Rp5.000, kami tetap pakai harga kontrak Rp5.000,” katanya.

 

Proses pengemasakan beras organik dari Banyuwangi. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Dalam menerapkan pertanian organik bukan tanpa kendala. Dia cerita, anggota atau mitra tani biasa mengeluh di awal. Ada yang mengeluh soal lahan kadung rusak karena pakai pupuk kimia.

“Mereka merasa ribet dan belum merasakan efek dari penerapan organik. Seperti bagaimana mematikan rumput atau gulma sebelum garap lahan. Mereka merasa ribet.”

Ada juga yang mengeluh, hasil panen tidak sesuai ekspektasi, misal, berkurang dari sebelumnya. “Kenapa itu terjadi? Karena lahan belum bisa menyesuaikan diri dengan penerapan organiknya. Pemilihan lahan memang butuh waktu sekitar 2-3 tahun.”

Meskipun begitu, Samanhudi dan tim tetap telaten dampingi anggota petani dan mitra.

Menurut dia, sudah saatnya petani kembali ke pertanian organik. Petani juga harus mandiri agar tidak dibuat ketergantungan pada produk kimia.

Fakta hari ini, katanya, petani harus serba beli dari benih dan pupuk. Padahal, sebenarnya benih bisa diambil dari sisa hasil panen sebelumnya. “Pupuk bisa gunakan kotoran hewan atau kompos, pestisida bisa gunakan dari alam. Baik langsung atau masih melalui proses.”

Menurut dia, dengan gunakan pupuk kimia dan pestisida kimia, hasil memang banyak, modal besar dan tanpa sadar tanah jadi rusak. Kesuburan berkurang, katanya, tanaman tidak normal, tidak tahan hama dan lain-lain.

“Mari kembali mandiri. Dalam mengurangi ketergantungan terhadap pupuk dan bahan-bahan pertanian kimia yang harga makin mahal. Alam sebenarnya menyediakan.”

Dia juga coba menarik orang muda untuk terlibat dalam sektor pertanian.

“Kami juga tanamkan kepada generasi muda yang tergabung bahwa bertani bukan hanya soal keuntungan ekonomi. Tetapi hasil dari produktivitas dan kerja keras pertanian organik ini ditunggu dunia untuk menghasilkan pangan sehat. Bagi kami, petani itu pekerjaan mulia.”

 

Samanhudi, penggerak pertanian organik dari Banyuwangi. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version