Mongabay.co.id

Para Petani Perempuan Bertarung Nasib di Tengah Krisis Iklim Pulau Buru

 

Seri tulisan tentang krisis iklim yang dirasakan petani di Pulau Buru Maluku disajikan di dalam tiga artikel. Tulisan pertama menyoroti krisis iklim dan dampaknya bagi para petani, tulisan kedua tentang adaptasi petani menyikapi iklim yang berubah, dan tulisan ketiga tentang perjuangan para petani perempuan.

***

 

Di tengah panas terik langit Desa Grandeng, Kecamatan Lolongguba, Kabupaten Buru, Maluku, Nuriyah bersama para perempuan lain menyisir dan mencabut gulma di sekitar tanaman padi.

Dia menyambi sebagai pekerja harian lepas. Rentannya serangan hama dan penyakit padi, menjadi alasan utama dia bekerja guna mendapatkan penghasilan tambahan.  Upahnya akan dia gunakan untuk belanja obat-obatan pembasmi hama.

”Hampir tiap tahun harga obat selalu naik. Kalau bisa beli yang mahal, ya beli [tak ada pilihan],” katanya kepada Mongabay (4/11/2023).

Bagi Nuriyah, hasil panen padi yang memuaskan harus disertai modal besar. Apalagi di tengah situasi iklim yang tak menentu seperti sekarang. Butuh modal besar untuk beli obat karena banyak hama.

Dulu satu hektar panen padi mencapai 5 ton, kini menyusut hanya 1–2 ton saja. Itu pun harus selalu disemprot obat pembasmi hama. Dalam musim tanam kedua 2023, dia mengaku melakukan tiga kali penyemprotan karena sawahnya terserang hama putih palsu.

Cnaphalocrocis medinalis nama latin dari hama tersebut, biasanya menyerang padi saat fase vegetatif atau saat padi berumur 1 bulan. Serangan serupa kemungkinan terjadi pada saat padi keluar bunga pada buku paling atas, atau yang disebut malai.

 

Para petani perempuan Desa Grandeng, Kecamatan Lolungguba, Kabupaten Buru sedang mencabut gulma yang tumbuh berdekatan dengan padi. Foto: Jaya Barends/ Mongabay Indonesia

 

Krisis Iklim Munculkan Tekanan Hidup

Meski dua kali musim tanam gagal total, Kartini tetap memelihara lahan sawahnya. Baginya tantangan menggarap sawah adalah cuaca yang tak menentu. Jika 2022 banyak hujan, beda lagi 2023 justru kemarau panjang sekali.

”Dulu meski kemarau, tak kesulitan air seperti sekarang,” ungkapnya (4/11/2023).

Keluhannya bukan tanpa sebab. Saat dua kali musim tanam 2022, padinya mati sebelum panen. Selain kendala air, dia juga menyebut mahalnya harga pupuk dan obat-obatan pembasmi hama serta penyakit padi.

Saat itu padinya terserang hama penggerek batang padi (PBP), akibatnya padi menjadi putih dan mati.

Kondisi iklim saat ini memang sangat tidak menguntungkan bagi para petani. Yeli Sarvina, peneliti di Pusat Penelitian Iklim dan Atmosfer BRIN, menyebut petani sudah tidak bisa menggunakan pola lama.

Dia menyarankan, penentuan awal musim tanam perlu didekati dengan menggunakan prakiraan awal musim yang dikeluarkan oleh BMKG.

“Dampak perubahan iklim telah menyebabkan variabilitas iklim yang tinggi, sehingga mengganggu pola musim ada,” ungkapnya.

Perubahan iklim pun merubah siklus hidrologi. Dampak utamanya adalah perubahan intensitas dan pola curah hujan. Berkurangnya ketersediaan air, menyebabkan petani tidak bisa melakukan penanaman atau mengalami gagal panen. Namun sebaliknya, curah hujan yang terlalu tinggi juga menjadi ancaman kegagalan.

“Peningkatan ketersediaan air [yang ekstrim] bisa menyebabkan gagal panen, seperti banjir atau meningkatnya serangan hama dan penyakit,” jelasnya.

 

Marmi, seorang petani padi, tengah memantau perkembangan padi saat mendekati musim tanam di Desa Waenetat, Kecamatan Waeapo. Foto: Jaya Barends/ Mongabay Indonesia.

 

Marmi adalah seorang perempuan penggarap sawah. Dia sadar betul bahwa krisis iklim mempengaruhi siklus tanam padi.

Seharusnya pada bulan November hujan sudah turun. Jika sudah masuk musim hujan, sebutnya, musim tanam tiga di bulan November sudah bisa berlangsung. Kenyataan, para petani belum bisa menggarap sawah, karena masih kemarau.

Marmi bilang kemungkinan akan memilih tidak menanam padi saat musim tanam ketiga nanti. Dia masih mempertimbangkan kondisi cuaca. Bila memaksa tetap tanam dia khawatir bakal menanggung rugi dan terpaksa berhutang lagi.

”Kalau padi saya mati, bagaimana nanti saya bayar sewa?” ujarnya.

Harga sewa lahan sawah adalah Rp3-4 juta/hektar. Sejak hampir lima tahun terakhir dia tak mampu bayar semua biaya sewa dan terpaksa memilih mencicil. Untungnya, pemilik lahan sawah memahami kondisi iklim yang tak bersahabat bagi para petani tersebut.

Berdasarkan Data BMKG prediksi curah hujan menjelang akhir tahun 2023 untuk beberapa wilayah Maluku berada di kriteria rendah-menengah (0-150 mm/dasarian).

Sutiah, warga Desa Waelata, Kecamatan Waeapo adalah salah satu yang merasakannya. Meski sempat merasakan hasil panen padi yang bagus saat 2022, kini sawahnya puso akibat kemarau panjang.

Sebagai gambaran, satu hektar sawahnya biasanya dapat menghasilkan gabah basah sekitar 90–100 karung.

“Kalau kondisi kering [kemarau panjang] seperti ini padinya puso. Beda dengan 2022, panen padi waktu itu melimpah,” keluhnya.

 

Petani memasukan gabah kering dalam karung usai dijemur di sisi kiri dan kanan Jalan Trans Buru, Kabupaten Buru, Maluku. Foto: Jaya Barends/ Mongabaya Indonesia

 

Petani Perempuan Rentan Depresi dan Stres

Nuriyah, Kartini, Marmi, dan Sutiah adalah potret kecil dari kebanyakan petani perempuan di Pulau Buru yang terdampak langsung krisis iklim. Mereka diperhadapkan hasil panen yang terus menyusut bahkan gagal.

Tak ayal, banyak petani perempuan yang rentan terganggu kesehatan mentalnya. Kondisi ini bahkan bisa memicu stres dan depresi.

Junita Sipahelut, Psikolog di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon menjelaskan bahwa krisis iklim berdampak negatif langsung dan begitu terasa dalam tananan sosial masyarakat.

Petani perempuan, ujarnya memiliki dampak psikologi lebih besar dibadingkan petani lelaki. ”Ini merujuk kepada isu kerentanan gender.”

Kelompok seperti perempuan sering dianggap lemah karena kemampuan adaptasi dan akses mereka yang terbatas terhadap sumberdaya tertentu. Hubungan relasi kuasa di dalam keluarga pun kerap memaksa petani wanita berfikir dan bekerja lebih keras.

Misalnya Kartini, dia bekerja mengurus seluruh aktivitas yang ada di sawah, sedang suaminya berbagi tugas menyediakan bibit, pupuk dan obat–obatan.

Begitu juga Suratmi yang harus panas-panasan di sawah memastikan padinya tetap sehat dan hasil panen harus menggembirakan. Meski di atas kertas, harapan ini sulit terwujud karena sawahnya telah terserang hama putih palsu.

Beda lagi dengan Nuriyah, sejak lima tahun terakhir hasil padinya menurun dratis, hanya sekitar satu ton, padahal dulunya bisa mencapai hingga 5 ton per hektar.

Sipahelut menyebut perempuan punya sikap mental yang selalu punya harapan besar atas kerja keras mereka. Namun jika tak sesuai, -seperti panen padi yang menurun ini, akan berpengaruh terhadap kesehatan mental mereka.

“Mulanya, stres dan kecewa, bahkan depresi juga bisa muncul di kalangan petani perempuan.”

Apalagi tantangan krisis iklim adalah hal baru bagi para perempuan ini. “Kalau tidak cepat beradaptasi dengan krisis iklim, para petani perempuan ini sangat rentan stres,” tutupnya

 

 

Hadapi Krisis Iklim Peneliti Kembangkan Padi Tahan Cuaca Panas

Exit mobile version