Mongabay.co.id

Peluang Pekerjaan Hijau Menarik bagi Mahasiswa di Tengah Ancaman Krisis Iklim

 

https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2023/12/Pekerjaan-Hijau-updt-2.wav?_=1

 

Krisis iklim bukan isapan jempol, tak lagi hanya ancaman tetapi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah kekhawatiran itu, generasi muda menunjukkan ketertarikan terhadap pekerjaan hijau sebagai peluang karier yang menarik. Hasil riset Suara Mahasiswa (Suma) Universitas Indonesia bersama Yayasan Cerah Indonesia memaparkan bahwa 98% orang muda percaya pekerjaan hijau bisa memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat. 

Dian Amalia Ariani, Pemimpin Redaksi Suma UI mengatakan, ketertarikan generasi muda terhadap pekerjaan hijau tidak terlepas dari kekhawatiran krisis iklim dan degradasi lingkungan yang makin parah. Hampir semua responden atau 99% percaya bahwa generasi muda memiliki peran penting dalam mengatasi tantangan krisis iklim melalui karier di bidang pekerjaan hijau. 

“Anak muda percaya green jobs memberikan peluang karir menarik,” katanya saat memaparkan hasil riset Persepsi Mahasiswa terhadap Peluang dan Tantangan Pekerjaan Hijau, di Depok, Jawa Barat, November lalu.

Mini riset ini dilakukan sejak 25 Juli-12 September 2023 dengan teknik pengambilan sampel acak sederhana. Riset ini disebarkan kepada mahasiswa aktif tingkat sarjana dari berbagai fakultas di Indonesia. Ada 532 responden dengan rentang usia 18-25 tahun. Riset ini menggali persepsi mahasiswa terhadap peluang dan tantangan karier pekerjaan hijau di Indonesia.

Khusus untuk pakaian, kini makin berkembang dengan kain model ecoprint. System eceprint ini lebih ramah lingkungan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

“Sebagian besar anak muda mengatakan bahwa tidak hanya mengejar penghasilan. Tapi pekerjaan kita juga bisa berdampak positif dan memperpanjang usia bumi,” ujar Dian.

Ada beragam peluang karir yang menarik mulai dari tata busana hijau yang menciptakan fashion ramah lingkungan, ahli energi terbarukan, perancangan kota berkelanjutan, pertanian organik hingga pengembangan teknologi ramah lingkungan. 

Meski minat generasi muda terhadap pekerjaan hijau tinggi, masih ada hambatan dalam mengakses keterampilan hijau yang diperlukan. Dian mengataka, masih minim informasi terkait pekerjaan pekerjaan hijau bahkan sulit diakses. 

Tak hanya itu, perguruan tinggi belum memberikan pelatihan atau pengajaran terkait hal ini hingga belum memiliki green skill, pendidikan dan pelatihan yang tersedia belum atau tidak cukup mempersiapkan dia dalam sektor pekerjaan hijau. 

“Meski minatnya cukup tinggi, diakui pekerjaan hijau bagi mereka masih belum dianggap prestisius. Kadang-kadang pekerjaan hijau belum memiliki status sosial yang baik di masyarakat,” ujar Dian.

Responden juga menilai kurangnya peran pemerintah dan institusi pendidikan dalam pengembangan pekerjaan hijau. 

“Sekitar 90% responden mengatakan perguruan tinggi perlu mengadopsi kurikulum berkaitan dengan krisis iklim dan pekerjaan hijau.” Sisanya bilang isu pengembangan pekerjaan hijau perlu jadi prioritas kebijakan atau program politik di Indonesia. 

Seorang nelayan Natuna memperbaiki panel surya yang terdapat di atas kapalnya. Foto : Yogi Eka Syahputra/Mongabay Indonesia

Peningkatan keahlian

Maliki, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, pekerjaan hijau bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Potensi pekerjaan ini tidak hanya untuk pengurangan emisi, meminimalisir limbah dan polusi, juga meningkatkan lapangan pekerjaan dan ekonomi. 

“Itu skill yang harus dimiliki agar ada competitiveness (daya saing) cukup baik ke depan. Jika orang muda disini (Indonesia) masih berpikiran tidak ada peluang. Maka teman-teman akan tergantikan oleh tenaga kerja dari India dan China,” ujar Maliki.

Bappenas sedang menyusun peta jalan pengembangan sumber daya manusia menuju pekerjaan hijau. Dalam menghadapi krisis iklim, katanya, transisi ke pekerjaan hijau bisa menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari dan menciptakan dampak positif. Peta jalan ini dikembangkan untuk menuju ekonomi hijau yang berkeadilan. 

Dia menjabarkan mengenai definisi pekerjaan hijau, sebagai pekerjaan yang berkontribusi untuk melestarikan atau memulihkan lingkungan, mempromosikan pekerjaan layak dan inklusi. Pekerjaan hijau ini, katanya, memiliki tugas-tugas khusus (green task), membutuhkan keterampilan khusus (green skill), menerapkan proses ramah lingkungan (green process), dan menghasilkan keluaran produk atau jasa ramah lingkungan (green product).

Data Bappenas (2019) di Green Economy Index menunjukkan, dengan skenario pembangunan rendah karbon akan menciptakan 15,3 juta pekerjaan hijau pada 2045. Pada 2021, Bappenas menyatakan, ekonomi hijau akan menghasilkan tambahan 1,8 juta pekerjaan hijau pada 2045.

Tabungan salah satu pemilah sampah di bank sampah dusunnya dalam aplikasi bank sampah Griya Luhu. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Seiring dengan publikasi International Renewable Energy Agency (IRENA, 2023) yang menyebutkan, lapangan pekerjaan transisi energi kalau sesuai target Perjanjian Paris akan menciptakan sekitar 2 juta pekerjaan hijau pada 2023 dan 2,5 juta pada 2050. 

“Publikasi ini menyebutkan, proyeksi kebutuhan tenaga kerja dalam perbaikan dan pemulihan lingkungan punya prospek sangat tinggi. Ada potensi penambahan lapangan kerja yang tidak hanya berkontribusi pada lingkungan juga pendapatan,” ujar Aziz Kurniawan, Manajer Kebijakan dan Advokasi Koaksi Indonesia.

Dallih Warviyan, Senior Project Development Manager Akuo Energy menyebutkan pekerjaan hijau memiliki prospek yang cerah seiring munculnya pekerjaan baru dampak krisis iklim. 

Namun, Dallih juga mencatat ada ketidakseimbangan antara peningkatan pekerjaan hijau dan peningkatan keterampilan hijau. Meski pekerjaan hijau naik 8% dalam lima tahun terakhir (2016-2021), peningkatan keterampilan hanya sekitar 6%. 

Berdasarkan penelitian Koaksi Indonesia, ada perbedaan cukup signifikan terhadap jumlah tenaga teknik yang dibutuhkan pada energi terbarukan dibandingkan energi fosil. Energi terbarukan dapat menciptakan 8-10 kali lipat tenaga kerja dibandingkan industri fosil.

Meski begitu, katanya, ada tantangan dalam pengembangan pekerjaan hijau. Diantaranya, ketidaksesuaian keterampilan lulusan dengan kebutuhan industri karena kurikulum dan pelatihan kejuruan yang tidak sesuai, tantangan sertifikasi dan kurikulum, serta geografis. 

“Perlu sinergi lintas lembaga pendidikan dan pemerintah dalam mempromosikan pekerjaan ini.” 

Aziz mengatakan, dalam memperluas dan penguatan kapasitas sumber daya manusia, perlu kurikulum berbasis kompetensi, dan penyediaan fasilitas pendidikan yang sesuai target. Juga peralihan program pelatihan yang berorientasi prospek kerja, sertifikasi kompetensi dan mendorong badan pengembangan kapasitas di sektor pekerjaan hijau.

***

*Indah Khaira Azahra adalah mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta yang sedang magang di Mongabay.co.id.

 

Exit mobile version