Mongabay.co.id

Masyarakat Semende Penuhi Energi dan Berdaulat Pangan dari Jaga Hutan

 

 

 

 

 

 

Jalan sempit, berkelok di antara tebing dan tepian jurang. Sepanjang jalan menuju Danau Gerak, pinggiran bukit gelap pekat. Tujuh jam lebih perjalanan baru kami sampai ke desa paling ujung di Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan ini, November lalu. Desa ini dikelilingi Bukit Barisan.

“Di sini (Semende) kalau hujan, PLN mati. Di rumah ini hidup karena kami pakai turbin,” kata Jamrah, warga Danau Gerak, Semende, membuka obrolan.

Penerangan di Danau Gerak bersumber dari aliran air di hutan Bukit Barisan. Warga Semende menyebutnya “tumutan tujuh”—merujuk pada tujuh sumber air yang mengalir ke Sungai Air Hitam, Cawang Tengah, Air Deras, Luang Dalam, Enim Kiri, Enim Tengah, Lubuk Nipis dan bermuara ke Sungai Enim serta Sungai Lematang.

Pada 2008,  warga gotong royong membangun pembangkit listrik tenaga air. Mereka membendung aliran Sungai Enim Kiri untuk menggerakkan kincir air dari kayu.

“Dulu,  kami belum tahu cara buat kincir air. Jadi sering rusak, tapi kami coba-coba terus. Kalau rusak dibenari lagi,” kenang Fikri.

Lelaki paruh baya itu pernah setahun jadi datuk siring, jabatan di Desa Danau Gerak yang bertugas menjaga dan mengatur aliran air ke sawah.

Usaha mereka berhasil. Hampir satu dekade kincir air menghasilkan setrum yang mampu menerangi 76 rumah di Danau Gerak.

Seiring waktu,  jumlah penduduk terus bertambah. Rumah-rumah di Danau Gerak perlu listrik. Sekitar 2018, warga mengganti kincir kayu dengan turbin. Mereka memanfaatkan aliran air Siring Budur dan Siring Pelakat,  yang selama ini untuk mengairi sawah dan landang sayur.

Di beberapa tempat, siring dibuat berundak untuk menggerakkan turbin yang disambungkan ke mesin dinamo. Total adadelapan  turbin yang dipasang. Dari sanalah listrik diproduksi 24 jam sepanjang tahun tanpa henti.

“Semua swadaya masyarakat, tidak ada bantuan dari pemerintah,” kata Hilmudin Sekretaris Desa Danau Gerak.

Saat ini,  di Desa Danau Gerak terdapat 198 rumah yang dihuni 286 keluarga. Jumah penduduk mencapai 1.068 orang. Hampir separuh rumah di Danau Gerak pakai listrik dari turbin.

“Takutnya, kapan hari hujan di Semendo ini (PLN) mati lampu. Alhamdulillah, dengan turbin tadi, masih terang,” katanya.

Listrik dari turbin juga sangat murah. Jamrah,  juga Ketua Kelompok Turbin bilang, setiap anggota hanya membayar Rp10.000 sebulan untuk biaya perawatan. Di luar anggota kena sewa Rp600.000 setahun. Setiap rumah dijatah lima lampu.

Arsah sudah 15 tahun memanfaatkan listrik dari tenaga air. Dia memilih tetap menjadi anggota turbin meski pada 2020 PLN sudah masuk Desa Danau Gerak.

“Kalau turbin tidak pernah mati, siang malam lampu hidup terus, kalau rusak cepat diperbaiki. Itulah maka kami tidak dilepas walau sudah masuk PLN.”

 

Biji kopi yang ditanam warga Desa Danau Gerak. Foto: dokumen RMOL Sumsel

Jaga hutan

Orang Semende,  punya aturan adat ketat. Mereka wajib jaga hutan Bukit Barisan yang jadi sumber air penting bagi kehidupan.

Warga Danau Gerak mayoritas Suku Semende dilarang membuka lahan di hutan di atas babakan—sumber mata air. “Kalau dibuka takut longsor, terus mata air mengecil,” kata Datuk Aridi, pengurus mesjid Desa Danau Gerak.

“Mulai dari leluhur yang buka sawah dulu, [hutan] di atas babakan tidak boleh ditebang.”

Bagi yang melanggar kena denda Rp1 juta untuk setiap pohon ditebang. Juga wajib menanam pohon dan mengembalikan tutupan hutan yang dibabat.

Untuk warga yang perlu kayu untuk bangun rumah hanya boleh menebang pohon di pinggiran sawah dan kebun, jauh dari hutan.

“Kalau butuh kayu, cari di tanah marga. Hutan larangan tidak boleh diganggu.”

Aturan ketat yang terus dipegang hingga kini, terbukti mampu menjaga hutan larangan di Bukit Barisan tetap lestari, termasuk dari ancaman para perambah.

Alhamdulillah, sampai sekarang tak ada perambah. Masyarakat sudah sadar hutan harus dijaga. Kalau ditebang rusak.”

Warga sadar betul bila sumber air rusak, bukan hanya turbin yang terganggu, sumber pangan mereka juga terancam. Sudah puluhan tahun, sawah dan ladang sayur di Danau Gerak bergantung dari air yang bersumber dari hutan di ujung desa.

“Padi butuh air, kalau sawah terdampak, orang yang tidak punya sawah juga akan terdampak,” kata Hilmudin.

 

 

Berdaulat  pangan 

Air di Danau Gerak, tak pernah kering meski banyak daerah di Sumatera Selatan gersang karena kemarau panjang.  Petani di sana, menggarap sawah dan ladang sayur seperti biasa.

“Dulu, kemarau sampai delapan bulan, air tidak pernah kering, 2019 waktu banyak kebakaran, di sini juga tidak ada kekeringan,” kata Hilmudin.

Meski sumber air berlimpah, siklus tanam padi di Danau Gerak, hanya sekali setahun, dengan waktu tanam sembilan bulan mulai pembenihan hingga panen. Ada beberapa jenis padi ditanam, seperti jambat teras, selebur; putih, dan urik.

Umumnya petani menanam jambat teras karena hasil panen bisa disimpan hingga setahun tanpa khawatir rusak.

Hilmudin bilang, tidak ada warga yang membeli beras karena panen padi cukup untuk makan setahun. “Justru kalau hasil panen lebih, kita bisa jual ke luar.”

Adat taraha di Semende juga menjamin kebutuhan pangan warga tercukupi, termasuk yang tak punya sawah. Warga yang membantu pemilik sawah memanen padi akan mendapatkan sekat—upah berupa dua keleng padi, atau 15 kg beras.

“Kalau dia bantu sampai 30 hari, itu bisa dapat beras 4,5 pikul—kwintal. Itu cukup untuk makan setahun,” kata Hilmudin.

Panen petani pun lancar di Danau Gerak. “Sepanjang 41 tahun sejak orang tuo sayo besawah, belum pernah ado gagal panen,” kata Waslah.

Tradisi yang masih dipegang erat membuat warga Danau Gerak, mandiri pangan.  Begitu pula saat pandemi COVID-19 melumpuh sektor ekonomi Indonesia, mereka nyaris tak terdampak.

Ekonomi Danau Gerak juga ditopang dari hasil kebun kopi. Mereka menanam kopi sejak 1960an. Kopi Semende cukup terkenal di Sumatera Selatan dan Lampung, karena aromanya yang harum.

“Terkenalnya orang bilang kopi Semendo—sebutan jamak untuk Semende,” ujar ibu tiga anak itu.

 Luas perkebunan kopi di Danau Gerak lebih 200 hektar di ketinggian lebih dari 1.000 mdpl dengan mayoritas warga menanam kopi jenis robusta. Rata-rata satu bidang lahan 3.000 batang kopi. “Kalau hasil panen bagus bisa satu ton.”

Sayangnya, tiga tahun terakhir hasil tanaman kopi kurang memuaskan. Banyak bunga busuk dan rontok karena intensitas hujan meningkat. “Yang bagus itu kalau kemarau.”

Mereka bercermin dari keberhasilan warga Jawa Barat menanam sayur di dataran tinggi hingga mengubah pola pikir warga Danau Gerak. Mereka yang semula hanya andalkan kebun kopi dan sawah, perlahan ikut menanam sayur.  Mulai 2007,  sampai sekarang, lebih separuh warga membuka ladang sayur.

Umumnya mereka menanam kubis, cabai, kentang, tomat, sawi manis, kol dan bawang, dengan pola tumpang sari. Sayuran dari Danau Gerak membanjiri pasar-pasar di wilayah Muara Enim, Baturaja, Lahat, Prabumulih sampai Palembang.

“Hasil kebun kopi untuk tabungan, makan dari padi, dan kebutuhan sehari-hari dari hasil ladang sayur,” kata Waslah.

 

Desa Damnau Gerak di Kecamatan Semende Darat Ulu, Muara Enim, Sumatera Selatan. Foto: dokumen Humaidy Kenedi

 

Tradisi tunggu tubang

Perempuan memainkan peran kunci dalam Komunitas Semende. Komunitas ini mewarisi adat budaya tunggu tubang yang selalu junjung tinggi dan mereka jaga selama ratusan tahun.  Dalam tunggu tubang ini, katanya, anak perempuan pertama dalam keluarga diberi tanggung jawab menjaga dan mengelola warisan dari rumah, kebun kopi, sawah dan ladang sayur.

Harta warisan dilarang dijual guna memastikan ekonomi keluarga tetap terjaga turun temurun. Mereka percaya, akan mendapat petaka jika melanggar.

“Kalau dijual nanti susah ke depannya. Harta itu kan nanti diwariskan lagi untuk anak-anak,” kata Waslah, tunggu tubang di Desa Danau Gerak. Dia anak perempuan pertama dari lima bersaudara.

Meski menguasai semua warisan, sejatinya seorang tunggu tubang menanggung beban tak ringan. Mereka juga bertanggung jawab penuh pada semua anggota keluarga, dan dituntut berlaku adil.

“Tugasnya itu mengurus apik jurai—keluarga. Tanggungjawabnya berat. Banyak penghasilan, banyak juga pengeluaran. Hasil dari kebun kopi, sawah, tanam sayur semua untuk membiayai keluarga. Termasuk adik yang belum menikah kita yang nanggung.”

Tunggu tubang juga dituntut pandai mengatur waktu tanam dan membagi hasil panen. Karena kemampuannya akan menentukan gagal atau tidaknya hasil kebun dan sawah garapan.

Endri, Kepala Desa Danau Gerak bilang, suara perempuan di Semende sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan di kampung. Mereka selalu terlibat dalam pengambilan keputusan penting.

“Sangat penting, karena mereka (tunggu tubang) yang mengerjakan ladang dan sawah.”

Adat tunggu tubang juga berfungsi penting menjaga keseimbangan alam. Larangan menjual warisan dan aturan pembukaan lahan yang ketat di Semende, membuat wilayah kelola masyarakat di Danau Gerak nyaris tak bertambah.

“Adat di Semende, pendatang tidak boleh beli lahan. Kecuali mereka menikah dengan orang asli sini,” kata Endri.

Dengan adat yang terus dijaga turun temurun, masyarakat Danau Gerak membuktikan bisa hidup tenteram dengan alam. Bahkan,  mereka mampu mandiri energi dan swasembada pangan, meski tinggal di perkampungan kecil yang dikelilingi hutan Bukit Barisan.

“Di sini kami sudah hidup kecukupan dan nyaman.”

 

Jamrah memanen kopi. Kopi Semendo terkenal karena aromanya yang harum. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

******** 

 

*Liputan ini merupakan Fellowship Akademi Jurnalis dan Lingkungan yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Traction Energy Asia.

 

 

 

Exit mobile version