Mongabay.co.id

Kala Padi Lokal di Kerinci Mulai Hilang, Sawah pun Menyusut

 

 

 

 

Lima perempuan bersama menanam padi di satu petak sawah. Mereka berdendang alun,  mengiring mencangkul atau membajak lahan.

“….Eei labu sakoik ala labusakoik kau inai badeaa.  Kamai ala mangkao ala kayao banyeak ladi tengeh umao.”

Nada alun mengikuti mata cangkul menyentuh tanah. Tradisi ini disebut pangkou, dilakukan bergotong royong di Kerinci sejak dulu.  Suara melengking para perempuan bergembira menyambut masa tuhun ke umo ( turun ke sawah).

Mereka bergantian bergotong royong mulai dari mengihang (menanam) sampai menuai. Persawahan Masyarakat Adat Tanjung Tanah biasa milik suku atau kelebu. Sawah bergilir dikelola bersama, bergantian setiap satu kali musim tanam.

Kaki Siti Fatimah,  sebetis masuk ke lahan sawah berair. Tangan cekatan ngihang satu per satu bibit padi.

Maso ngihang padi adalah masa ketika bibit padi ditanam di lahan yang disiapkan. Sebelumnya, bibit diambil dari tempat persemaian (nguhah) lalu bawa ke lahan untuk siap tanam.

Masyarakat Adat Tanjung Tanah ada di tiga desa: Simpang Empat, Tanjung Tanah dan Baru,  di Kecamatan Danau Kerinci,  Kabupaten Kerinci, Jambi.  Mereka turun menurun mempertahankan tradisi bersawah.

“Alun  merupakan senandung suka cita menyambut musim tanam, penghilang rasa lelah saat bekerja,” kata Fatimah.

Selain alun, ada beberapa tradisi bersawah di Masyarakat AdatTanjung Tanah, seperti ritual tuhun kumau, ngayun luci, ngebat padi, nanak ulu tahun dan kenduri sudah tuai. Tradisi ini makin hilang, karena lahan sawah makin berkurang.

“Kalau dulu banyak bersawah, semua diawali dengan ritual. Sekarang hanya tinggal kenduri sudah tuai yang masih ada,” kata perempuan 63 tahun ini.

 

 

Berbagai jenis padi unggul seperti inpari, cekelis, dan  ciherang jadi pilihan yang mereka tanam. Mereka tana mini karena masa tanam singkat dan hasil melimpah.

“Kalau padi berumur pendek ini ke sawah bisa tiga kali setahun. Tapi, padinya tidak bisa disimpan lama. Harus langsung dijual, tiga bulan saja disimpan bisa kutuan dan jadi bubuk, menghitam,” kata  Nurli Hayati.

Dulu, Masyarakat Tanjung Tanah punya beragam benih padi lokal antara lain, yang terkenal padi payo, upat dan silang.

Payo jadi ikon padi khas Kerinci tetapi kini sulit didapat. Hanya beberapa wilayah masih menanamnya. Padi dengan rasa nasi pulen ini akan segera tinggal cerita.

“Padi lokal umurnya panjang, hanya bisa setahun sekali kalau nanam jenis lokal. Meskipun padi tahan dari hama, bisa tahan lama juga kalau disimpan. Tapi petani sekarang gunakan padi unggul. Tidak ada lagi yang nanam padi payo kalau di Tanjung Tanah ini,” kata Nurli.

Dia bilang, mereka nyaris tak mendapatkan bantuan benih, jadi menanami berulang-ulang benih dari padi yang ditanam. Dampaknya, produktivitas turun dan rentan serangan hama.

“Bantuan benih, bisa dibilang hampir tidak ada. Kalaupun ada , satu kelompok hanya diberikan  satu kantong bibit paling banyak dua kantong. Tidak semua kelompok bisa dapat.”

Keterbatasan petani mendapatkan bantuan benih dan pupuk ini menurut Husni, Kepala Desa Simpang Empat, jadi persoalan di desa itu. Tak hanya Desa Simpang Empat, Baru dan Tanjung Tanah perlahan meninggalkan tradisi bersawah.

Dari ribuan hektar persawahan, ada lebih 300 hektar ditinggalkan dan jadi lahan tidur.

“ Sawah ditinggalkan karena dianggap tidak subur lagi. Juga soal irigasi. Beberapa sumber air ada, cuma tidak teraliri irigasi hingga sawah hanya bisa dikerjakan saat musim hujan. Beberapa tahun ini musim panas lebih panjang.”

 

Sawah di Kerinci. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Zakwan,  Kades Tanjung Tanah juga mengamini kendala pertanian di wilayahnya.

“Banyak irigasi tidak berfungsi, penggunaan pupuk dan peptisida kimia terus-menerus membuat tanah rusak dan hasil tidak produktif,” katanya.

Setidaknya, ada tiga sungai yang jadi saluran irigasi persawahan di tiga desa wilayah adat Tanjung Tanah, yakni, Sungai Tebat Semen Mudik, Ambay, dan  Air bangko. Sungai-sungai ini memiliki debit air cukup untuk mengaliri sawah, tetapi tidak ada saluran irigasi memadai. Beberapa irigasi sudah rusak dan terlantar.

“Ada irigasi dibuat di atas sungai, jadi tidak pernah ada air. Ada juga yang sudah roboh karena pembangunan jalan tapi tidak diperbaiki lagi,” ujar Zakwan.

Hampir lima tahun, persawahan tak produktif makin meluas di Kerinci. Saat ini, ada lebih 30% sawah jadi lahan tidur.

Itang Ahmad Mahbub, Kepala Laboratorium Tanah Universitas Jambi lakukan penelitian tanah di sawah produktif dan tak produktif wilayah adat Tanjung Tanah.


 

Dia ambil sampel dan menunggu sekitar tiga minggu agar tanah kering dan dapat dilakukan pengujian. Hasil uji lab tanah sawah di Kerinci menunjukkan hasil kurang subur, namun masih bisa diolah untuk sawah.

“Dari hasil lab, pH tanah, dua-duanya termasuk agak masam. C organik untuk yang produktif tergolong sangat tinggi, yang non produktif tergolong tinggi. Nitrogen total, kedua duanya tergolong rendah. Tapi masih bisa diolah  secara baik kembali produktif,” katanya.

Penggunaan pupuk kimia dapat dilihat dari angka Nitrogen dalam tanah sampel total dalam kategori  rendah dan sangat rendah.

“Penggunaan pupuk kimia terus menerus, tidak mampu mengikat Nitrogen lama. Ketika hujan, nitrogen dari pupuk kimia mudah larut dan tidak bisa mengikat.”

Rendahnya minat bertanam padi ini juga karena modal awal tinggi untuk mengolah lahan tidur.

Zakwan bilang, per hektar petani perlu model sekitar Rp4 juta untuk cetak sawah baru. Hasil panen tak sebanding biaya produksi.

“Biasa petani itu setiap hektar cuma bisa panen 3-4 ton gabah basah. Ini tidak menutupi dana yang dikeluarkan untuk membeli bibit dan pupuk.”

 

 

***

Bilik-bilik padi di Desa Lhulo Gedang, Kecamatan Bukit Kerman, Kerinci, berjejer tak terurus. Beberapa kayu lepas dan hampir roboh. Dulu, di Lhulo Gedang ada ratusan bilik padi, kini tersisa enam sebagai simbol kemakmuran dan keberkahan di negeri ini.

Kalau di wilayah adat Tanjung Tanah sawah-sawah ditinggalkan karena kekeringan, di Lhulo Gedang sawah terlantar karena hampir terendam sepanjang tahun.  Tata kelola pengairan tak berjalan.

Ilis, Depati Lhulo Gedang menyebutkan, bilik padi tak pernah berisi, karena beras hanya cukup untuk makan satu kali musim panen.

“Sawah kebanjiran.  Jangankan untuk isi bilik, untuk makan selama setahun saja kadang harus beli,” katanya.

Daerah ini dulu dikenal dengan padi payo yang menghasilkan nasi wangi dan nikmat. Kini tinggal cerita. Ilis  bilang,  hanya satu atau dua petani masih mau menanam padi payo, selebihnya jenis unggul atau tak bersawah.

Iyo, dulu memang terkenal padi payo, kalau sekarang jenis padi umur pendek itu yang ditanam petani,” katanya.

Persoalan irigasi ini berdampak pada hasil pertanian. Dua wajah wilayah adat Tanjung Tanah dan Lhulo Gedang, yang  masih dikelilingi Danau Kerinci ini mengalami nasib, berbeda. Di atas, sawah kekeringan, area bawah, kebanjiran.

Data PPID Kementan 2015-2019 memperlihatkan, luas  sawah non  irigasi turun dari 59.513 hektar jadi 43.763 hektar. Begitu juga luas sawah irigasi turun, dari 35.222 hektar ke 24.587 hektar.

Di Jambi, ada Desa Sri Agung,  Kecamatan Batang Asam,  Kabupaten Tanjung Jabung Barat, yang jadi proyek percontohan sawah irigasi terbaik.

Nur Painah, petani Desa Sri Agung mengatakan, saluran irigasi mereka sejak 90-an beroperasi dengan baik. Perbaikan dan cek rutin oleh Dinas Pekerjaan Umum setiap tiga bulan. Dia bersyukur, tak pernah terkendala dengan kesediaan air meski musim kemarau panjang.

“Sejak awal ikut transmigrasi ke sini, ya bersawah. Tidak ada kendala.”

Meskipun begitu, pengecekan saluran irigasi sawah percontohan ini pun kini  mulai kendor.

“Tapi ini enam bulan belum ada lagi pengecekan. Ada saluran rusak di bagian hulu, hingga banyak petani tidak bisa garap sawah. Hasilnya, padi di tempat kami diserang hama lebih banyak,” katanya.

 

Para perempuan sedang menanam padi di Kerinci. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Budaya Kerinci

Dalam adat Kerinci,  bersawah bukan sekadar produksi beras dan pangan juga budaya. Sejak dulu masyarakat adat di Kerinci sudah bersawah. Pada 2007,  ada beberapa temuan tempayan yang terkubur di Bukit Meluang, Lempur,  menguak bagaimana kedekatan Orang Kerinci dengan padi.

Dalam bukunya yang terbit pada 2012, Vita, arkeolog lingkungan mengungkap misteri praktik penguburan tempayan manusia Kerinci di masa lampau melalui pollen dari wadah tempayan yang digunakan.

Pollen adalah serbuk sari tumbuhan yang tersedimentasi atau terendap di dalam tanah. Para arkeolog sering menggunakan pollen untuk mengetahui kondisi lingkungan di sekitar situs, atau mengungkap aktivitas manusia masa lampau terkait pemanfaatan dan pembudidayaan tumbuhan tertentu.

Vita berhasil mengidentifikasi beberapa jenis tumbuhan yang digunakan saat praktik penguburan tempayan antara lain, jenis Asteraceae dan Verbenaceae.

Dalam buku “Padi dalam Kehidupan Orang Kerinci,” Hafiful Hadi Sunliensyar, Dosen Arkeolog Universitas Jambi menyebutkan, padi dan budaya Kerinci saling terikat kuat.

“Padi sejak berabad silam di masyarakat Kerinci tertuang dalam budaya dan ritual. Padi tidak hanya sumber pangan, juga sakral. Ini terlihat dari beberapa jejak arkelogis, mitos dan ritual yang masih berlangsung sampai sekarang,” katanya.

Said, Depati Talam Tuo Wilayah Tiga luhah Tanjung Tanah juga mengatakan, dalam Kitab Undang-undang Tanjung Tanah berisi hukum terkait pencurian pangan termasuk padi.

“Maling birah (beras), keladi, ubi, dihukum kurungan selama 28 hari, atau lima emas dendanya. Maling pulut (beras ketan) denda isi pulut bijan setempayan, kalau tidak terpenuhi dua setengah mas dendanya,” katanya.

Selain denda dan hukuman mencuri beras, utang piutang beras juga diatur dalam UU Tanjung Tanah.

“Jika berutang beras, padi, jawawut, kaoliang, jelai, selama dua masa tanam masuk yang ketiga dikembalikan setimpal, kalau sudah lewat dari itu, dua kali lipat,” kata Said.

Kerinci sebagai satu penghasil padi di Sumatera bagian Tengah, banyak disinggung dalam laporan-laporan pada masa berikutnya. Misal, laporan W.C. Hoogkamer, kontroler Inderapura pada 1876.

Dia menyebutkan, produk pertanian unggulan di Kerinci adalah padi atau beras selain kopi dan tembakau. Menurut Hoogkamer, padi dari Kerinci ditanam di persawahan sangat luas. Ia berada di sepanjang aliran sungai dan di sekeliling Danau Kerinci.

Beragam ritual bersawah di Kerinci mulai hilang. Martumus,  Depati Talam Tengah Tanjung Tanah mengatakan, kehilangan sawah berdampak pada budaya dan ritual juga hilang.

“Kalau dulu setiap proses bersawah dirayakan dengan ritual, mulai dari maso tuhun ka umo, ngihang padi, maso basiang, maso nuwai, dan syukuran kenduri sudah tuai. Semua ada prosesinya. Hilangnya satu per satu padi lokal juga termasuk ancaman hilangnya tradisi bersawah ini nantinya,” katanya.

Selain kondisi alam, sarana dan prasarana serta kebutuhan bibit untuk petani, sawah menurun juga karena peran generasi muda petani berkurang.

Hafiful bilang,  beberapa tantangan masa depan padi di Kerinci. “Lahan pertanian makin menyusut, alih fungsi sawah jadi pemukiman. Yang paling mengkhawatirkan rendahnya minat anak muda jadi petani.”

Berbeda dengan dulu, kata  Martumus,  bersawah jadi cara mereka menjunjung adat. Pantang bagi keluarga tidak bersawah kala itu, mereka akan dicap pemalas dan tak mengikuti tradisi kalau tidak bersawah.

“Walaupun jadi PNS atau bekerja lain, semua orang bersawah. Itu ada gilirannya di keluarga besarnya. Tidak boleh menolak, karena ragam ritual bersawah, mempererat akar budaya dan silaturahmi,” katanya.

 

 

*****

 

*Liputan ini hasil program fellowship Peliputan Berbasis Sains yang diselenggarakan ISN Lab by SISJ dan didukung Google News Initiative

Exit mobile version