Mongabay.co.id

Kedai Kopi Menjamur, Sampah Plastik Makin Menumpuk di Yogyakarta

TPA Piyungan diprediksi tidak akan bisa menampung sampah di tahun 2023.jpg

https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2023/12/Kedai-Kopi-Menjamur-updt-2.mp3?_=1

 

Suasana sore di satu kedai kopi di Seturan, Sleman, Yogyakarta, cukup bising saat Putri Inayah duduk dan mulai menyalakan laptop. Di luar kedai, langit mulai petang. Jalanan ramai dan sesekali terdengar bunyi klakson bersahutan. 

Perempuan 20 tahun ini memesan es kopi susu kesukaannya sambil mengerjakan tugas kuliah. Pesanannya tersaji dalam gelas plastik, dengan sealer merek kedai kopi dan sedotan plastik. Sesaat setelah menancapkan sedotan dan mencicipi kopi, dia kembali mengalihkan perhatian ke laptop.

Setidaknya dalam satu minggu, dia minum dua sampai tiga gelas di kedai kopi. Biasa untuk mengerjakan tugas atau rapat organisasi. 

Namun kebiasaan rutin ini sering membuatnya resah. Pasalnya, pesanan selalu datang dengan bahan plastik sekali pakai. “Ini pesan satu es kopi susu aja udah dapat tiga jenis plastik,” kata  Putri, sembari menunjuk gelas plastik, sedotan plastik, dan pembungkus sedotan juga plastik. Biasanya dia membawa sedotan stainless steel sendiri. Kali ini dia lupa.

Keresahan Putri beralasan. Isu sampah sudah menjadi permasalahan sejak lama yang belum ada solusinya. Pada 23 Juli-5 September 2023 puncaknya saat TPA Piyungan ditutup selama 45 hari. Penutupan ini pun berdasarkan Surat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditandatangani Sekretaris Daerah DIY, Benny Suharsono.

Alasannya, TPA Piyungan sudah melebihi kapasitas tampung. Beberapa depo pembuangan sampah sementara di kabupaten dan kota pun turut ditutup. Sampah di kos Putri juga menumpuk karena tak ada jadwal pengangkutan sampah. 

Tumpukan sampah di pinggiran Jalan Kusbini, sekitar 150 meter di barat kantor Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. Setelah TPA Piyungan ditutup, tumpukan sampah banyak ditemui di pinggir-pinggir jalan di wilayah Yogyakarta. Foto: M. Hasbi Kamil/Mongabay Indonesia

Beban sampah plastik tak terkelola

Tumpukan sampah di sudut-sudut Kota Yogyakarta saat TPA Piyungan ditutup. Masa itu, tidak hanya rumah tangga yang resah, para pemilik kedai kopi pun resah. 

Apalagi saat jadwal pengangkutan sampah terhenti, tetapi pengunjung di kedai kopi terus datang dan terus menghasilkan tumpukan sampah. 

Abdan Syakuron, pemilik kedai kopi Botanica di Dusun Mrican, Kecamatan Depok, Sleman menyampaikan cerita serupa. Dia kelimpungan menangani sampah sejak TPA Piyungan ditutup. “Waktu itu udah numpuk parah sampahnya,” katanya.

Bahkan sampah organik dan anorganik di kedai kopi yang menumpuk selama berhari-hari itu mengeluarkan bau tak sedap. Karena tak tahan, dia membayar jasa pengangkut sampah swasta dengan harga lebih tinggi dari biasa. “Sekitar Rp150.000 untuk dua kali angkut, biasanya  hanya Rp100.000 untuk empat kali angkut,” cerita Abdan. 

Berdasarkan penelitian (2021), penyebaran kedai kopi di Yogyakarta didukung dengan banyaknya pelajar dan mahasiswa yang tergolong dalam usia produktif. Dalam angka, jumlah kedai kopi pun bertambah signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014 ada 350 kedai, selanjutnya terus bertambah pada 2015 (600), 2018 (1.100) dan 2019 (3.500). 

Mongabay juga melakukan penelusuran melalui data scrapper Google Maps jumlah kedai kopi di Kecamatan Pakualaman. Mongabay gunakan kata kunci coffe shop dan kedai kopi di Kecamatan Pakualaman, kemudian membersihkan data dengan menyesuaikan ketepatan kecamatan. Kecamatan ini merupakan paling kecil di Kota Yogyakarta, seluas 0,63 km2 dari total 35,2 km2. Hasilnya,  ada 35 kedai kopi di kecamatan itu.  

Tak hanya di kota, Mongabay juga mengobservasi di Bantul, tepatnya di Jalan Sorowajan Baru, Banguntapan dan Jalan Seturan Raya, Kabupaten Sleman. Kedua lokasi ini merupakan titik cafe paling ramai, dekat wilayah kampus dan banyak kos-kosan.

Kepadatan Kedai Kopi di Yogyakarta. Infografis: Hidayaturohman

Renggo Darsono, Pegiat Komunitas Kopi Nusantara, menyebut kenaikan signifikan jumlah kedai kopi sejak 2016. Pada masa pandemi COVID-19, banyak kedai kopi gulung tikar. Setelah itu, kedai-kedai baru kembali tumbuh seperti jamur. Dia memperkirakan, kedai kopi saat ini tak jauh berbeda dari data 2019, sekitar 3.500 kedai.

Tren kedai kopi di Yogyakarta ini selaras dengan tren peningkatan industri kopi konsumsi kopi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan, industri kopi di Indonesia mengalami pertumbuhan 250% dalam 10 tahun terakhir. Bahkan Indonesia menduduki peringkat kelima untuk konsumsi kopi tertinggi di dunia atau 5 juta kantong berukuran 60 kilogram pada periode 2020-2021.

 

Momok sampah plastik

Peningkatan kedai kopi di Yogyakarta tak selalu membawa kabar baik. Menjamurnya kedai kopi ini diikuti dengan penggunaan sampah plastik sekali pakai di Yogyakarta. Mulai dari gelas, seal gelas, sedotan, kantong bahkan alat makan.

Penggunaan sampah sekali pakai ini tak hanya untuk pemesanan take away, juga untuk dine in

Renggo mengatakan, berdasarkan data komunitas lebih dari separuh kedai kopi di Yogyakarta masih menggunakan kemasan minum plastik sekali pakai untuk menyajikan menu mereka. 

“Terutama kedai yang berbasis es kopi susu, itu besar banget produksi sampah plastiknya. Mereka bahkan tidak punya gelas, karena semuanya pakai [gelas] plastik,” ujar Renggo saat ditemui di Kedai Dongeng Kopi, miliknya.

Mongabay juga melakukan reportase di kedai kopi waralaba. Dalam satu kedai kopi, rata-rata dalam satu hari ada 165 pesanan. Paling banyak 200 atau minimal 130 gelas kopi. Jika satu orang pemesan menghabiskan pesanannya, setidaknya menghasilkan sekitar 8,5 gram sampah per satu gelas kopi.

Monster Plastik dari Kedai Waralaba. Infografik: Hidayaturohman

Sementara itu, di kedai kopi waralaba, tempat Putri mengerjakan tugas, sampah plastik yang ditinggalkan Putri tak lenyap begitu saja. Setelah kedai tutup, sampah akan bercampur mulai dari gelas plastik, tisu, masker, bungkus dan puntung rokok, sampah kertas, juga yang lainnya. Setidaknya ada dua kantong sampah hitam besar dalam satu hari. 

Berbeda dengan kedai Botanica milik Abdan, kedai ini akan memilah sampah dan gelas plastik yang sudah dipakai. Gelas plastik nantinya akan didaur ulang oleh rekannya sebagai wadah pembibitan tanaman hias. 

Namun, sampah plastik lain seperti sedotan plastik, kantong plastik dan yang lainnya tetap dibuang. 

Sampah-sampah kedai kopi biasanya diambil, diangkut ke depo, sebelum berakhir di TPA Piyungan. TPA Regional Piyungan merupakan tempat pembuangan sampah bagi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. 

Pada 2022 rata-rata sampah yang masuk ke TPA Piyungan sebesar 741 ton per hari. Data DLHK DIY mencatat sekira 134 ton (18,1%) di antaranya adalah sampah plastik. Sedangkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mencatat sektor perniagaan (restoran, kafe dan warung) menempati peringkat kedua sebagai penghasil sampah terbanyak, sebesar 28% di Provinsi DIY.

TPS Piyungan, Yogyakarta sudah kelebihan kapasitas tampungan sejak 10 tahun yang lalu. Tapi hingga saat ini tidak ada solusi terkait masalah sampah. Saat tutup, truk-truk pengangkut sampah pun parkir di depo penampungan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Penting intervensi kebijakan

Di TPA Piyungan, semua jenis sampah ditimbun jadi satu membawa dampak yang serius. Keberadaan sampah plastik turut menghambat proses degradasi sampah organik yang menumpuk di gunungan sampah.

“Sampah plastik di TPA (Piyungan) tidak akan terdegradasi sampai puluhan tahun. Campur dengan tanah, dengan daun, dengan sampah organik maupun anorganik yang lain, plastik itu akan tetap menjadi plastik,” ujar Maizer Said Nahdi, Guru Besar Bidang Ilmu Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga. Parahnya, saat sampah plastik yang tidak terkelola di darat bisa berakhir di sungai dan laut. 

Berdasarkan data Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL), sebanyak 398 ribu ton sampah plastik berada di laut Indonesia pada 2022. Maizer mengatakan, sampah plastik di laut ini tentu mencemari ekosistem air serta meracuni dan bisa membunuh makhluk hidup di dalamnya.

Solusi terbaiknya, katanya adalah menghentikan produksi dan penggunaan plastik. “Kalau ada peraturan daerah, misal, semua cafe di Jogja dilarang menggunakan plastik, itu bisa. Tapi (kalau melanggar) ada sanksinya.”  

Transformasi penggunaan sampah plastik sekali pakai tentu tidak mudah, tetapi bisa. Renggo yang sudah menggeluti usaha kedai kopi lebih dari 10 tahun menilai, meninggalkan kemasan plastik bukan hal mustahil. Beberapa kedai kopi di Jogja bahkan telah menolak pemesanan take away kecuali pembeli membawa tumbler atau wadah sendiri. 

Komunitas Kopi Nusantara, katanya mulai mengurangi penggunaan kemasan plastik dalam acara-acara komunitas. Namun untuk mengajak para pemilik kafe meninggalkan kemasan plastik, butuh kerjasama banyak pihak, terutama pemerintah.

Berdasarkan UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, penanganan sampah merupakan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah, salah satunya, memiliki wewenang menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah. Di sisi lain, pelaku usaha seharusnya menggunakan bahan produksi yang ramah lingkungan.

Hingga kini belum ada kebijakan yang tegas mengenai pembatasan plastik sekali pakai oleh kedai kopi di wilayah DIY.

Tumpukan stok gelas plastik di meja barista sebuah kedai kopi di Sleman, Yogyakarta. Foto: Halimatus Sakdiyah/Mongabay Indonesia

Nur Kholis dari Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), menilai pemerintah perlu melakukan intervensi. “Kalau mau minta pengusaha agar tanggung jawab, sementara pengusaha logikanya ngejar untung, kan nggak ketemu.” 

“Kecuali pemda mengeluarkan kebijakan pembatasan plastik sekali pakai, menurut saya harus mulai dilakukan.”

Kholis menilai pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota telah melanggar hak warga atas akses terhadap lingkungan hidup yang bersih dan sehat ketika kondisi darurat sampah terus terjadi di Yogyakarta. 

Maizer sepakat penanganan sampah plastik bisa diatasi dengan partisipasi semua pihak, pemerintah, produsen, pelaku usaha, dan masyarakat. Dia mengingatkan,  pencemaran plastik merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim. Efisiensi penggunaan plastik dan keterjangkauan harga plastik, nyatanya tidak sebanding dengan dampak yang terjadi pada lingkungan. 

“Plastik itu kan relatif murah. Pelaku usaha tidak merasa dirugikan. Tapi sebetulnya yang dirugikan adalah alam. Bumi ini yang dirugikan.”

***

Liputan ini merupakan hasil workshop dan fellowship “Memotret Persoalan Sampah DIY” yang diselenggarakan WALHI Yogyakarta, AJI Yogyakarta, LBH Yogyakarta, dan dimentori oleh Bambang Muryanto.

*Hasbi adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa Rhetor.

Exit mobile version