- Konflik-konflik agraria, atau ruang hidup masyarakat dan masalah lingkungan terus terjadi di Bali baik di kawasan hutan maupun lahan pertanian di tengah sejumlah proyek pembangunan fisik terutama atas nama pariwisata.
- Alih fungsi lahan masif tidak diiringi tata ruang yang memperhatikan dampak sosial dan lingkungan, memunculkan masalah privatisasi ruang, kemacetan, polusi, dan pengelolaan sampah yang semrawut.
- Salah satu kasus masyarakat adat dan negara terjadi di Buleleng. Komang Era Patrisya, perempuan muda Adat Dalem Tamblingan menceritakan perjuangan catur desa menjaga kawasan hutan dan Danau Tamblingan, Bueleleng, Bali. Selama beberapa tahun, warga mengadvokasi kembalinya status tanah adat yang kini masuk dalam Taman Wisata Alam dikelola pemerintah.
- I Gusti Agung Made Wardana, ahli hukum lingkungan dan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) menambahkan data dan analisis kasus-kasus perebutan ruang terus meningkat di Indonesia. Dalam konteks Bali, ketika membicarakan konflik ruang dan hak, tidak terlepas dari bagaimana cara kerja dan ekspansi industri pariwisata.
Konflik-konflik agraria, atau ruang hidup masyarakat dan persoalan lingkungan terus terjadi di Bali baik di kawasan hutan maupun lahan pertanian di tengah sejumlah proyek pembangunan fisik terutama atas nama pariwisata.
Komang Era Patrisya, perempuan muda Adat Dalem Tamblingan menceritakan perjuangan catur desa menjaga kawasan hutan dan Danau Tamblingan, Bueleleng, Bali. Selama beberapa tahun, katanya, warga mengadvokasi kembalinya status tanah adat yang kini masuk dalam Taman Wisata Alam dikelola pemerintah.
“Pemerintah mengirimkan surat izin untuk mengembangkan pariwisata di daerah kami. Mungkin pemerintah tidak mengetahui arti hutan bagi masyarakat adat Tamblingan,” katanya dalam diskusi pada Festival HAM Bali tepat Hari HAM internasional 10 Desember lalu di Denpasar.
Dari catatan diskusi itu, Era menyatakan, dalam hutan Tamblingan, ada 17 pura. Bagi Masyarakat Adat Tamblingan, kawasan hutan merupakan tempat suci. Hutan dan danau yang asri itu, katanya, tidak bisa dijual.
“Kalau teman-teman lewat Tamblingan, mungkin dari luar masih kelihatan asri. Namun sebenarnya, di dalam hutan sudah banyak penebangan pohon secara liar,” katanya.
Degradasi hutan ini berdampak pada mata air surut. Anak-anak muda Adat Dalem Tambingan ini sudah melakukan pemetaan beberapa mata air. Hutan dan danau di sini diyakini sebagai penyedia sepertiga air di Bali.
Gambaran lain persoalan masyarakat di Bali terlihat dari karya Slinat. Seniman mural dan lukis di Bali ini menunjukkan karya yang menyiratkan eksploitasi manusia Bali. Dia menggunakan simbol-simbol adat yang kerap jadi penarik pariwisata sedangkan kondisi konflik adat dan ruang masih banyak.
I Gusti Agung Made Wardana, ahli hukum lingkungan dan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) menambahkan data dan analisis kasus-kasus perebutan ruang terus meningkat di Indonesia.
Menurut dia, dalam konteks Bali, ketika membicarakan konflik ruang dan hak, tidak terlepas dari bagaimana cara kerja dan ekspansi industri pariwisata.
Di daerah lain, konflik ruang dipicu industri ekstraktif di tambang dan perkebunan, sementara industri pariwisata memiliki karakteristik unik.
Yang dijual, katanya, bukan komoditas diekstrak dari alam seperti bahan tambang atau sawit tetapi pengalaman berwisata.
“Mengharuskan kita untuk memeriksa mendalam bagaimana sebenarnya industri pariwisata ini sebagai corak produksi yang dominan, bekerja, melahirkan kontradiksi-kontradiksi, baik kepada masyarakat lokal maupun terhadap lingkungan,” katanya.
Cerita Era dan Slinat, katanya, memberikan pemahaman bahwa pariwisata memberikan ancaman perampasan hak masyarakat lokal termasuk ruang hidup.
Upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi saat ini menciptakan kelompok-kelompok yang akan dikalahkan, ditindas, atau dilindas laju pembangunan atau pertumbuhan ekonomi.
Praktik eksploitatif pemerintah, katanya, mirip dengan kolonial. Dia contohkan, tanah-tanah tidak bisa dibuktikan hak secara legal formal kemudian dianggap sebagai tanah negara.
Padahal, di Indonesia ada kepemilikan yang kolektif. “Konsep mereka bukan kepemilikan, tetapi pada korespondensi keperwalian atas kepemilikan. Ketika mereka tidak menunjukkan atas hak atau bukti berupa legal formal kepemilikan, itu dianggap sebagai milik negara, kemudian dikuasai negara,” kata Agung.
Masalah bertambah, saat ‘tanah negara’ ini diberikan kepada perusahaan-perusahaan.
Festival HAM ini dihelat swadaya oleh belasan lembaga dan komunitas di Bali yang bergerak di berbagai bidang seperti perlindungan masyarakat adat, pelestarian lingkungan, pendampingan hukum, pemberdayaan perempuan, disabilitas, dan lain-lain.
Pada akhir diskusi, perwakilan lembaga dan komunitas menyatakan pernyataan sikap bersama Hari HAM Sedunia.
Rezky Pratiwi, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, membacakan pernyataan dengan beberapa poin. Pertama, pertumbuhan ekonomi eksploitatif mengubah pandangan atas pentingnya penghormatan dan pemenuhan HAM.
“Rezim pertumbuhan ekonomi mengubah hak asasi manusia jadi hal yang dapat dikesampingkan terutama ketika bertentangan dengan kepentingan elit ekonomi dan politik,” kata Rezky, saat membaca pernyataan.
Kedua, ekspansi industri pariwisata mengancam ruang hidup masyarakat dan menimbulkan konflik tenurial. Di Buleleng, Masyarakat Adat Dalem Tamblingan sedang berjuang untuk hak pengakuan atas hutan adat mereka agar terlindung dari eksploitasi.
Di Celukan Bawang, PLTU Batubara hingga kini terus meracuni udara, mencemari laut, merugikan masyarakat di pesisir termasuk berdampak serius terhadap kesehatan warga.
Kasus di Kabupaten Bangli, petani yang hidup turun temurun di Gunung Batur Bukit Payang terancam penjara dan tanah tergusur.
Di Karangasem, masyarakat Desa Bugbug juga terancam penjara karena membela kawasan suci dari pembangunan resort.
“Banyak lagi konflik agraria lainnya tak hanya terjadi di Bali juga di Indonesia.”
Ketiga, alih fungsi lahan masif tidak diiringi tata ruang yang memperhatikan dampak sosial dan lingkungan, memunculkan masalah privatisasi ruang, kemacetan, polusi, dan pengelolaan sampah yang semrawut.
Keempat, imajinasi tentang lapangan pekerjaan yang dibawa industri pariwisata nyatanya masih menyisakan persoalan. Akses pekerjaan terbatas dan upah rendah memaksa sebagian masyarakat Bali jadi pekerja migran dengan minim perlindungan.
Kelima, kemunduran demokrasi di Indonesia mengancam suara kritis dan mempersempit gerakan masyarakat sipil. Kemunduran ini dipotret dari minimnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan publik, serta pengambilan keputusan lain. Termasuk, ketika izin-izin usaha terbit berdampak pada hajat hidup masyarakat.
Made Supriatma, peneliti ISEAS juga menganalisis kemunduran kebebasan sipil yang disokong regulasi hukum seperti revisi UU KPK, ada UU Cipta Kerja, dan lain-lain. Pemakaian UU ITE pun lebih intensif seperti kasus Haris-Fatia.
Dia menyerukan, berbagai cara pembebasan untuk membongkar ketidakadilan struktural. “Tidak ada jalan lain, mereka yang tidak memiliki kekuasaan harus berhimpun melakukan perkumpulan-perkumpulan untuk memperkuat diri sendiri,” katanya.
*****