Mongabay.co.id

Refleksi Akhir Tahun: Mencari Presiden yang Melawan Perubahan Iklim Global

Barry [39], warga Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir [OI], Sumatera Selatan, mencari ikan dengan alat tangkap serkap di lebung yang mengering. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kita mengharapkan presiden yang mampu melawan perubahan iklim global.

Hampir setiap manusia Indonesia menyebut “Tanah Air Indonesia”. Bukan “Tanah Indonesia”. Artinya, bentang alam Indonesia bukan hanya berupa tanah [daratan] juga air [perairan]. Sekitar 632 juta hektare adalah perairan, sementara daratan seluas 192 juta hektare.

Selama belasan abad, tanah dan air Indonesia memberikan berbagai kebutuhan manusia yang hidup di bentang alamnya. Baik pangan, sandang, papan, hingga ekonomi.

Bahkan, air telah menjayakan manusia Indonesia sebagai bangsa bahari selama beberapa abad. Air yang berada di darat dan laut, menyebarkan rempah-rempah bersama pengetahuannya [kapal dan pengobatan] ke sejumlah wilayah di dunia.

Arus baliknya, air membawa berbagai suku bangsa di dunia untuk hidup dan membaur di Indonesia. Mereka membawa berbagai produk budaya bersama pengetahuannya, sehingga menjadikan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berwarna-warni, seperti kekayaan flora dan faunanya, yang tetap tergambar pada saat ini.

Tapi, saat ini, air berubah menjadi bencana. Air dapat menghilang selama beberapa bulan, menyebabkan kekeringan yang berdampak krisis pangan, bencana kebakaran, krisis ekonomi, hingga gangguan kesehatan. Lalu, air dapat hadir secara mendadak dengan volume besar, yang membuat banjir dan longsor.

Selama tahun 2023 sebagian besar wilayah di Indonesia mengalami kekeringan. Penyebabnya dikarenakan musim kemarau yang disertai El Nino. Bahkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG], menyatakan rerata suhu udara Indonesia pada Juli 2023 mencapai 26,7 derajat Celcius. Suhu ini lebih tinggi dibandingkan sebelumnya [periode 1991-2020]. Kenaikannya sekitar 0,5 derajat Celcius.

Sebelumnya, selama dua tahun [2021 dan 2022], berbagai wilayah Indonesia mengalami banjir dan longsor. Penyebabnya La Nina.

Baca: Indonesia, Merdeka, dan Lingkungan yang Harus Kita Perjuangkan

 

Barry [39], warga Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir [OI], Sumatera Selatan, mencari ikan dengan alat tangkap serkap di lebung yang mengering. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Apakah El Nino dan La Nina sebagai penyebab utama bencana tersebut?

El Nino dan La Nina adalah fenomena iklim di Samudra Pasifik yang dekat garis khatulistiwa, sudah berlangsung selama ratusan tahun. Jika suhu permukaan air laut naik, terjadilah El Nino, sementara La Nina berlangsung ketika suhu permukaan air laut turun.

Tapi, saat ini perubahan iklim global membuat siklus dan kekuatan El Nino dan La Nina, kemungkinan tidak dapat lagi diprediksi. Naiknya suhu Bumi sekitar 1,2 derajat Celcius, memungkinkan El Nino dan La Nina tidak terjadi dalam kurun 2-7 tahun. Naik dan turunnya suhu pada permukaan air laut Samudra Pasifik mungkin menjadi lebih ekstrem.

Dan, puncak kecemasannya, El Nino dan La Nina dengan suhu yang ekstrem tersebut berlangsung setiap tahun di Indonesia.

Selanjutnya kita tidak lagi mengenal musim kemarau dan musin hujan. Kita mengenal musim kekeringan dan musim banjir. Perilaku air yang sulit ditebak membuat kita dilanda banjir dan kekeringan sepanjang tahun, yang berujung kelaparan disertai serangan berbagai penyakit yang mematikan.

Bagi saya, perubahan iklim global lebih berbahaya dibandingkan teroris. Dan lebih menakutkan dari narkoba.

Perubahaan iklim global membuktikan kemajuan peradaban manusia adalah kemunduran. Sebuah kereta cepat kehancuran Bumi yang diciptakan umat manusia.

Baca: “Dukun” yang Turut Menjaga Kelestarian Bumi

***

 

Seorang warga mencari ikan menggunakan jala di sungai di salah satu kawasan lebak lebung di Desa Burai, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Foto: [drone] Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Dua bulan lagi, Bangsa Indonesia akan memilih presiden yang baru. Menggantikan Joko Widodo [Jokowi] yang sudah dua periode memimpin Indonesia. Partai politik sudah menyodorkan tiga calon untuk ditentukan oleh para pemilih di Indonesia. Yakni Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo, serta Prabowo Subianto.

Saya tidak tahu, apa niat sebenarnya ketiga calon tersebut ingin menjadi Presiden Indonesia. Tapi saya tetap percaya mereka memiliki niat baik untuk mewujudkan Indonesia menjadi lebih baik.

Hanya, beberapa pernyataan yang disampaikan saat debat calon presiden maupun pada berbagai pertemuan politik, narasinya hampir sama seperti calon Presiden Indonesia di masa sebelumnya: mewujudkan negara dan bangsa Indonesia menjadi lebih makmur, sejahtera, dan berkeadilan.

Jujur, saya tidak terkejut. Narasi tersebut sudah didengungkan sejak berdirinya negara Republik Indonesia. Dari rezim Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.

Lalu, apa yang saya harapkan?

Saya ingin para calon presiden tersebut menyatakan perang atau melawan perubahaan iklim global.

Baca: Kearifan Komunitas Adat Menjaga Hutan dan Perubahan Iklim

 

Bukit Tabun, hutan larangan Suku Mapur di Dusun Pejem, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Bagi Suku Mapur, jika hutan larangan ini rusak, bencana akan menyerang manusia. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Mengapa?

Hari ini, Bangsa Indonesia, serta bangsa-bangsa lainnya di dunia, membutuhkan jaminan masa depan Bumi yang lebih baik. Bumi yang menjamin umat manusia bersama makhluk hidup lainnya terhindar dari kepunahan.

Sekadar mengingatkan. Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang turut mendorong perubahan iklim global. Selain dampak dari penggunaan energi kotor [fosil], juga terus rusaknya bentang alam di Indonesia.

Dari luasan hutan di Indonesia sekitar 120,5 juta hektare, menurut Badan Pusat Statistik [BPS] selama periode 2017-2021, sekitar 956.258 hektare mengalami kerusakan. Lalu, periode 2021-2022 hutan seluas 104 ribu hektare mengalami kerusakan.

Jutaan hektare lahan basah di Indonesia mengalami kerusakan. Pada 2003, lahan basah di Indonesia seluas 21 juta hektare. Pada 2023, luas lahan basah di Indonesia berkurang menjadi sekitar 21 juta hektar.

Kerusakan hutan dan lahan basah tersebut diduga sebagai dampak dari aktivitas ekonomi ekstraktif. Misalnya penambangan mineral, perkebunan skala besar, perambahan, permukiman, dan infrastruktur.

Baca jugaSungai dan Harimau Sumatera

 

Kita mengharapkan presiden yang tidak hanya menjadikan masyarakat Indonesia makmur, tetapi juga pemimpin yang mampu melawan perubahan iklim global. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Apa langkah atau upaya untuk berperang melawan perubahan iklim global?

Pertama, memastikan Indonesia tidak lagi menggunakan energi fosil atau sumber energi lain yang berisiko mengancam jiwa dan kesehatan manusia.

Kedua, melakukan perbaikan secepatnya terhadap bentang alam yang mengalami kerusakan akibat aktivitas ekonomi ekstraktif. Bukan hanya penghijauan di darat, juga mengembalikan atau memperbaiki wilayah perairan seperti laut dan lahan basah.

Ketiga, menjamin ketersediaan pangan. Tapi bukan sebatas karbohidrat, juga protein dan lainnya.

Keempat, mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat dan wilayah adat. Sebab sampai saat ini hanya masyarakat adat, yang terus menjaga etika dan pengetahuan untuk menjaga dan melindungi tanah dan air.

Kelima, mengembangkan ekonomi hijau. Pencapaian kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat tanpa merusak alam. Perekonomian yang tidak lagi menghasilkan emisi karbon, bencana alam, serta menimbulkan konflik.

Harapan sederhana saya, Presiden Indonesia mendatang lebih mencemaskan tentang ketersediaan pangan dan lingkungan yang sehat bagi rakyat Indonesia, bukan sebatas memikirkan persoalan lapangan pekerjaan dan investasi. Percuma kita kaya raya, tapi tidak punya makanan dan berpenyakitan.

 

* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni menetap di Palembang. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version