Mongabay.co.id

Upaya Petani Solok Selatan Tanam Kopi Organik

 

 

 

 

Mentari baru terbit di Solok Selatan, Sumatera Barat,  pagi itu. Kasimo bersiap ke kebun kopi. Dia panaskan motor dan mengikat karung berisi sampah kulit kopi untuk jadi pupuk di kebun.

Pria 52 tahun ini mengangkut tiga karung kulit kopi dari  Koperasi Kopi Rakyat (KKR) itu menyusuri jalan berbatu dan kadang becek. Awalnya,  jalan selebar 1,5 meter dan melewati kebun sawit. Sisanya,  sekira tiga kilometer Kasimo mengendarai motor di jalan setapak selebar tak sampai setengah meter.

Sesampai di kebun, dia buka satu karung dan menebar ke lahan yang ada pohon kopi yang dia tanam sejak 2017 itu. Setelah menumpuk lalu dia ratakan.

Di kebun itu ada kopi Arabika Andungsari dan Sigararutang. Pada beberapa sisi ada pohon kayu manis dengan daun hijau dan merah.

Kasimo mengangkat karung di antara tanaman itu dan menebarkan kulit kopi yang sudah hancur seperti tanah.

Dengan pupuk alami dari sampah kulit kopi ini membuat Kasimo tak perlu mengeluarkan uang untuk bahan kimia.

Kalau beli pupuk kimia, harus mengalokasikan anggaran lumayan besar. “Pupuk [kimia] itu satu karung setidaknya Rp800.000.  Itu hanya 50 kg. Ya, kalau cukup satu karung, kalau dua sudah Rp1,6 juta, atau tiga karung,” kata Dasimin,  saudara Kasimo juga petani kopi.

 

Sampah kulit cherry kopi yang dikumpulkan dan digunakan untuk pupuk organik. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Kasimo sesekali menyemprotkan air rendaman dan perasan beberapa daun untuk mengusir hama yang merusak tanaman kopinya.  Ada ramuan daun jenu atau akar tuba dengan nama latin Derris Elliptica, daun krinyu (Chromolaena Odorata L.) dan daun surian. “Cukup tiga bulan sekali juga tidak apa-apa, tahan lama,” katanya.

Untuk hasil panen organik, katanya, tak kalah dengan kimia. Kalau pupuk kimia, katanya, cenderung boros karena rentang waktu tanaman minta ‘makan’ pupuk atau pestisida itu berdekatan, misal, per minggu atau per bulan.

Kasimo akan memanen kopi sekitar 100 kg per dua minggu dari lahan kira-kira seluas 1,2 hektar.

Dasimin pun penasaran dan akan eksperimen di kebunnya, dengan sebagian pupuk kimia dan sebagian organik. Dia sudah terlanjur menggunakan kimia dengan hasil panen tidak begitu tinggi.

Beberapa pohon kopi yang pakai pestisida kimia juga terserang hama penggerek batang. Ciri-cirinya,  daun batang berguguran, pohon terlihat seperti gundul. Buah tetap tumbuh namun tak maksimal.

“Kalau tidak terkena hama ini sampai ke seluruh bagian batang bisa tumbuh buah,” kata Kasimo.

Dia dan Dasimin bereksperimen karena mereka sudah tidak perlu lagi memikirkan harga pasar seperti sebelum ada KKR. Koperasi hadir,  saat panceklik harga kopi di Solok Selatan bertahun-tahun lalu.

 

Ibu-ibu Koperasi Kopi Rakyat Solok Selatan memanen kopi. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

 

Koperasi untungkan petani

Koperasi Kopi Rakyat adalah satu perkumpulan petani kopi yang alami harga kopi terjun bebas. Dari harga Rp10.000-Rp12.000 per kg, turun sampai Rp4.000 per kilogram untuk cherry.

Kasimo sedih ingat masa itu. Penghasilan mereka tak cukup untuk penuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak. Walhi Sumatera Barat berinisiatif membeli kopi masyarakat Rp7.000 per kilogram.

Harga kopi di Solok Selatan berangsur naik. “Waktu itu bulan puasa dan mau Lebaran,” katanya.

Dani juga cucu Kasimo mengatakan,  petani kopi saat itu merugi dan kebingungan.

Walhi kemudian membeli melalui rumah prosesor Kopi Rakyat kelolaan Kelompok Pecinta Alam (KPA) Winalsa Solok Selatan. Ini bertujuan menyelamatkan petani agar tidak terlalu rugi. Rumah prosesor kopi ini mengumpulkan enam ton cherry kopi arabika dalam dua kali kuota pembelian.

Azis dari KPA mengatakan,  pembelian ini membuat ekosistem perdagangan kopi bergerak. Banyak produsen dan pemroses kopi menaikkann harga. Hingga kini harga kopi untuk cherry  sudah Rp15.000 per kilogram.

Rumah kopi yang dikelola koperasi ini juga mempekerjakan beberapa ibu rumah tangga sekitar.

Wagini,  ibu rumah tangga sekitar rumah kopi merasakan manfaatnya. “Bisa menambah uang belanja per minggu. Untuk jajan anak juga,” kata perempuan 46 tahun ini tersenyum sembari memilih-milah cherry kopi merah dan memasukkan dalam baskom kecil merah pucat.

 

Perempuan anggota Koperasi Kopi Rakyat Solok Selatan memilah kopi. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Manfaat bertani organik

Wengki Purwanto,  Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat mengatakan,  dorongan berubah lebih baik ini tidak terlepas dari pandemi COVID-19 pada 2020. Harga kopi waktu itu terjun bebas sampai Rp4.000. Uang  pun  tidak bisa langsung diterima.

Petani waktu itu, belum bisa lepas dari jerat sistem ekonomi konvensional dan ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimiawi. Kondisi ini, katanya, menambah kesulitan petani, antara lain harga kedua produk itu mahal.

Meskipun harga kopi mulai membaik,  namun kebutuhan pokok terus meningkat. Belum lagi, berhadapan dengan kopi dalam ancaman hama dan penyakit.

Dari situasi itu, kata  Wengki, Walhi menginisiasi sekolah lapang kopi untuk petani kopi di Solok Selatan. “Sudah saatnya petani kopi jadi manajer di lahan sendiri. Melalui sekolah  lapang ini petani saling menguatkan untuk bahagia dan sejahtera. Sekolah lapang diikuti 22 petani dari Nagari Lubuk Gadang,” katanya.

Sekolah ini mulai tahun lalu dan menghadirkan Uslaini, selaku Kadiv Perlindungan dan Pengembangan WKR Eksekutif Nasional Walhi, Aang Kurniawan selaku PPL Nagari Lubuk Gadang dan Marsudi selaku penyuluh swadaya di Solok Selatan.

Wengki mengatakan,  ada skenario ekspansi bisnis kapitalis yang menyebabkan petani bergantung pada pupuk dan pestisida kimiawi.

Walhi akan bersinergi dengan banyak pihak seperti tokoh-tokoh pertanian organik, termasuk pemerintah daerah dan bergerak bersama dengan pengelolaan lahan secara lestari.

“Yang saat ini berhasil merusak sistem pertanian yang bertumpu pada kearifan lokal dan keberlanjutan. Selama kita tidak bisa lepas dari sistem pertanian itu maka selama itu petani tidak akan jadi tuan di tanahnya sendiri. Tak ada cara selain berjuang kolektif. “

 

Petani perempuan anggota Koperasi Kopi Rakyat Solok Selatan, panen kopi. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

*******

 

Exit mobile version