Mongabay.co.id

Akankah Indonesia Serius Jalankan Transisi Energi Berkeadilan?

 

 

 

Bayangkan 30 tahun lagi anak cucu kita, entah di desa maupun di kota, hidup dengan udara bersih karena masih ada hutan penghasil oksigen, pangan cukup karena petani tak gagal panen, dan pemukiman layak karena daratan tak terus tergerus air laut.

Masyarakat di kota bekerja dengan manusiawi karena ada transportasi publik yang dekat dengan rumah-rumah. Anak-anak yang sekarang masih balita, kelak bisa berjalan kaki, bersepeda atau cukup bersepatu roda menuju halte bus atau kereta terdekat menuju tempat bekerja. Anak-anak yang tinggal di desa, kelak bisa meneruskan menggarap lahan pertanian dan perkebunan orangtuanya dengan hasil panen cukup untuk menghidupi keluarga.

Bayangkan, generasi tua di zaman itu mengenang transisi energi tiga dekade sebelumnya, menyelamatkan kehidupan anak cucu kita. Semua itu tak akan terjadi dengan cara kerja transisi energi saat ini.

Transisi energi sederhananya berhenti menggunakan energi fosil seperti minyak bumi dan batubara dan mengganti dengan energi yang tak habis pakai secara atau terbarukan secara berkelanjutan dan berkeadilan seperti air, angin, sinar matahari, dan biogas. Ini penting karena pembakaran batubara untuk menghasilkan listrik dan penggunaan bensin untuk kendaraan bermotor jadi penyebab utama kerusakan lapisan pelindung bumi yang menyebabkan bumi makin panas.

Sejumlah kajian sudah mengingatkan makin panasnya bumi tak hanya menaikkan permukaan laut yang mengancam wilayah pesisir di Indonesia juga sebabkan penyakit dan kematian. Karena itu,  perlu usaha keras menjaga suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat celcius, salah satunya dengan transisi energi.

Sektor energi dan lahan menyumbang 90% emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Pada praktiknya transisi energi saat ini dengan cara ugal-ugalan, penuh konflik kepentingan, rawan ciptakan persoalan lingkungan, deforestasi, konflik lahan dan tetap menimbulkan emisi.

Pertama, transisi energi di Indonesia tetap mempertahankan batubara. Caranya,  terang-terangan dengan memasukkan energi baru berupa batubara cair dan batubara tergaskan dalam Rancangan Undang-undang Energi Terbarukan (nama usulan awal) kemudian diubah jadi Energi Baru dan Terbarukan.

Istilah energi baru (new energy) hanya ada di Indonesia. Di negara lain hanya ada renewable energy (energi terbarukan).

Masuknya energi ‘baru’ dalam rancangan Undang-undang, meski kemudian batubara yang digunakan tak dibakar langsung, tetap saja menuntut perusakan hutan untuk tambang karena sebagian besar batubara Indonesia berada di permukaan.

Untuk mengeruk batubara, harus menghilangkan hutan di atasnya. Emisi metana Indonesia akibat tambang batubara, salah satu penyumbang gas rumah kaca, urutan ke delapan di dunia.

Kehidupan di sekitar tambang lekat dengan polusi udara, polusi suara, pencemaran air dan konflik sosial. Kalau tambang batubara terus dilanggengkan, masyarakat sekitar tambang, terutama perempuan dan anak-anak juga akan terus menanggung dampak buruknya.

Di Kecamatan Balangan, Kalimantan Selatan misalnya, satu desa bahkan dihilangkan untuk mendukung operasional tambang. Di Bengalon, Kalimantan Timur, Masyarakat Adat Dayak Basap terancam dari tanah adatnya karena tambang.

Pertanian masyarakat kerap terganggu karena sungai-sungai yang mengairi sawah dan kebun tercemar limbah dan polusi tambang yang berujung gagal panen.

Sisi lain proses pencairan dan penggasan batubara juga mahal. Jika kebijakan ini diteruskan, dan negara rugi, masyarakat Indonesia yang membayar pajak akan menanggung beban.

Secara ekonomi ini merugikan. Untuk ketahanan iklim ini juga memperburuk keadaan.

Kedua, ambisi membangun energi terbarukan skala besar yang tidak dibutuhkan malah mengorbankan masyarakat.

Indonesia punya target bauran energi terbarukan 23% pada 2025. Sayangnya,  target ini dipaksakan tercapai dengan menggenjot pembangunan pembangkit listrik skala besar seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Masalahnya,  pembangkit-pembangkit ini dibangun di wilayah yang sudah kelebihan pasokan listrik. Jadi, bukan bermanfaat untuk masyarakat sekitar dan iklim, malah merugikan masyarakat.

 

Polisi beri policeline di lokasi gas beracun Sorik Marapi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Di Sorik Merapi, Sumatera Utara, Dieng, Jawa Tengah dan Wae Sano, Folres Barat misalnya kebocoran pipa eksplorasi panas bumi terjadi berkali-kali dan menyebabkan petani sekitar wilayah eksplorasi keracunan dan merusak lahan pertanian. Tak heran masyarakat di wilayah eksplorasi panas bumi seperti di Gunung Talang Sumatera Barat dan Padarincang, Banten menolak pembangunan PLTP di daerah mereka. Protes tak pernah didengarkan.

Keberatan mereka jelas, kalau pasokan listrik bukan untuk mereka, mengapa mereka yang harus terancam hidupnya? Ini tentu tidak adil.

Pembangkit listrik skala besar, meskipun menggunakan energi terbarukan, tidak bisa dikatakan bersih kalau menuntut penggunaan lahan luas, merusak sumber air dan dibangun dengan cara mengintimidasi masyarakat.

Termasuk rencana pengembangan pembangkit listrik dengan menggunakan bahan bakar dari tumbuhan (biomassa). Biomassa yang digunakan di PLTU batubara atau dikenal dengan istilah co-firing hanya akan menjadi alasan untuk meneruskan pengerukan batubara yang membutuhkan lahan 2,33 juta hektar atau 35 kali luas daratan Jakarta.

Ketiga, beralih ke kendaraan listrik hanya dengan membuang knalpot.

Kebijakan lain yang dibikin dengan dalih transisi energi yakni penggunaan kendaraan listrik. Dengan alasan penurunan emisi di sektor transportasi, pemerintah memberi insentif untuk pembelian mobil dan sepeda motor listrik.

Alasan ini juga dipakai untuk terus menggenjot tambang dan produksi nikel sebagai salah satu bahan utama pembuat baterai untuk kendaraan listrik.

Izin pembukaan hutan diberikan untuk tambang nikel. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat, setidaknya ada 765.000 hektar kawasan hutan di dalam konsesi tambang nikel. Artinya, untuk memenuhi ambisi penggunaan kendaraan listrik, emisi dari rantai pasoknya, diabaikan. Termasuk emisi dari PLTU batubara yang digunakan untuk proses pemurnian nikel.

Siapa yang dirugikan? Selain masyarakat sekitar tambang yang harus menanggung beban polusi udara, pencemaran air, kehilangan ruang hidup, tentu juga kita semua yang terdampak krisis iklim.

Untuk mengejar penurunan emisi di hilir, yang sebagian besar hanya dinikmati masyarakat kota, di hulu, tambang dan smelter (pabrik pengolahan) nikel dibiarkan terus mengemisi.

 

Sumber air Telaga Pucung menjadi penggerak generator pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Foto: Hartatik

 

Lantas, bagaimana agar transisi energi bisa adil?

Hanya transisi energi yang adil yang bisa memastikan tujuan penyelamatan bumi dari suhu tinggi bisa tercapai. Ketika transisi tidak mengabaikan satu elemenpun yang masih bisa menghasilkan emisi, tidak ada pihak yang dirugikan, keanekaragaman hayati terjaga, cita-cita menjaga bumi agar layak dihuni oleh anak cucu kita baru bisa terwujud.

Indonesia masih bisa keluar dari jalan yang keliru ini jika ingin transisi energi menjadi salah satu usaha menjaga suhu bumi tidak melewati 1,5 derajat celcius.

Pertama, semua pihak perlu mendorong ‘energi baru’ keluar dari RUU Energi Terbarukan. DPR dan pemerintah harus berhenti mengerjakan RUU ini jika hanya untuk menguntungkan segelintir orang yang punya bisnis batubara. Pola pikir pembuat Undang-undang harus menurunkan arogansi untuk memperkaya diri sendiri, karena ketika bumi makin panas, cuaca ekstrem makin sering terjadi, bencana alam tidak terhindarkan, uang yang Anda punya tidak akan bisa menyelamatkan Anda karena kita tinggal di planet yang sama.

Pemerintah dan anggota DPR harus mempertimbangkan kehidupan anak cucu mereka kelak saat menyusun Undang-undang ini. Masyarakat sipil bisa mendesak ini dengan hadir lebih banyak di ruang-ruang pembahasan pasal-pasal dan memberi sebanyak mungkin masukan dan tekanan agar pemerintah dan DPR tidak pura-pura tuli dengan suara dari luar kepentingan mereka.

Kedua, jika ingin transisi energi berjalan adil, seluruh dana terkait transisi energi, entah dari APBN, APBD maupun Just Energy Transition Partnership (JETP) harus mendukung pengembangan energi skala kecil sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Tak perlu membangun pembangkit skala besar yang merampas lahan, mengancam kehidupan masyarakat desa atau masyarakat adat yang selama ini dengan sukarela menjaga hutan untuk kita semua.

Inisiatif-inisiatif pembangkit skala kecil bisa, sudah dilakukan dan terbukti lebih efektif jika tujuannya memang memenuhi kebutuhan energi masyarakat Indonesia.  Dengan membangun pembangkit listrik mikrohidro (PLTMh) untuk keperluan satu atau dua desa seperti di Karantengah, Banyumas atau memberi modal kepada warga untuk membangun biogas dan gas rawa seperti dilakukan warga Desa Samirono, di Kabupaten Semarang dan Desa Bantar di Banjarnegara.

Tak perlu membangun PLTA dengan bendungan besar seperti rencana pembangunan Bendungan Bener di Purworejo. Atas nama energi terbarukan timbul konflik karena warga Desa Wadas menolak desanya jadi kawasan tambang batuan untuk bahan baku pembangunan bendungan.

 

Panel surya PLTS komunal di Pulau Mecan, Belakang Padang. Foto:  Yogi ES/ Mongabay Indonesia

 

 

Untuk setiap konflik terkait sumber daya alam seperti di Wadas, perempuan ikut turun ke jalan menghadang aparat negara yang seringkali diturunkan untuk mengamankan pihak pemodal.

Jika memang ada kebutuhan industri, biarkan mereka memutar otak menggunakan modal sendiri mencari solusi energi terbarukan yang mereka butuhkan. Bukankah mereka punya modal besar? Pemerintah tak perlu terus memanjakan investor dengan dalih penciptaan lapangan kerja. Karena ketika bumi ini tak bisa lagi dihuni, tak ada lapangan pekerjaan yang bisa dibuka oleh perusahaan manapun.

Ketiga, alih-alih menggenjot penggunaan kendaraan listrik dengan rencana serampangan, insentif-insentif yang diberikan bisa dialihkan perbaikan tata ruang dan tata kota/wilayah.  Prioritaskan perbaikan transportasi publik, sarana pejalan kaki atau pesepeda. Ini lebih sederhana untuk direncanakan jika dilakukan tanpa memikirkan konflik kepentingan antara rezim yang berkuasa dengan pemilik modal.

Jika transportasi publik telah menjangkau seluruh masyarakat, setelah itu baru dilihat apakah masyarakat masih membutuhkan kendaraan listrik.

Ingat, kendaraan listrik hanya salah satu upaya penurunan emisi di sektor transportasi. Bukan satu-satunya cara.

 

 

Kendaraan listrik yang rendah karbon saat kendaraan digunakan, tetapi bagaimana proses bahan baku kendaraan listrik itu, apakah juga rendah karbon dan ramah iklim? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Sekalipun tetap akan menggunakan kendaraan listrik produsen harus memastikan dari hulu ke hilir kendaraan listrik diproduksi dengan cara yang equitable: tidak merugikan masyarakat sekitar, termasuk masyarakat adat, dan pekerja serta menggunakan 100% energi terbarukan.

Ada mekanisme free prior informed consent (FPIC)   untuk memastikan tidak ada hak-hak masyarakat dilanggar. Jalankan FPIC dengan terbuka tanpa pengerahan kekerasan atau ancaman preman maupun aparat negara. FPIC penting karena lebih dari setengah dari mineral untuk transisi energi berada di kawasan, atau dekat kawasan teritorial masyarakat adat maupun pemukiman masyarakat.

Sisi lain, masyarakat adat juga penjaga hutan yang memastikan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia bisa terus berlangsung.

Selanjutnya, tentu saja memastikan proses produksi kendaraan listrik bebas dari energi fosil. Di saat bersamaan pemerintah menyediakan jaringan listrik yang juga tanpa PLTU batubara agar kelak kalau memang kendaraan listrik diperlukan, pengisian daya tidak dari energi kotor.

Hanya kalau ini berjalan adil, transisi energi bisa mencapai tujuan untuk ikut menyelamatkan bumi dari krisis iklim.

Seperti dikatakan David Roberts,  seorang jurnalis yang rutin menulis isu energi bersih, there are ugly and cruel ways to go about an energy transition, and there are sustainable and equitable ways to go about it. 

Yang mana yang akan kita pilih? Adakah bakal calon presiden Indonesia yang berani ambil sikap soal ini?

Jika kita gagal transisi energi yang adil dan berkelanjutan, bayangkan 30 tahun ke depan, kondisi iklim parah,  cuaca makin ekstrem, udara yang dihisap setiap saat beracun.  Anak cucu kita duduk di samping kita yang renta, dan mengeluh.

”Kakek, nenek dulu saat bumi belum separah ini, apa kalian tidak melakukan sesuatu agar bumi jadi lebih baik untuk kami tinggali?”

 

Industri nikel di Pulau Obi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

******

 

*Tulisan Della Syahni ini merupakan juara Harapan II Lomba Artikel Hari Anti Tambang kolaborasi antara  Jaringan Advokasi Tambang, Indonesia.id dan Mongabay Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version