Mongabay.co.id

Melawan Hegemoni Industri Ekstraktif yang Heteronormatif

 

 

 

 

 

Kerusakan lingkungan bukanlah krisis yang mengitar di ruang publik. Perkara ini menubuh,  resiprokal pada tiap inci diri manusia. Implikasi ini lahir dari tumpang-tindih dimensi ekonomi, politik, sosial dan kultural. Keseluruhannya melekat pada rangkaian identitas kolektif hingga penghayatan personal.  Namun ada konsekuensi pasti atas krisis iklim yang melanda bumi, yakni,  dampak berlapis yang mesti ditanggung oleh kawan-kawan rentan dan kelompok marginal.

Orang-orang dengan ragam gender dan seksualitas adalah salah satu kelompok marginal yang terdampak serius atas struktur kekuasaan yang represif.  Dominasi industri ekstraktif yang bersekongkol dengan nilai-nilai heteronormativitas dengan leluasa membangun mitos, fobia dan diskriminasi terhadap komunitas queer.

Alhasil, orang-orang dengan sexual orientation, gender identity and expression, and sex characteristics (SOGIESC) yang beragam, tetap tak dilihat sebagai bagian dari komponen alam setara.

Mereka terus menerus tak memiliki ruang aman, termasuk ketika berada di tengah situasi krisis dan tak memiliki daya tawar dalam mitigasi bencana iklim.

Komunitas queer di Indonesia kerap kali terusir dari rumah. Ihwal ini terjadi ketika lingkungan keluarga tidak suportif dan memilih melakukan kekerasan terhadap kerabat biologisnya. Tak sedikit dari mereka keluar dari rumah sejak usia belia atau kabur dalam kondisi tanpa persiapan.

Keadaan ini membuat mereka tak bisa menyiapkan dokumen administrasi, misal, kartu keluarga dan kartu tanda penduduk (KTP). Namun, dokumen yang dilegitimasi negara ini masih jadi persyaratan mengakses hak-hak dasar yang seharusnya dimiliki semua kalangan.

Kewajiban pemerintah untuk mendistribusikan dana bantuan atau sembako saat terjadi bencana, tak jarang menihilkan komunitas queer. Pelayanan administrasi kependudukan yang tidak inklusif menghambat mereka memperoleh akses bantuan sosial setara. Beban ganda yang dialami ini membuat komunitas queer kian terdampak dan rentan ekonomi.

Orang-orang di luar normativitas gender dan seksual yang kaku, mengantongi prakondisi dan telah terliyankan sejak awal. Tak hanya ketika bencana terjadi, melainkan pada ritus sehari-hari, mereka mengalami kesulitan memperoleh pekerjaan dan kehidupan layak.

Begitu pula dengan komunitas queer yang terpaksa keluar dari lingkungan rumah yang beracun dan tak memiliki tempat tinggal, mereka kesusahan memenuhi kebutuhan dasar harian, termasuk bahan pangan dan sanitasi.

Ketika bencana terjadi dan mengharuskan warga berada pada satu tempat pengungsian yang sama, ada norma-norma biner gender yang membuat komunitas queer rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Mereka bahkan ditolak masuk di dalam kamp-kamp pengungsian.

Begitu pula dengan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) bagi mereka yang mengalami menstruasi. Menstrual pad, air bersih dan kebutuhan mendasar lain perlu diperhatikan, tak hanya bagi cisgender perempuan, melainkan bagi siapa pun yang memiliki rahim dan mengalami menstruasi. Namun hal ini tentu jadi sulit ketika orang-orang di sekitar tak memiliki perpsektif inklusif atas keberagaman gender manusia.

 

Kerusakan bangunan akibat gempabumi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11).  Pandangan salah, kadang bencana juga kadang dikaitkan-kaitkan dengan  komunitas LGBTQ. Foto : BPBD Kabupaten Cianjur

 

Subjek horor

Komunitas queer serupa abyek yang dirumuskan oleh Julia Kristeva (1982). Mereka disingkirkan, tak dibicarakan dan menjadi arena di mana makna telah runtuh.

Kristeva mengungkapkan, abyek ini menerus muncul dan menghantui kesadaran manusia sebab dianggap mengancam identitas, sistem, ketertiban, batasan, posisi, dan aturan yang berlaku (Kristeva, 1982: 4).

Pada konsep masyarakat heteropatriarkal, komunitas queer yang menggugat kemapanan dianggap sebagai sesuatu yang hina dan menjijikkan. Mereka diusir dan dihindari, namun sekaligus dihasrati dengan melancarkan berbagai macam diskriminasi dan represi. Individu-individu queer ditakuti sekaligus diinginkan, dibuang karena “menghantui” ketertiban manusia sekaligus “disayang” dengan dipelihara untuk terus menerus menjadi bahan pelampiasan kesalahan dan penindasan (Rahmawati, 2022: 134).

Gelombang kebencian irasional mulai menguat terhadap queer di Indonesia, puncaknya pada 2016. Fantasi bahwa sang liyan membahayakan, selanjutnya menjadi pembenaran atas kekerasan terhadap mereka yang dipinggirkan.

Tak terhitung banyaknya fenomena bencana di Indonesia yang dikaitkan dengan komunitas queer atau LGBTIQ+, misal, pada gempa bumi di Cianjur, November 2022.

Sesat pikir bahwa kelompok rentan ini sebagai biang bencana dengan sempurna mengalihkan akar persoalan. Alih-alih bersikap kritis atas dampak industri ekstraktif dan krisis iklim yang terjadi, masyarakat dan pemerintah heteronormatif justru sibuk melempar fobia serta stigma terhadap yang Liyan.

Paradoks yang meminggirkan queer sebagai yang dihindari sekaligus dihasrati, hadir pula dalam kampanye-kampanye ekologis oleh Indowater/Ecoton. Mereka aksi atas pencemaran Kali Brantas karena limbah industri ekstraktif yang kian tak terkendali (Austriningrum dan Wijaya, 2021). Namun kampanye yang mereka lakukan sekaligus mengukuhkan stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang dengan ragam SOGIESC.

Pencemaran zat endocrine disrupting chemicals (EDC) atau senyawa pengganggu hormon (SPH) di Kali Brantas menyebabkan ekosistem terganggu, termasuk spesies ikan yang hidup di dalamnya.

Kemudian Indowater/Ecoton melakukan kampanye dengan menyebut ikan-ikan terdampak krisis iklim tersebut dengan “ikan bencong”. Mereka juga menyatakan bila “ikan bencong” ini dikonsumsi, akan berbahaya bagi manusia.

Austriningrum dan Wijaya mencatat,  aktivitas kampanye yang dilakukan salah satunya ketika sekelompok laki-laki melakukan aksi dengan mengenakan kostum dan berlagak laiknya putri duyung. “Mereka duduk di atas perahu karet dan mengapung di air sungai yang keruh sembari memegang plang dan poster demo dengan tulisan seperti: “Kembalikan Kejantananku” dan “Pestisida Deterjen Rusak Gairah Bercintaku” (Austriningrum dan Wijaya, 2021: 2).

Para aktivis ini memilih diksi “ikan bencong” untuk merujuk pada kondisi krisis iklim yang dianggap “kelainan” dan “tidak normal.” Mereka juga menganggap hal itu lelucon yang efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas kondisi yang tengah terjadi. Namun atribut beserta lelucon seksis dan norma maskulinitas hegemonik yang disampaikan, tak memikirkan dampak nyata terhadap individu dengan ekspresi dan identitas gender yang beragam.

Lagi-lagi, komunitas queer menanggung konsekuensi serius dari hegemoni industri ekstraktif dan tatanan sosiokultural yang heteronormatif.

Di tempat-tempat pengungsian juga rawan terjadi  ketidakadilan terhadap komunitas LGBTQ.  Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

Keadilan iklim dan solidaritas untuk semua

Membincag keadilan iklim tak bisa lepas dari keadilan bagi semua kalangan. Mengkritisi penindasan atas kuasa industri yang represif ialah juga membongkar bentuk-bentuk reproduksi penindasan kolonial dari beragam sisi.

Sebab serupa seruan feminis lesbian kulit hitam, Audre Lorde, bahwa “I am not free while any women is unfree, even when her snackles are very different from my own”. Politik solidaritas merupakan basis kekuatan yang bisa menerus diupayakan untuk menciptakan iklim inklusif, adil dan setara.

Komunitas queer di Indonesia telah melakukan pula resistensi dalam melawan kerusakan iklim. Bahkan,  meski eksistensi mereka terus dikomodifikasi oleh beragam pihak yang diskriminatif.

Saras Dewi (2022) mencatat,  aktivitas transpuan pekerja seni, Sanggar Seroja, dalam kampanye terkait perubahan iklim melalui penelitian dan pentas teater.

Para transpuan di Kampung Duri, Jakarta Barat ini aktif mengajak warga sekitar mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan menggiatkan keberadaan bank sampah.

Sanggar Seroja juga melakukan akuntabilitas kampanye dengan melakukan daur ulang limbah plastik sebagai bahan kostum yang mereka kenakan saat pentas seni.

Semangat solidaritas dalam melawan situasi krisis dilakukan pula oleh para transpuan di Bandung. Mereka memikirkan kedaulatan pangan selama terdampak pandemi dengan hal-hal yang dekat dan sederhana.

Para transpuan bersolidaritas menanam sayuran seperti pokcoy, kangkung dan tauge, serta mencoba melakukan budidaya ikan lele di ember (Austriningrum dan Wijaya, 2021: 15).

Siasat-siasat perlawanan yang interseksional inilah yang perlu untuk disuarakan dan disebarluaskan. Perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang timpang dan mengerdilkan kelompok rentan perlu diupayakan bersama. Perlawanan ini penting pula dibarengi kesadaran empatik bahwa akar penindasan bersifat kapital, kolonial serta heteropatriarkal.

Bila solidaritas lintas kelas, abilitas, gender dan seksualitas menguat, bukan tak mungkin kita dapat menciptakan ruang aman untuk hidup berdampingan dengan alam dan sesama.

 

Krisis iklim ancaman bagi semua dan harus beraksi bersama-sama. Bila solidaritas lintas kelas, abilitas, gender dan seksualitas menguat, bukan tak mungkin kita dapat menciptakan ruang aman untuk hidup berdampingan dengan alam dan sesama Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

*Tulisan Himas Nur Rahmawati ini merupakan juara Harapan III Lomba Artikel Hari Anti Tambang kolaborasi antara  Jaringan Advokasi Tambang, Indonesia.id dan Mongabay Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

*****

 

Daftar Pustaka

Akmalia, Shobihatunnisa. 2023. Layaknya Avatar, LGBT Kerap Disebut sebagai Sumber Bencana, (Online), (https://www.konde.co/2023/02/layaknya-avatar-lgbt-kerap-disebut-sebagai-sumber-bencana.html/, diakses 21 Mei 2023).

Austriningrum, Giovanni Dessy dan Firdhan Aria Wijaya. 2021. Taut-paut Senyawa Pengganggu dan Putri Duyung: Sebuah Perspektif Ekologi Queer, (Online), (https://strugglesforsovereignty.net/id/taut-paut-senyawa-pengganggu-dan-putri-duyung-sebuah-perspektif-ekologi-queer/, diakses 11 Mei 2023).

Dewi, Saras. 2022. Ardanariswari, (Online), (https://www.kompas.id/baca/opini/2022/08/26/ardanariswari, diakses 20 Mei 2023).

  1. 2019. Kenapa Kaum LGBTQ+ Paling Terancam oleh Bencana Iklim?. (Online), (https://www.dw.com/id/kenapa-lgbtq-paling-terancam-oleh-bencana-iklim/a-56851862, diakses 20 Mei 2023).

Kristeva, Julia. 1982. Powers of Horror: An Essay on Abjection, Leon S. Roudiez (penerjemah). New York: Columbia University Press.

Rahmawati, Himas Nur. 2022. Menerjemahkan Masa Depan: Panseksualitas dan Intimasi Diri. Universitas Gadjah Mada. Tesis.

 

Exit mobile version