Mongabay.co.id

Krisis Iklim dalam Secangkir Kopi

Secangkir kopi dengan suasana panorama indah Ciwidey, Bandung Barat, Jabar. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Meski tanaman kopi memiliki lebih dari 100 spesies, hanya ada dua yang dominan dikembangkan di dunia. Yaitu Coffea arabica (kopi arabika) dan Coffea canephora yang kerap disepadankan dengan kopi robusta.

Sebenarnya C. canephora mempunyai dua varitas yaitu robusta dan nganda. Hanya saja robusta lebih populer dari nganda dan menggantikan penyebutan C. canephora dalam percakapan sehari-hari.

Soal rasa, kopi arabika tak sepahit robusta. Kandungan kafein kopi arabika juga tak sebanyak yang dimiliki robusta. Kopi arabika lebih beraroma dengan cita rasa lembut yang kaya rasa. Sementara robusta rasa kopinya lebih kuat dan umumnya tidak seasam arabika. Mana yang lebih nikmat? De gustibus non est disputandum. Selera tak bisa diperdebatkan.

Sering kali kopi arabika di tempatkan pada kasta tertinggi dalam kerajaan kopi. Dalam hal harga, kopi arabika juga lebih mahal dibanding robusta. Secara global kopi arabika menyumbang sekitar 60 persen produksi kopi dunia, sedangkan robusta 40 persen.

Saat ini lima produsen terbesar kopi di dunia adalah Brazil, diikuti Vietnam, Colombia, Indonesia, lalu Ethiopia. Begitu terkenalnya kopi dari Indonesia, ucapkan java kepada barista ketika di Amerika, maka dia akan menyuguhkan secangkir kopi untuk Anda. Java menjadi bahasa slank untuk secangkir kopi.

baca : Bisakah Indonesia Kuasai Pasar Kopi Dunia?

Terkait cuaca, tanaman kopi robusta lebih toleran terhadap suhu panas dan rentan terhadap suhu rendah. Sebaliknya arabika menyukai suhu rendah dan rentan terhadap suhu tinggi. Kisaran suhu optimal tahunan untuk kopi robusta adalah antara 22 derajat celsius hingga 28 derajat celsius. Sementara kopi arabika antara 18 derajat celsius hingga 22 derajat celsius.

Tanaman kopi robusta tumbuh baik dengan curah hujan 2.000 mm hingga 2.500 mm, sementara arabika antara 1.400 hingga 2.000 mm. Jika kopi robusta bisa ditanam mulai dari 0 m dpl hingga 800 m dpl, maka kopi arabika optimal ditanam di atas ketinggian 800 m dpl hingga 2000 m dpl.

baca juga : Bagaimana Musang Luwak Menghasilkan Kopi Bercita Rasa Tinggi?

 

Seorang petani memperlihatkan biji kopi red Arabica dari perkebunan kopi di Ciwidey, Bandung barat, Jabar. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Dampak Krisis Iklim

Krisis iklim telah membuat landscape pertanian kopi berubah. Sebuah studi menggunakan algoritma machine learning memprediksi wilayah di planet bumi yang cocok untuk ditanami kopi menyempit sekitar 50 persen gara-gara krisis iklim. Produktivitas baik robusta maupun arabika akan turun, dan penanaman kopi akan bermigrasi ke wilayah yang lebih tinggi yang berpotensi mengancam ekosistem.

Studi itu menjelaskan, ancaman kerusakan lingkungan akibat pertanian kopi berikutnya potensial terjadi di Asia. Di Asia wilayah yang cocok sebagai lahan baru pertanian kopi masih tertutup hutan. Sehingga ancaman deforestasi membayangi budi daya kopi di masa-masa mendatang.

baca juga : Perubahan Iklim Ancam Masa Depan Kopi Indonesia

 

Database lokasi kopi global dan wilayah penghasil kopi utama. Titik biru mewakili lokasi kejadian Coffea canephora; titik oranye lokasi produksi berbasis Coffea arabica. Warna abu-abu dan nama tebal mewakili wilayah produksi kopi. Sumber : Christian Bunn, dkk via springer

 

Studi yang memperhitungkan berbagai gangguan iklim seperti El Nino, La Nina, Osilasi Madden Julian terhadap pertanian kopi juga menyebutkan, seluruh negara penghasil kopi (12 negara yang diamati) mengalami setidaknya satu kali gangguan. Utara Brasil dan Timur Etiopia menjadi wilayah yang paling rentan dengan mengalami empat kali gangguan. Frekuensi bencana iklim meningkat sejak 1980, dan risiko sistemik yang lebih besar atas produksi kopi secara global tampaknya tak bisa dihindarkan.

Menurut Organisasi Kopi Internasional (ICO), produksi kopi mencapai 10,13 juta ton pada 2020-2021 yang turun 0,1 persen dibanding periode sebelumnya. Sementara tingkat konsumsi kopi meningkat 2 persen dibanding periode sebelumnya yaitu sekitar 10,06 juta ton. Peningkatan konsumsi antara lain didorong oleh gaya hidup yang berubah, kemudahan meminum kopi, juga tingginya permintaan kopi berkualitas tinggi. Sayangnya di balik angka-angka ini terdapat fakta yang tidak menyenangkan.

Meski konsumsi kopi secara global naik, tingkat pendapatan antara petani dan industri kopi tidak seimbang. Terdapat 25 juta petani kecil di seluruh dunia yang menyumbang 70 persen hingga 80 persen total produksi kopi. Namun pendapatan mereka tergolong rendah. Sebuah laporan menyebut, petani hanya mendapatkan kurang dari 1 dollar untuk sekitar setengah kilogram biji kopi.

Saat ini setidaknya ada 125 juta orang yang mata pencahariannya bergantung kepada kopi. Sebanyak 70 persen tenaga kerja di produksi kopi adalah perempuan, namun hanya 20 persen hingga 30 persen perempuan yang punya kesempatan memimpin perkebunan kopi. Sehingga saat krisis iklim berimbas pada tanaman kopi, merekalah yang terkena dampak langsung.

baca juga : Kopi Arabika Papua dan Ancaman Nyata Perubahan Iklim

 

Petani kopi di Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, tampak merawat tanamannya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Deforestasi untuk tanaman kopi sudah terjadi di beberapa negara Amerika Latin dan Afrika sub-Sahara. Di Peru, 25 persen deforestasi terkait produksi kopi. Di Uganda, 55 persen hutan alam diubah jadi lahan pertanian yang berkorelasi dengan budi daya kopi.

Secara tradisional kopi diusahakan di bawah kanopi pohon peneduh. Namun perkebunan kopi dalam skala besar ditanam tanpa peneduh dan menggunakan pupuk tambahan yang melipatgandakan panen hingga lima kali lipat. Tapi cara ini merusak lingkungan dengan menghilangkan keanekaragaman hayati, menghancurkan ekosistem dan mengurangi stok karbon.

Di luar isu krisis iklim, budaya minum kopi juga mendapat kritik terkait dampaknya terhadap lingkungan. Dalam soal karbon misalnya, seluruh rantai kopi memiliki total jejak karbon sebesar 4,82 kg emisi CO2 per kg kopi hijau. Sementara untuk secangkir kopi berukuran 125 ml memerlukan 140 l air untuk pemrosesannya. Belum lagi soal penggunaan cangkir sekali pakai dan kemasan plastik yang digunakan. Sebuah gerai kopi global, dilaporkan membutuhkan lebih dari 4 miliar gelas sekali pakai dalam setahun yang setara dengan 1,6 juta pohon untuk membuatnya.

Suhu bumi yang terus memanas, membuat luasan perkebunan kopi arabika terus menyusut. Dunia butuh pertanian kopi yang ramah lingkungan, juga perdagangan yang adil. Hari-hari mendatang mungkin akan lebih banyak kopi pahit tersaji. (***)

perlu dibaca : Kedai Kopi Menjamur, Sampah Plastik Makin Menumpuk di Yogyakarta

 

 

 

Exit mobile version