Mongabay.co.id

Kutukan Nikel, Daeng Nuru dan Kampung Pajjukukang

 

 

 

 

 

Tiga tahun lalu, seorang tua meninggal, saat itu 18 Mei 2020, di sebuah tumpukan slag pabrik peleburan nikel, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Para petugas yang dipekerjakan oleh perusahaan, menghadangnya. Memberinya hardikan, pukulan dan tendangan.

Orang tua itu tak bisa melawan. Usianya telah mencapai 78 tahun. Namanya, Nursaali. Pendegarannya kurang baik. Tubuh keriput dan berjalan pun pelan-pelan. Dia lelaki yang tinggal bersama istrinya, bernama Sa’ali.

Huadi adalah perusahaan yang membangun smelter nikel. Perusahaan itu punya beberapa tungku untuk melelehkan bahan baku mentah menjadi ferronickel.  Sebelum perusahaan itu datang ke kampungnya, Nur Saali, mengelola petak kecil lahan untuk menanam jagung, cabai, dan kedelai. Tanah garapan itu bukan miliknya, tapi milik seseorang yang menaruh iba padanya.

Saat musim paceklik, dia menjual tenaga pada usaha pembuatan batu bata merah. Orang-orang di Kampung Mawang, Desa Papan Loe, Kecamatan Pajjukukang, tempatnya bermukim menyapanya dengan sebutan Daeng Nuru. Dia pria tua yang giat bekerja.

Tahun 2012, pemerintah membuat perda, dan jadikan Pajjukukang sebagai kawasan industri besar. Tahun 2014, didukung pemerintah kabupaten, mulailah perusahaan memasuki kawasan dan menemui masyarakat, dan merayunya untuk melepaskan tanah.

Dalih perusahaan adalah iming-iming harga tanah yang tinggi dan menjanjikan para penduduk bekerja sebagai karyawan di pabrik. Para pemilik lahan banyak tergoda, termasuk pemilik ladang garapan Daeng Nuru.

Daeng Nuru, tak bisa berbuat apa-apa. Dia tahu diri.

Saat perusahaan beroperasi, beberapa usaha pembuat batu bata pun harus bangkrut, karena air sumur mengering. Musababnya, perusahaan ikut menggunakan air tanah, bukan menyuling air laut. Orang perusahaan bilang, jika lembaga negara sudah memberi izin. Maka seperti biasa, masyarakatlah yang mengalah. Beberapa orang di kampung itu akhirnya menjadi pemulung. Pilihan itu, mungkin juga paling tepat untuk Daeng Nuru.

Pada kesekian kalinya memulung, menjelang dinihari pada Mei itu, dia bersama beberapa orang kawannya, memasuki celah tembok perusahaan. Di atas tumpukan slag, dia menapaki dengan pelan. Sisa besi yang terbuang dan telah menjadi limbah diambilnya. Lalu tiba-tiba, petugas keamanan, satpam dan satuan Brimob yang dipekerjakan perusahaan, mendekati rombongan itu.

Beberapa orang dengan cekatan berlari, kemudian menyelinap keluar dari tembok perusahaan. Daeng Nuru tak mendengarnya. Ketika para pesuruh perusahaan itu sudah makin dekat, dia baru menyadari. Dia tak lagi mampu berlari.

 

Kawasan industri Bantaeng. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Deng Nuru kena gebuk. Dini hari yang dingin sebenarnya ada beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu. Tak seorang pun yang berani bersaksi. Sementara dalam pembicaraan berbisik, orang-orang bilang, jika dia kena seret. Kepalanya berdarah, bagian lengan terdapat tiga benjolan. Badan terdapat beberapa lebam. Darah merembes dari kepala lansia itu.

“Polisi itu memukulnya. Kasihan sekali, sudah tua,” kata seorang buruh.

“Mereka memang tahu, dia tak akan melawan. Maka orang-orang itu dengan enteng memukulnya,” lanjut yang lain.

“Tapi itu memang hadiah yang tepat. Dia masuk ke perusahaan mengambil barang yang bukan miliknya. Itu mencuri,” yang lain menambahkan.

“Mencuri hadiahnya memang harus seperti itu,”lanjut yang lain.

“Tapi begitu selalu, pencuri kecil kalau tidak babak belur, dia akan mati. Para pencuri besar, mungkin mereka yang di perusahaan itu akan terus bersantai,” seloroh yang lain.

Saat sekarat, petugas yang telah puas menganiaya membawanya ke klinik perusahaan. Dia mendapat perawatan seadanya. Jelang pukul 07.00, sebuah ambulance membelah Kampung Mawang. Berhenti di depan kediaman Daeng Nuru. Cucunya meraung. Istrinya yang sudah renta tak bisa lagi melompat ke mobil. Orang di dalam ambulance, memintanya tak banyak bertanya dan Daeng Nuru dibawa menuju Rumah Sakit Anwar Makkatutu, Bantaeng.

Daeng Nuru sudah tak bisa lagi berbicara. Selang infus. Perban di kepala. Dia sudah tak sadarkan diri. Cucunya menggenggam tangan pak tua itu. Sejam kemudian, Deng Nuru meninggal.

Meninggal, bukankah itu kata yang elok bagi seseorang yang menghembuskan napas dalam keadaan baik dan tanpa paksaan. Tapi Daeng Nuru itu, mati. Nyawanya dipaksa lepas, dengan kesakitan yang luar biasa.

Daeng Nuru, bukan apa-apa. Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang pemulung, bukan seorang pejabat, yang kematiannya harus ditangisi. Meski kemudian, Lembaga Bantuan Hukum Makassar yang menjadi pendamping hukum berupaya mencari keadilan bersama keluarga. Akhirnya, seorang anggota Brimob dinyatakan sebagai tersangka, dan tiga anggota Satpam juga tersangka.

Orang-orang itu tetap bebas hingga hari ini. Dia tetap hidup, tak mati seperti Daeng Nuru.

Para aktivis bicara, kematian Daeng Nuru adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Tapi kemanusiaan untuk siapa?

Di Sulawesi,  yang tanahnya kaya akan nikel itu, kematian terus berulang. Di Morowali, Konawe, Wawonii, Sorowako, Bantaeng, Lampia, hingga Kolaka, perisitwa itu terus terjadi. Disebutnya kemudian sebagai kecelakaan kerja. Uang santunan, kemudian mengalir.

“Begitulah dunia pertambangan. Pekerjaan yang penuh risiko,” kata para pemilik tambang.

Nikel,  katanya, membawa dampak baik bagi ekonomi sebuah kawasan. Menyerap ribuan tenaga kerja. Pengangguran menjadi berkurang. Kiriminalitas berkurang. Orang-orang berebut masuk, mengandalkan “dekkeng” atau koneksi. Gaji tinggi. Ekonomi menggeliat.

Di Bantaeng, para buruh dengan penghasilan Rp4 juta sebulan, membeli motor baru. Kalau libur, kedai kopi dan rumah makan akan ramai pengunjung. Libur bukan untuk istirahat. Sehari libur, esoknya masuk kerja lagi. Beberapa dari mereka kelelahan, hilang konsentrasi, lalu kecelakaan kerja. Ada yang pergelangannya luka, ada pula yang luka terbakar, atau jari terputus.

“Dulu Bantaeng adalah kota kecil. Tidak ada yang meliriknya,” kata para pejabat.

“Sekarang smelter, tidak dipungkiri, membawa ekonomi Bantaeng meningkat,” kawan pejabat itu menimpali.

“Harusnya kita menjaganya bersama,” seorang lain yang sok arif melerai.

“Kami tidak mungkin enak sendiri. Kami ingin masyarakat tumbuh bersama kami,” kata humas tambang.

“ Tumbuh bersama, sejahtera bersama.” Berapa kali kalimat ini didengungkan di pelosok negeri digunakan untuk perusahaan, perumahan, dan para politisi dalam pilkada dan pemilihan legislatif.

Apakah Daeng Nuru yang sudah mati mengerti itu? Sepekan sebelum tubuhnya jadi jenasah di tempat pembuangan limbah itu, beberapa warga meminta pada perusahaan untuk mengizinkan pemulung memasuki kawasan. Permintaannya tidak banyak, mengumpulkan sisa besi limbah yang tak lagi digunakan perusahaan. Tak ada kesepakatan.

Mungkinkah matinya Daeng Nuru, adalah kesepakatan?

Saali, istri Daeng Nuru, terus berderai. Kematian sang suami, membuatnya menjadi lebih rentan. Makan menjadi kurang enak. Hidup seperti tak punya harapan lagi. Anak-anak dan cucunya menjadi begitu khawatir. Mereka tak mengerti kehilangan belahan hati, yang mustahil dijelaskan. Tepat 70 hari, kematian Daeng Nuru, pada sebuah malam yang tenang, Saali menyusul.

“Seperti sejoli yang terus dimabuk cinta, mereka tak terpisahkan,” kata para pujangga.

“Ironis,” kata para wartawan.

“Jahat,” kata para aktivis.

Ataukah kematian Daeng Nuru dan Saali – istrinya itu – adalah hal lumrah. Orang-orang bergantian berkata sebaiknya jangan dibesar-besarkan karena usia tua memang sepantasnya berganti usia muda. Toh, pemerintah kata para pejabat akan membangun negeri ini dengan baik. Tidak ada yang menginginkan kemelaratan bagi bangsanya sendiri.

Sebab itu, smelter di Bantaeng, yang masuk dalam Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) merupakan proyek strategis nasional. Kelak luasan mencapai 3.120 hektar. Kini, selain PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, empat perusahaan lain juga dalam grup Huadi membangun tungku nikel. Bahan baku terus berdatangan, perusahaan menggenjot produksi.

 

Aktiitas di kawasan smelter PT Huadi Nickel Alloy Indonesia di Bantaeng, Sulawesi Selatan

 

 

Tiga tahun lalu, jenazah Daeng Nuru dan istrinya, di dalam tanah mungkin sudah membusuk. Dia kembali melebur bersama tanah yang sudah tak mengakrabinya. Liangnya tak jauh dari tembok perusahaan, di belakang rumahnya sendiri. Di hamparan tanah, yang masuk dalam skema pengembangan kawasan industri.

Kalau skema tumbuh dan berkembang bersama masyarakat akan dilaksanakan, bukan tidak mungkin pusara Daeng Nuru akan kembali terbongkar. Cucunya, Rusmala, juga tak mengerti apa-apa. Meski beberapa orang telah mendekatinya untuk merelakan bidang tanah rumahnya.

Rusmala, mendekap anaknya. Suaminya bekerja sebagai buruh di dalam PT Huadi. Siang yang terik, saat dia mengenang kakek dan neneknya, kaki dipenuhi debu dari sisa cerobong pabrik. Di rumahnya tak ada celah yang tak dimasuki debu.

Sebenarnya, dia sudah tak betah tinggal di kampung itu. Udara sudah tak sehat. Rumput laut di pesisir acapkali gagal panen. Daun kelor diselimuti debu. Buah pisang menjadi rusak tetapi para buruh tetap bekerja. Mereka memiliki penghasilan bulanan yang pasti. Uang itu untuk membeli semua kebutuhan, termasuk sayur yang seyogyanya bisa ditanam di pekarangan.

Para buruh, hanya tahu bekerja dan menggenjot tenaga untuk menghasilkan nikel sebagai lapisan besi dan baterei.

Baterai. Mobil listrik. Perusahaan menamai sebuah pencapaian yang terbaik untuk mengurangi emisi karbon agar bumi lebih baik. “Sebentar lagi, orang akan menggunakan mobil listrik. Biar udara di bumi ini menjadi bersih,” kata orang perusahaan.

“Jadi bekerja di perusahaan ini bukan untuk diri sendiri, tapi untuk keberlangsungan bumi dan anak cucu,” yang lain menimpali.

Untuk bumi. Bumi siapa?

 

Pabrik smelter PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

******

 

 

*Tulisan Eko Rusdianto  ini merupakan juara Harapan IV Lomba Artikel Hari Anti Tambang kolaborasi antara  Jaringan Advokasi Tambang, Indonesia.id dan Mongabay Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version