Mongabay.co.id

Bagaimana Kelola Pariwisata di Kawasan Konservasi?

 

 

 

 

 

 

Obyek menarik memang jadi ‘madu’ bagi wisatawan untuk datang. Dalam mengelola pariwisata tak bisa melulu mementingkan jumlah orang datang tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan di daerah itu, apalagi kalau itu kawasan konservasi.   Kalau tidak, pariwisata tak terkontrol bisa mengancam upaya konservasi.  Kalau tidak, pariwisata tak terkontrol bisa mengancam upaya konservasi.  Di Gili Meno, Trawangan dan Air (Matra), Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, misal, wisatawan banyak datang sejalan dengan cafe dan restoran di sepanjang pantai pun bermunculan. Kondisi ini bisa memperparah abrasi di ketiga pulau yang jadi bagian dari Sunda Kecil itu.

“Boleh dibilang, apa yang terjadi di Gili Matra ini sudah tidak sesuai konsep konservasi. Sudah over kapasitas ini,” kata Imam Fauzi,  Kepala Balai Pengelola Kawasan Konservasi Nasional (BPKKN) Kupang, di sela penutupan Coremap-CTI di Gili Meno, beberapa waktu lalu.

Gili Matra, katanya,  merupakan kawasan konservasi paling barat yang dikelola BPKKN Kupang. Dia berharap,  kepadatan wisatawan di Gili Matra dapat dikurangi demi keberlanjutan konservasi.

Penetapan Gili Matra sebagai kawasan konservasi merujuk pada Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 36/2022. Total wilayah mencapai 2.268,59 hektar terbagi dalam tiga zona, meliputi zona inti, pemanfaatan dan zona lain sesuai peruntukan.

Secara rinci, luas zona inti 101,95 hektar. Di zona ini tidak boleh ada aktivitas atau kegiatan apapun. “Yang boleh hanya untuk riset,” kata Sri Yanti, Direktur Pengelolaan Laut Bappenas.

Ada juga zona pemanfaatan 2003,64 hektar. Pada zona ini pemanfaatan hanya untuk wisata dan penelitian. Memancing ikan termasuk dilarang di zona ini.

Ada pula zona lain sesuai peruntukan seluas 160 hektar, meliputi rehabilitasi, instalasi laut, dan pelabuhan.

Secara geografis, KKP Gili matra berada pada koordinat 8.20-823 Lintang Selatan dan 116.00-116-08 Bujur Timur. Sedangkan secara administratif berasa di Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB).

 

Restorasi terumbu karang di perairan Gili Matra, Nusa Tenggara Barat yang merupakan bagian program Coremap-CTI. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Sarat tantangan

Sebagai kawasan konservasi, Gili Matra sarat dengan tantangan. Hal itu tak lepas dari keputusan pemerintah juga menjadikan Gili Matra sebagai kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) bersama Mandalika di sisi selatan.

Yanti mengatakan, tantangan terbesar pengelolaan kawasan konservasi adalah mass tourism. “Karena itu, sangat penting bagaimana supaya kepentingan ekonomi dan ekologi dapat berjalan,” katanya.

Untuk mewujudkan itu, Bappenas melalui Indonesian climate change trust fund (ICCTF) melaksanakan serangkaian program yang dikemas dalam coral reef rehabilitation management program-coral triangle initiative (Coremap-CTI).

Yanti bilang, Coremap-CTI digagas sebagai upaya perlindungan terumbu karang dan ekosistem pesisir dengan melibatkan lintas sektor. Sekaligus upaya peningkatan kesejahteraan melalui penerapan ocean accounting (neraca sumber daya laut dan pesisir).

Ada sejak 2020, Coremap-CTI dilaksanakan di lokasi,  yakni, di kawasan konservasi Nusa Penida, Bali, Gili Matra di Lombok Utara, serta Gili Balu, Sumbawa Barat, NTB.  Total dana untuk program itu mencapai Rp72 miliar dari Asian Development Bank (ADB) dengan durasi tiga tahun, 2020-2023.

 

Hotel di Gili Trawangan yang berada tak jauh dari garis pantai. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Khusus di Gili Matra, Coremap-CTI terimplementasi dalam tujuh bentuk dan tujuan berbeda. Ada soal dukungan penuh pengelolaan kawasan konservasi dan implementasi perlindungan hewan laut yang terancam punah.  Juga dukungan pada perencanaan ekosistem dan mata pencaharian berbasis sumber daya laut. Ada juga kajian mengenai rantai pasok tuna, kakap dan rumput laut berikut analisis pasarnya.

“Jadi, program ini digagas sebagai upaya agar bagaimana pemanfaatan sumber daya di kawasan pesisir berdasarkan pada daya dukung dan daya tampung kawasan. Harapannya,  program ini bisa direplikasi di tempat lain,” kata Yanti.

Selama tiga tahun, Coremap-CTI banyak melibatkan partisipasi masyarakat mulai dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), Kelompok Pengolahan dan Pemasaran (Poklahsar) dan komunitas lain.

Beberapa sumbangsih program ini meliputi pembangunan kantor pengawas, pelatihan membuat produk olahan, pelatihan identifikasi spesies lindung, hibah peralatan, hingga restorasi terumbu karang.

Total ada 11 titik rehabilitasi terumbu karang selama kegiatan ini dengan luas 2.800 hektar tersebar di tiga gili. “Ada 1500 fish dome (rumah ikan) yang kami sebar,” kata Aditya Tubagus Maulana, konsultan pelaksana program.

 

Fish dome (rumah ikan) yang ditanam di perairan Gili Matra, Nusa Tenggara Barat. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Manajemen kunjungan

Salah satu inovasi paling penting dari Coremap-CTI ini adalah pusat informasi pariwisata Gili Matra. Berlokasi di kompleks terminal Teluk Nare yang rusak oleh gempa Sumbawa 2018, kantor ini juga dilengkapi papan digital Visitor Management System(VMS).

Saat Mongabay ke sana beberapa waktu lalu, peralatan pendukung masih disimpan di Kantor Dinas Perhubungan karena alasan keamanan. Kecuali papan digital VMS yang berada di ruangan paling depan.

Papan VMS itu berguna untuk mendukung pemberlakuan one payment system (OPS) guna memantau wisatawan yang masuk Gili Matra. Karena itu, informasi yang ditampilkan meliputi wisatawan secara real time, baik lokal maupun mancanegara.

Leonas Chatim,  Project Team Leader Coremap-CTI ICVYF, mengatakan, pemberlakukan OPS itu sebagai tindak lanjut temuan sebelumnya yang mengungkap puluhan pintu masuk ke Gili Matra. Sedangkan satu-satunya pintu reguler adalah melalui Pelabuhan Bangsal.

“Ada 72 pintu masuk. Ini terlalu banyak dan berpotensi menyebabkan daerah kehilangan pendapatannya,” katanya.

Sebagai catatan, mayoritas pelancong ke Gili Matra merupakan wisatawan mancanegara (wisman). Mereka biasa datang dari Jakarta, lalu ke Bali. Dari sana, mereka langsung ke Gili Matra dengan menyewa kapal boat, tanpa melalui Bangsal, yang memang menjadi pelabuhan utama penghubung Lombok-Gili Matra.

“Jalur reguler itu kan Jakarta-Bali-Lombok-Bangsal-Gili Matra. Faktanya, banyak dari Padang Bay, Nusa Penida atau Sanur langsung ke Gili Matra,” kata Onas, sapaan akrab Leonaa.

Pemerintah Lombok semula berinisiatif menerapkan one gate system melalui Pelabuhan Bangsal tetapi rencana itu mendapat protes. Terutama dari para pelaku usaha dan penyedia jasa perjalanan wisata dengan alasan kebijakan dinilai tak efektif dan merepotkan wisatawan.

Misal, dari Nusa Penida, wisatawan tak boleh langsung ke Gili Matra, melainkan harus singgah ke Bangsal dulu untuk registrasi. Di sana, mereka baru pindah ke kapal lain untuk menyeberang ke Gili Matra.

 

Panorama di perairan Gili Trawangan, bagian dari Gili Matra, Nusa Tenggara Barat. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Pada akhirnya, rencana itu pun diubah jadi one payment system. Dengan begitu, turis bisa langsung masuk ke Gili Matra melalui pintu manapun hanya sekali bayar.

“Tadinya (konsep one gate system) dari Bali tidak boleh langsung ke Gili Matra. Karena dinilai tidak efektif, akhirnya digeser menjadi one payment system,” kata Onas.

Pemerintah Lombok Utara telah berkoordinasi dengan Pemerintah Bali guna memuluskan rencana itu. Ke depan, akan ada petugas di masing-masing titik yang selama ini banyak menjadi akses para turis ke Gili Matra.

“Sekarang ini masih disiapkan karena perlu aturan (perda) juga sumber daya manusianya. Ini sudah mulai disosialisasikan kepada para pelaku wisata.”

Selain mematangkan persiapan, pemerintah, katanya, perlu waktu lantaran ada banyak instansi terlibat, seperti Dinas Perhubungan, Dinas Komunikasi dan Informasi dan Dinas Kebudayaan Pariwisata.

Merujuk data Pemerintah NTB, kunjungan wisatawan ke provinsi ini terus meningkat sebelum turun karena pandemi COVID-19 yang melanda dunia. Pada 2015, misal, wisman ke NTB 1 juta orang dan naik jadi 1,4 juta orang pada 2016. Pada 2017 ada  1,51 juta orang dan 1,55 juta dalam 2019.

Peningkatan sama juga pada kunjungan wisatawan nusantara. Pada 2015, kunjungan 1,19 juta orang, naik jadi 1,69 juta di 2016; 2,24 juta orang pada 2017, lalu 1,60 juta orang 2018 dan 2,15 juta dalam 2019.

Yanti mengatakan, rencana penerapan one payment system merupakan potret kecil bagaimana ocean accounting diterapkan di Gili Matra.

“Bagaimana pariwisata itu berdasar kemampuan ekosistem, antara ekonomi-ekologi bisa berjalan beriringan. VMS ini berguna untuk memantau apakah melebihi atau tidak,” katanya.

 

Terumbu karang hasil restorasi di perairan Gili Matra, Nusa Tenggara Barat. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Tak pernah ada yang membayangkan Gili Matra menjadi destinasi wisata andalan. Geliat itu mulai muncul sejak 10 tahun lalu diikuti tumbuhnya bisnis perhotelan, penginapan, restoran hingga kafe di pinggir pantai bak jamur di musim hujan.

Menurut Yanti, penghitungan neraca laut dan pesisir (ocean accounting) perlu untuk mengetahui daya dukung dan daya tampung ketiga pulau ini. Tujuannya agar pemanfaatan tak kontraproduktif dengan status sebagai kawasan konservasi.

“Semua dihitung. Berapa besar ekosistem terumbu karang yang bisa dikunjungi, berapa biaya masuk untuk menggantikan damage yang ditimbulkan, sampai bagaimana cara menikmati kehidupan bawah lautnya.”

Dalam konteks itu, inovasi VMS dan OPS Yanti nilai sangat penting. Dengan begitu, tingkat kunjungan wisatawan dapat dikontrol guna mencegah degradasi kawasan karena kelebihan kapasitas. Semua proses dan tahapan itu akan dilakukan secara terintegrasi.

Yanti menyebut, selain sebagai KSPN, Gili Matra juga jadi pilot projects penerapan ocean accounting berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, data dan informasi awal yang tersedia cukup. Kedua, akses relatif mudah dan ada dukungan pemerintah daerah.

Dia berharap, program ini dapat mendorong perekonomian wilayah dan kesejahteraan masyarakat sekitar. “Ini yang harus kita kawal supaya semua inisiatif pengelolaan kawasan itu bermanfaat untuk semua.”

Imam Fauzi, Kepala BPKKN mengatakan, konsep pemanfaatan kawasan konservasi sejatinya adalah pembatasan. Ada pelarangan tetapi hanya pada zona tertentu, seperti zona inti. Pemanfaatan zona inti ini hanya untuk penelitian atau riset.

Apa yang terjadi pada Gili Matra saat ini, katanya, sebagai sebuah keterlanjuran dan sudah melenceng jauh dari konsep konservasi. “Sudah tidak sesuai lagi, sudah over capacity.”

Di Gili Meno, satu pulau bagian Gili Matra, luas lebih kecil, wisatawan bisa 1.000 orang per hari dengan masa tinggal 2-3 hari.

Sejalan dengan semangat konservasi, Fauzi sepakat dengan konsep pariwisata ‘premium.’ Pengunjung yang ingin masuk harus mengantre.

“Karena dengan begitu kita bisa mengontrol untuk pengawasan,” katanya.

Terkait apa yang terjadi di Gili Matra kini, Fauzi berusaha melakukan pembenahan. Kendati dia menyadari upaya itu tidak mudah.

“Kita benahi pelan-pelan karena itu tidak mudah. Rentetannya akan panjang karena banyak pengusaha, restoran, dive operator. Akan terjadi ketidakstabilan,” katanya.

Dia bilang, salah satu strateginya bagaimana mengurangi beban di Gili Matra dengan memberi alternatif wisata ke tempat lain sejenis. Misal, ke Gili Balu di Sumbawa Barat.

Fauzi katakan, sudah ada kajian untuk mendukung rencana itu terlebih Gili Balu—merupakan gugusan delapan pulau kecil—memiliki panorama dan wisata bawah laut tak kalah menarik. Ada hiu, paus dan pemandangan bawah laut yang sangat menawan.

Dia mengatakan, kajian daya dukung dan daya tampung sudah dibuat. Dengan begitu, wisatawan yang datang dapat dikontrol berdasar kuota.

“Tapi ya harus mahal supaya ekonomi dan ekologi bisa seimbang. Kalau kuota sudah penuh ya tutup, daripada banyak tapi tidak terkontrol, tidak terkendali, lalu lingkungan rusak.”

 

Suasana di pelabuhan Gili Air, bagian dari Gili Matra, Kabupaten Lombok Utara. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Bentuk BLUD

Muslim, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NT, mengapresiasi program Coremap-CTI yang dinilai berhasil meletakkan fondasi pengelolaan konservasi di kawasan.  “Partisipasi masyarakat untuk terlibat juga mulai terbangun,” katanya.

Untuk mendukung pengelolaan konservasi itu, mereka menetapkan UPT DKP NTB menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) per 10 Juni lalu. Keberadaan BLUD ini diyakininya akan memperkuat pendampingan di masyarakat.

“Secara program, Coremap-CTI boleh selesai. Tetapi kelembagaan dan SDM yang telah terbangun akan menggerakkan potensi kawasan konservasi,” kata  Muslim.

NTB merupakan satu provinsi dengan kawasan konservasi perairan terbesar di Indonesia. Ada sembilan kawasan konservasi seluas 342.999 hektar yang itu berkontribusi 13% dari total kawasan konservasi di Indonesia.

Ke-sembilan kawasan itu adalah Satonda, Sekotong, Sulat Lawang, Gili Balu, Gili Matra, Teluk Sempi, Teluk Saleh, Kabete, Pulau Panjang.

“Kamj butuh bantuan semua pihak bagaimana pengelolaan ini bisa berjalan maksimal. Harapannya, apa yang sudah berjalan di Gili Matra ini bisa diterapkan di wilayah lain,” kata Muslim.

 

 

Exit mobile version