Mongabay.co.id

Teknologi Carbon Capture Efektif Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca?

 

 

Teknologi Carbon Capture Utilization and Storage [CCUS] diklaim mampu meningkatkan produksi minyak dan gas [migas] sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca [GRK].

CCUS merupakan kegiatan mengurangi emisi GRK meliputi pemisahan dan penangkapan emisi karbon, pengangkutan emisi kabon tertangkap ke tempat penyimpanan, serta pemanfaatan emisi karbon dan penyimpanan ke zona target injrsebut eksi dengan aman dan permanen, sesuai kaidah keteknikan yang baik.

PT. Pertamina melakukan uji coba kegiatan tedi lapangan EP Sukowati, Bojonegoro, Jawa Timur, awal Desember 2023. Sebanyak 500 ton karbon dioksida [CO2] diinjeksikan ke sumur 18 dengan sistem Enhanced Oil Recovery[EOR]. Sumur Sukowati dipilih karena dinilai lebih dekat sumber bahan baku CO2yaitu Jambaran Tiung Biru.

Uji coba tujuh hari dilakukan untuk mendapatkan data evaluasi pengembangan lapangan sepenuhnya [project full field development], sebagai validasi teknologi CCUS-EOR secara spesifik. Sebelumnya, hal yang sama telah diterapkan di lapangan Jatibarang.

“Kalau sudah full free development, kita injeksikan CO2 secara kontinyu. Kita akan mendapatkan hasil environmental dari oil,” kata Awang Lazuardi, Direktur Pengembangan dan Produksi Pertamina Hulu Energi.

Selain mampu meningkatkan produksi migas, injeksi COmenurut Awang, merupakan upaya Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditargetkan mencapai emisi nol karbon paling lambat 2060.

“Kita mendapatkan dua keuntungan, yaitu kenaikan produksi migas dan pengurangan emisi.”

Baca: Energi Fosil dan Dampak Ambang Batas Planet: Berubahnya Siklus Hidrologi Bumi dan Ancaman Kekeringan

 

Sebanyak 80 persen polusi udara beracun terkait dengan pembakaran batu bara, minyak, solar, dan gas alam; pembakaran bahan bakar fosil untuk energi atau transportasi melepaskan sejumlah aerosol dan partikel kecil yang terkait dengan berbagai kondisi kesehatan, termasuk kanker paru-paru dan penyakit jantung. Foto PBB/Taman Kibae melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Menurut Senior Vice President Research and Technology Inovation Pertamina, Oki Muraza, implementasi CO2 EOR sebagai strategi peningkatan produksi migas nasional, yang rencananya akan diterapkan di beberapa lapangan dan sumur migas di Indonesia.

“Rencananya akan ada di implementasi,” tuturnya.

Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional [DEN], Djoko Siswanto, teknologi penyuntikan COke sumur pengeboran minyak bumi terbukti menaikkan produksi migas di negara-nagara maju.

Pemerintah menargetkan kenaikan produksi migas antara 100 hingga 300 persen, baik di sumur yang masih berproduksi maupun sumur tua.

“Teknologi ini bisa meningkatkan produksi minyak,” ujarnya.

Baca: Mencari Keseimbangan Antara Kebutuhan Transportasi Listrik dan Pasokan Logam Baterai

 

Asap dari cerobong pabrik di Malang, kawasan pegunungan yang seharusnya tidak ada industri. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kurangi emisi

Pemanfaatan teknologi CCUS untuk EOR, menurut Direktur Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, sudah jamak digunakan di negara-negara maju, dalam kurun 30 tahun terakhir.

Metode ini telah teruji mampu meningkatkan produksi migas. Namun, prosentase peningkatan produksinya sangat dipengaruhi kondisi setiap sumur pengeboran. Di level dunia, statistik menunjukkan terdapat sekitar 500.000 barrel minyak yang dihasilkan setiap harinya, melalui metode CO-EOR.

“Tapi, performanya di lapangan harus tetap diuji,” ujarnya.

Penemuan teknologi carbon capture, menurut Putra, awal mulanya dikembangkan untuk sektor migas, tidak ada kaitannya dengan persoalan lingkungan akibat gas rumah kaca. Pemisahan migas dari CO2 sebelum dijual kepada konsumen mengharuskan perusahaan menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon. Penyuntikan CO2 kembali ke dalam perut bumi diakui menguntungkan karena produksi migas bertambah.

“Tren kedepan, aplikasi yang dikejar dunia adalah penyimpanan karbon secara permanen.”

 

Asap keluar dari cerobong sebuah pabrik pengolahan limbah di Mojokerto. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Apakah metode penangkapan dan penyimpanan karbon mampu mengurangi emisi gas rumah kaca?

Putra menyebut, cara ini tidak cukup efektif mengurangi emisi GRK di alam bebas.

“Alasannya, pemanfaatan teknologi masih didominasi perusahaan sektor migas, belum diadaptasi PLTU atau industri lain yang berpotensi menyumbang emisi GRK.”

Teknologi carbon capture juga sangat mahal, sehingga perusahaan atau industri selain migas enggan menggunakannya.

“Di seluruh dunia, implementasinya kecil sekali, 70 persen lebih hanyalah sektor migas, dari dan untuk migas. Untuk diaplikasi di sektor industri lain perlu biaya sangat besar, 100 Dollar per-ton CO2,” ungkap Putra.

Menurutnya, penangkapan karbon yang dihasilkan dari proses produksi perusahaan itu sendiri berada pada tingkatan paling bawah, dibandingkan penangkapan karbon dari alam atau sumber di luar produksinya sendiri.

“Praktik penangkapan karbon di luar migas, masih belum ada contohnya di Indonesia. Hanya sedikit yang dilakukan di dunia,” paparnya.

 

Exit mobile version