Mongabay.co.id

Kajian Sebut Kekeringan Munculkan Multi Risiko bagi Anak

 

 

 

 

 

 

Kajian Save the Children Indonesia soal dampak kekeringan memperlihatkan, kelangkaan air, kerawanan pangan memperburuk masalah kesehatan, gangguan pada pendidikan serta mengancam kehidupan anak-anak.

Penelitian yang dilakukan pada tiga kabupaten di Lombok Barat, Sumba Timur dan Kupang ini berfokus pada dampak dan langkah kesiapsiagaan segera dalam menghadapi kekeringan di Indonesia.

Tata Sudrajat, Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media – Save the Children Indonesia mengatakan,  banyak anak di daerah terdampak mengalami infeksi saluran pernapasan akut selama kekeringan berkepanjangan dan menyebabkan mereka tak dapat masuk sekolah.

“Belum lagi, kerawanan pangan mengancam berkontribusi pada angka prevelansi stunting yang tinggi dan risiko angka perkawinan anak meningkat karena situasi sulit ini,” katanya melalui keterangan tertulis Desember lalu.

Dia katakan, di Lombok Barat, sejak Juli 2023,  debit air minum bersih turun dari 100 liter per detik ke 30 liter per detik. Kekeringan ini terjadi lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi kekeringan, ditandai kelangkaan air dan perubahan lingkungan secara langsung memengaruhi ketersediaan sumber daya pangan dan air.

Kelangkaan ini, katanya,  dapat berkontribusi pada kerawanan pangan dan kurangnya keragaman pangan, yang akhirnya memengaruhi asupan gizi kelompok rentan, terutama anak-anak di bawah lima tahun. Selain itu, katanya, prevalensi stunting di Lombok Barat tetap tinggi hingga 2023, mencapai 13,63%.

“Di Sumba Timur, masyarakat harus melakukan perjalanan 1,5-3 km ke mata air setiap pukul 5.00 pagi, tidak jarang anak-anak juga dilibatkan dalam pengambilan air,” katanya.

Di Kupang, air sumur bor di beberapa titik mengalami penurunan signifikan, dan menganggu distribusi air ke masyarakat termasuk ke sawah. Tak jarang,  katanya, dari masyarakat juga harus membeli air di desa-desa terdekat.

Situasi sulit ini, katanya,  menyebabkan peningkatan stres dan tekanan emosional dalam keluarga karena intensifikasi persaingan untuk sumber daya yang langka seperti air. Keadaan ini dapat menyebabkan konflik rumah tangga yang berujung kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.

 

Petugas medis memberikan bantuan kepada anak-anak yang alami gangguan pernapasan karena kabut asap kebakaran hutan dan lahan di Jambi.  Saat musim kemarau, terjadi kekeringan dan kebakaran hutan, anak-anak juga jadi korban kabut asap. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, katanya,  telah menerima dan mengelola lebih 200 kasus dari Januari hingga Juli 2023, antara lain kasus kekerasan fisik dan seksual. Dalam beberapa kasus kesehatan mental orangtua dan anak juga harus jadi perhatian.

Laporan Global Save the Children “Generation Hope” 2022, memperkirakan, 774 juta anak di seluruh dunia—atau sepertiga dari populasi anak dunia—hidup dengan kemiskinan parah dan risiko iklim tinggi. Indonesia menempati peringkat kesembilan tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami kedua ancaman itu.

Tata mengatakan, anak-anak menanggung beban dampak krisis iklim tidak proporsional karena tumbuh dalam situasi mengancam. Anak-anak, katanya, juga memiliki faktor-faktor yang membuatnya lebih rentan secara fisik, sosial dan ekonomi.

Krisis iklim adalah krisis hak-hak anak. Untuk itu, katanya, pada 2024, mereka mendorong ada langkah aksi nyata untuk lebih banyak mendiskusikan perubahan iklim dari sisi anak-anak.

“Kita perlu mendorong kebijakan dan program membantu anak dan keluarga, terutama yang paling terdampak krisis iklim untuk dapat mengatasi kesulitan, beradaptasi serta bersikap dan berperilaku baru sesuai perubahan yang terjadi,” katanya.

Save the Children Indonesia juga menyuarakan antara lain perlu sinergitas program pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan khusus anak, terutama menjangkau anak dan keluarga yang paling terdampak krisis iklim.

Lembaga ini juga melibatkan anak-anak dan orang muda sebagai pemangku kepentingan setara dan penggagas perubahan untuk mengatasi krisis iklim dengan membangun platform ramah dan aman.

Kepentingan terbaik bagi anak, kata Tata,  harus dikedepankan dalam konteks RPJPN 2025–2045, RPJMN 2025–2029, dan program penghapusan kemiskinan ekstrem. “Juga dalam pendekatan adaptasi iklim yang berpusat pada anak.”

Anak-anak mengantri air bersih di Pulau Buru, Maluku. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

*****

 

Exit mobile version