Mongabay.co.id

Cerita Setyarti, Penggerak Sedekah Sampah dari Bali

 

 

 

 

 

Setyarti, membawa spirit agama untuk berbuat baik kepada semua, salah satunya lewat sedekah sampah.  Perempuan yang  lahir di Ngawi, kuliah di Surabaya, dan tinggal di Bali ini menggerakkan berbagai komunitas untuk menjaga dan merawat lingkungan, terutama lewat Lembaga Lingkungan Hidup Penanggulangan Bencana (LLHPB) Pimpinan Wilayah  Aisyiyah Bali.

Setyarti menjalin kerja sama dengan Plastic Bank mengatasi masalah plastik di Bali. Dia mengkoordinasi beberapa komunitas dan lembaga yang bisa terjangkau untuk melakukan pemilahan plastik, di rumah, sekolah, maupun tempat ibadah.

Plastik-plastik itu bukan dijual tetapi disedekahkan. Plastic merupakan  komunitas yang mengumpulkan plastik akan mengumpulkan sampah-sampah plastic itu lalu mendapatkan token yang bisa diuangkan. Plastic Bank punya aplikasi khusus untuk itu.

Uang yang diperoleh akan disalurkan kepada siswa kurang mampu, yatim piatu yang memerlukan uluran tangan.

Dengan konsep sedekah, ada kebersamaan dan kepedulian kepada sesama manusia.

“Di situlah konsep sedekah itu, ternyata sangat menggugah spirit teman-teman untuk berlomba-lomba mengumpulkan sampah plastik,” katanya saat ditemui Mongabay November lalu.

Tempat ibadah, lembaga pendidikan, majelis taklim, atau komunitas ibu-ibu menjadi sasaran Setyarti dalam menjalankan misi menjaga lingkungan, memilah plastik dan mengurangi penggunaan plastik.

Dia mengunjungi beberapa sekolah di Bali untuk bekerja sama, antara lain, SD Muhammadiyah 4, Muhammadiyah 3, SD Muhammadiyah 2, dan TK Aisyiyah Bustanul Athfal.

“Anak-anak ini sekarang kalau ada sampah, ada acara di rumah mereka, langsung ‘setop jangan dibuang sampah, akan saya bawa ke sekolah.”

Begitu pula di mesjid atau tempat ibadah, sudah tersedia tempat sampah plastik. Para jemaah diarahkan untuk menyedekahkan sampah plastik di sana. Sedekah, katanya,  tidak harus berbentuk uang bisa sampah plastik. Setidaknya,  tidak kurang dari tiga mesjid telah menerapkan sedekah sampah.

“Mimpi saya adalah bagaimana musala se Bali bisa menjalankan program ini karena bagus,” kata Setyarti.

 

Tempat pemilahan sampah. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Ibu dua anak itu bilang,  tidak akan pernah menyerah memperjuangkan lingkungan yang baik. Menurut dia, itulah bentuk ‘jihad’ atau perjuangan untuk lingkungan dan sesama.

Dia menamai gerakan ini sebagai eco-jihad. Istilah yang dia dapatkan dari sejawatnya, Hening Purwati Parlan. Baginya, jihad tidak harus dengan memegang senjata dan berperang. Berjuang untuk kelestarian alam dan kesejahteraan sesama manusia juga jihad. Jihad dalam memerangi kerusakan alam.

Eco-jihad di sini kita benar-benar berjuang dengan mati-matian bagaimana menjaga (gaya hidup) ramah lingkungan.”

Kendati Arti, panggilan akrabnya, masuk lewat semangat agama dalam melakukan gerakan, dia tak membedakan agama. Dari komunitas agama apapun, dia tetap memperlakukan sama, apalagi masalah lingkungan adalah masalah bersama. Dia yakin, di agama lain juga punya konsep sama seperti sedekah meski beda nama atau istilah.

SMP 13,  menjadi salah satu contoh sedekah sampah. Sekolah itu mayoritas siswa beragama Hindu, tetapi bagi Arti tak masalah.

Arti punya posisi penting di beberapa organisasi. Selain menjabat Ketua LLHPB ‘Aisyiyah Bali, juga Kepala Bidang Lingkungan Hidup dan Kesejahteraan Sosial Perempuan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Bali. Lalu, Ketua Majelis Taklim Ibu-ibu Dalung Permai, dan aktif di Dewan Masjid Indonesia serta beberapa organisasi lain.

Arti bilang,  ini baik karena makin mudah mengkoordinasikan gerakan-gerakan lingkungan dan saling bekerja sama antar lembaga, baik organisasi sipil maupun pemerintah.

 

 

 

Selain gerakan sedekah sampah, Arti juga membuat gerakan Seribu Tumbler dan menjalankan program 3R (reduce, reuse, recycle). Program 3R ini sudah dia kerjakan sejak 2015. Ketika ada acara apapun di organisasi peserta diminta membawa tumbler supaya tidak ada sampah plastik. Juga membuat program komposting dari rumah bagi keluarga di Bali.

Pemerintah Bali, katanya,  sangat mendukung program ini dengan mengeluarkan Pergub Nomor 97/2018.

“Intinya kita harus mengurangi timbunan sampah sekali pakai. Alhamdulillah,  sampai sekarang sudah berjalan. Jadi,  kita pilah sampah dari rumah, sampah organik masuknya di komposter.”

Arti sadar,  tidak dapat berjalan sendiri tetapi perlu banyak koneksi agar gerakan makin masif dan bisa terus ditularkan dari satu orang ke orang lain.

Orang-orang yang ikut bergerak, katanya, sebagian perlu dapat apresiasi. Terkadang, ibu-ibu ikut menyedekahkan sampah plastik dapat apresiasi minyak goreng atau barang-barang lain.

Arti ingin terus membangun kesadaran masyarakat peduli lingkungan kendati ada berbagai tantangan. Salah satu tantangan, terkadang dari orang-orang terdekat yang sinis terhadap gerakan-gerakan yang dia lakukan.

Saat dia baru memulai gerakan sedekah sampah di mesjid, ada orang sinis.  “Sampah kok dibawa ke mesjid.”

 

Sampah di sekolah. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Dia tidak menghiraukan anggapan-anggapan sinis itu dengan terus bergerak. Dia tetap dari organisasi ke organisasi atau lembaga ke lembaga menjajakan konsep sedekah sampah.

Arti tidak akan menyerah meski tak langsung diterima. Berjalannya waktu, orang-orang yang dulu sinis kini berbalik ikut dalam gerakan.

“Sampah hanyalah sampah tak bermakna ketika … tidak dikelola dengan bijaksana, sedekah tidak harus berupa uang, bisa berupa sampah dan senyuman manis,” katanya tersenyum.

Debora Natalia Aritonang, Manajer Pemasaran dan Komunikasi Plastic Bank, bilang,  para pengumpul plastik atau pemulung akan mendapatkan tambahan keuntungan 30% dari hasil penjualan sampah plastik mereka lewat aplikasi Plastic Bank.

Ketika mereka input data sampah plastik, akan dapat insentif tambahan berupa token. Token itu bisa diuangkan hingga menambah keuntungan.

“Kerja sama dengan Plastik Bank, jadi member kita, mereka pakai aplikasi, mereka terbantu secara ekonomi dan secara sosial,” katanya ditemui di Bali,  November lalu.

Plastik Bank bekerja sama dengan komunitas pemulung dan pengepul. Selain menjual plastik mereka lewat aplikasi Plastic Bank, para komunitas pemulung dan pengepul ini diberi BPJS Kesehatan, BPJS Tenaga Kerja dan voucher sembako.

“Di Plastic Bank itu sebenarnya nama gerakannya social recycling, jadi gak hanya recycle tapi ada sosialnya,” kata Debora.

Menurut dia, para pemulung dan pengepul inilah yang sebenarnya pejuang lingkungan, memilih dan memilah plastik. Hingga kerja-kerja mereka perlu diberi penghargaan setara, tak dipandang sebelah mata.

Pengepul, katanya,  jadi mitra Plastic Bank mengarahkan mereka untuk menjual sampah plastik ke prosesor atau pabrik daur ulang. Oleh pabrik daur ulang plastik diolah kembali jadi bijih plastik.

“Kita sebenarnya membangun supply change-nya.”

Data sampah plastik yang masuk ke aplikasi Plastic Bank Bali 2019–27 Oktober 2023 sebesar  55.564.147 kg.

 

Sampah plastik di sekolah. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Nani Zulminarni, Direktur Regional Asia Tenggara Ashoka, mengatakan, data perspektif gerakan perempuan, gerakan Setyarti inovatif. Setyarti tak memulai gerakan melalui diskursus tetapi dengan gerakan riil.

Narasi sedekah sampah Setyarti, selain mempunyai nilai spiritual, juga nilai sosial. Sampah yang awalnya tidak dianggap tak gerguna jadi bernilai bagi sesama.

Menurut Nani, kemampuan Setyarti mengintegrasikan nilai spiritualitas agama dengan gerakan lingkungan sangat baik.

“Kemudian penggunaannya, … menggunakan hasil dari sedekah itu juga untuk sesuatu yang kongkret, yaitu, pendidikan. Sesuatu yang konkret dan jangka panjang,” katanya 22 November lalu.

Bila ada tantangan dalam suatu gerakan, katanya, itu sesuatu yang biasa dan pasti ada, tinggal memberikan bukti nyata kepada masyarakat dan konsisten.

Gerakan lingkungan, menanggulangi sampah, adalah tugas bersama, bukan perempuan atau laki. “Pendekatan terhadap keluarga perlu dilakukan. Tugas-tugas rumah tangga dibicarakan dan dilakukan bersama.”

Selain itu, kata Nani, membangun kesetaraan dalam masyarakat. Menangani sampah adalah tugas semua orang, dari status sosial apapun.

“Itu bisa penyadaran tentang konsumerisme, bisa tentang kapitalisme, kemandirian pangan, bisa perbincangan solidaritas terhadap tetangga dan sebagainya,” kata Nani.

 

*Liputan ini didukung program Spiritual Changemaker Initiatives dari Ashoka

 

 

*********

 

Exit mobile version