Mongabay.co.id

Hidup di Pesisir Lombok Semakin Mengkhawatirkan

 

Surya Handayani terlihat santai menggoreng di beranda rumahnya. Beberapa orang lalu lalang di teras yang penuh dengan bahan makanan itu. Keluarganya akan menggelar pesta pekan itu.

Sekilas kegiatan memasak ini terlihat mewah. Dengan latar laut biru yang persis berada di depan teras rumahnya. Laut seakan tidak berjarak dari tempatnya memasak itu. Pengap karena atap seng rumahnya berkurang karena hembusan angin dari laut.

Tapi hembusan angin itu bisa menjadi menakutkan apabila semakin kencang, disertai dengan hujan. Air laut yang tenang pada siang hari, bisa menjadi petaka pada malam hari. “Air laut naik sampai dalam rumah kalau musim angin nanti,” katanya pada Mongabay saat ditemui Kamis (9/11/2023).

Rumahnya berada di Kampung Pengawisan, Desa Sekotong Barat, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kampung ini tak jauh dari Pantai Elak-Elak yang terkenal dengan pasir putihnya. Di bagian bukit di atas kampung ini, sudah siap-siap dibangun fasilitas pariwisata. Sekotong Barat adalah salah satu desa pesisir yang mulai menggeliat pariwisatanya. Keindahannya dilirik investor

Tapi bahaya selalu mengancam. Terutama pada akhir tahun dan pada awal-awal tahun. Saat musim hujan disertai angin kencang. Ombak mengganas, masuk hingga ke dalam perkampungan.

baca : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

 

Batu berserakan sisa tanggul yang rusak di Pengawisan, Sekotong Barat, Kabupaten Lombok Barat. Warga khawatir batu ini bisa menerjang rumah mereka ketika ombak ganas. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kali ini ketakutan Surya Handayani dan suaminya Ulul Azmi adalah gelombang yang tanpa penghalang. Rumah mereka retak oleh gempa Lombok pada 2018 silam. Belum ada perbaikan sampai saat ini.

Di saat yang sama, tanggul yang melindungi kampung Pengawisan itu rusak oleh gempa dan gelombang pasang. Hampir semua tanggul itu ambruk, termasuk di depan rumahnya. Jika ombak pasang cukup tinggi, air akan mudah masuk ke dalam rumah.

“Kalau keras airnya itu bikin takut, terpaksa nanti pindah ke rumah keluarga,” katanya.

Ada puluhan rumah di Kampung Pengawisan ini. Mereka umumnya menjadi nelayan tangkap, peternak, dan berladang. Rumah warga yang paling pinggir hanya berjarak 5 meter dari air laut. Ketika pasang, air laut masuk di teras rumah mereka. Jika pasang tinggi, sebagian rumah mereka terendam. Air laut masuk hingga ke tengah kampung.

“Sudah dua tahun ini, rumah rusak total,” kata Junaidi, warga lainnya yang rumahnya berada di paling pinggir pantai.

Sisa pondasi tanggul itu masih terlihat. Batu bekas tanggul sudah berserakan. Batu-batu itu yang menjadi kekhawatiran baru. Kekuatan ombak bisa mendorong bebatuan itu hingga ke perkampungan. Menabrak rumah warga yang berada di paling pinggir. Saat yang sama air laut menggerus bagian pondasi, membentuk lubang.

“Rumah yang retak ini karena kondisi bawahnya sudah keropos air laut,” katanya menunjuk rumah yang terlihat retak.

baca juga : Air Semakin Dekat, Ikan Semakin Jauh : Perubahan Iklim dan Kerentanan Pangan Masyarakat Pesisir Lombok (1)

 

Tanggul di Pengawisan, Sekotong Barat, Kabupaten Lombok Barat sudah rusak akibat rob. Kini setiap rob air laut masuk ke dalam rumah warga. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Beberapa waktu lalu perwakilan dari pemerintah datang ke Kampung Pengawisan. Mereka melihat kondisi tanggul yang rusak, mendata rumah warga yang paling rentan terkena gelombang pasang. Warga menyampaikan aspirasi agar tanggul yang rusak itu diperbaiki. Bagi rumah warga yang sudah terancam direlokasi ke tempat lain. Pemilik rumah khawatir, saat mereka tidur gelombang besar yang masuk bisa merobohkan rumah mereka yang sudah retak.

“Harapan kita pertama bisa diperbaiki penghalang ombak ini,” kata Simah, warga yang rumahnya dekat dengan air laut.

Di Kota Mataram, para korban rob pada Desember tahun 2022 lalu sudah mulai bisa bernafas lega. Sejak pertengahan tahun 2023, pemerintah sudah mulai menyiapkan lahan relokasi. Pada bulan Desember ini, rumah tersebut hampir rampung 100 persen.

Husni adalah salah satu korban rob yang menerjang kampung nelayan Mapak Indah, Kelurahan Jempong Baru, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram pada tanggal 25-26 Desember 2022. Rumahnya hancur. Tembok depan hanyut. Sejak saat itu dia mengungsi di rumah keluarga. Sisa rumahnya pun tidak aman ditempati. Temboknya retak, atap hampir jatuh.

Aspirasi warga Mapak Indah agar direlokasi terwujud berkat kerja sama pemerintah Kota Mataram dan pemerintah Provinsi NTB. Lahan yang digunakan untuk lokasi relokasi berada di dekat balai uji kendaraan. Tidak jauh dari tempat tinggal semula.

Husni dan tetangganya Mashur yang berprofesi sebagai nelayan, bisa meneruskan pekerjaan mereka. Perahu mereka ditambatkan di halaman rumah mereka yang rusak. Jalan 10 menit dari lokasi rumah baru, kehidupan warga akan kembali normal. Mereka bisa mencari nafkah di laut.

“Sejak awal kami sangat setuju dipindah,” katanya.

baca juga : Air Semakin Dekat, Ikan Semakin Jauh : Dampak Perubahan Iklim di Pesisir Lombok (2)

 

Perahu nelayan di Mapak Indah, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram parkir di dalam rumah yang sudah hancur akibat rob Desember 2022 lalu. Kini masyarakat sudah siap menempati rumah relokasi. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Mitigasi Bencana

Kehidupan warga di pesisir Lombok sangat rentan dengan bencana rob. Kehilangan harta benda akibat rumah yang roboh dan isinya yang hanyut menjadi makanan sehari-hari warga pesisir yang rentan.

Hairul Anwar dari LSM Konsepsi NTB yang selama beberapa tahun pendampingan mitigasi bencana mengatakan, kehidupan warga pesisir semakin sulit. Kondisi cuaca yang tidak menentu, rob yang semakin sering terjadi, dan saat yang sama semakin jauh melaut. Kondisi ini semakin membuat keluarga nelayan rentan. Mereka bisa kehilangan sumber pendapatan. Saat yang sama mereka kehilangan tempat tinggal.

“Kejadian di pesisir Ampenan dan Sekarbela Kota Mataram sudah belasan rumah hancur. Begitu juga dengan pesisir Pemenang Barat, Lombok Utara sudah banyak warga terpaksa pindah karena rob,” kata Hairul awal Desember lalu.

Desa Pemenang Barat dan Desa Malaka, Kabupaten Lombok Utara merupakan dua desa pesisir yang rentan dengan bencana dari laut. Dari dua desa ini, kata Hairul, Konsepsi mencoba menyusun kesepakatan bersama untuk mengatasi bencana.

Dua desa bertetangga ini dulunya satu desa, kemudian mekar menjadi dua desa. Kerja sama dua desa ini penting mengingat ancaman bencana mereka sama. Kondisi geografis berbatasan dengan laut, saat yang sama di bagian daratan dikelilingi perbukitan yang rawan longsor.

“Kerja sama untuk mitigasi dan penanggulangan bencana ditetapkan melalui peraturan desa bersama sejak tahun 2021,” katanya.

baca juga : Potret Pemukiman Terapung Suku Bajo Torosiaje, Adaptif Perubahan Iklim?

 

Sebagian besar warga Telok Kombal, Desa Pemenang Barat, Kabupaten Lombok Utara sudah pindah karena kampung mereka terendam rob setiap tahun. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kesepakatan bersama itu terbukti menjadi perekat kedua desa. Pada saat terjadi longsor pada tahun 2022 lalu, tim siaga bencana desa (TSBD) dari kedua desa saling membantu satu sama lain. Bantuan disalurkan bersama oleh kedua TSBD. Begitu juga proses evakuasi warga yang menjadi korban dilakukan bersama kedua TSBD.

“Yang paling penting, kedua TSBD ini bersama-sama dalam menyusun rencana aksi pengurangan risiko bencana,” katanya.

Praktik di dua desa ini, kata Hairul, bisa dicoba di desa-desa lainnya. Desa-desa yang bertetangga, apalagi yang jauh dari akses pusat pemerintahan bisa bekolaborasi dalam menyusun aksi pengurangan risiko bencana. Bersama-sama memetakan potensi bencana, termasuk juga aksi tanggap ketika terjadi bencana.

Kerja sama antardesa ini bisa meminimalisir dampak terhadap korban. Pengalaman selama ini, ketika terjadi bencana di desa-desa yang jauh dari pusat pemerintahan mereka butuh waktu untuk mendapatkan pertolongan. Bantuan logistik terhambat.

Seperti pengalaman di Desa Malaka yang akses jalan utama tertimbun longsor. Begitu juga dengan desa-desa di bagian barat daya Lombok, akses bantuan dari pusat pemerintahan cukup jauh. Apabila terjadi longsor menutup jalan, perjalanan semakin lama.

“Harus diorganisir, karena kalau masih jalan sendiri-sendiri juga tidak bisa,” pungkas Hairul. (***)

 

Exit mobile version