Mongabay.co.id

Kala Pesisir Morodemak Alami Banjir Rob, Masyarakat Was-was Kabar Mau Ada Tambang Pasir

 

 

 

 

 

Sri sudah tinggal 40 tahun di pesisir Demak.  Perubahan alam di Pesisir Morodemak, Kecamatan Bonang, dia saksikan dari waktu ke waktu. Kini, jalanan bahkan pemukiman warga tak lepas dari banjir rob. Dulu, banjir belum memasuki pemukiman, genangi jalan dan menyulitkan masyarakat, rob mulai terasa sekitar 10 tahun lalu.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Sri membuka warung makan persis di samping TPI Morodemak,  depan muara sungai. Dia bergabung dengan Puspita Bahari, komunitas pemberdayaan perempuan di Pesisir Morodemak.

Kalau air pasang sedang tinggi, warung Sri kebanjiran. Demi tetap berjualan, dia gunakan sepatu boots plastik untuk melindungi kaki agar tetap kering di tengah banjir rob tetapi tetap saja tidak membantu banyak, kakinya terendam.

Baginya, hidup di pesisir, tak ubahnya mengontrak rumah. Dia dan keluarga harus pandai mengatur uang untuk meninggikan rumah.

Setidaknya, setiap lima tahun sekali harus meninggikan lantai rumah. Biaya tak murah, satu rit batu padas ongkos memasukkan ke rumah setidaknya Rp1 juta.

Setiap rumah perlu batu padas berbeda, tetapi rata-rata menghabiskan sekitar Rp10 juta untuk meninggikan lantai.

“Seperti rumah kontrak, beli padas terus setiap lima tahun. Setiap lima tahun (harus) meninggikan (rumah),” kata Sri yang tinggal di Desa Purworejo, Bonang, Demak ini.

Serupa dialami Hidayah, warga Desa Morodemak juga anggota Puspita Bahari.

Keseharian Hidayah bikin rempeyek udang, krupuk ikan, dan nasi. Harinya mulai sebelum subuh dengan menanak nasi untuk bahan kerupuk. Setelah itu, dia pergi ke TPI Morodemak untuk mencari udang sebagai bahan bikin rempeyek.

 

Baca juga: Banjir Rob di Pesisir Demak, Siswa Belajar dengan Kaki Terendam

Hidayah menggoreng rempeyek udang untuk membantu memenuhi biaya hidup sehari-hari. Foto: Alisa Qottrun/ Mongabay Indonesia

 

Dalam sehari, Hidayah bisa bikin 3-4 kg dengan harga jual Rp800 per buah. Uang berbagai olahan hasil laut ditabung untuk meninggikan rumah dalam beberapa tahun ke depan.

Dia pasrah dengan keadaan lahan sering terendam banjir rob. Hidayah berusaha ‘beradaptasi’ dengan banjir rob. Kadang makan sambil kebanjiran, dia tetap bertahan di pesisir.

Pemerintah ada bantuan peninggian jalan secara berkala dan pemberian bantuan bedah rumah. Cara itu, katanya,  bukan solusi mengatasi banjir rob.

“Pemerintah hanya meninggikan jalan, tidak ada solusi konkret,” kata Hidayah, sambil membalikkan adonan rempeyek.

Penuh tantangan bagi masyarakat yang hidup di Pesisir Morodemak,  mereka terdampak banjir rob, terjebak dalam lingkaran kemiskinan, hasil tangkapan ikan berkurang, dan masalah lain.

Aji, warga Desa Purworejo memilih beralih dari nelayan jadi penjual cat dan alat-alat nelayan. Dulu, saat jadi nelayan pendapatan Rp4 juta setiap bulan. Sekarang, katanya,  untuk dapatkan Rp2 juta saja sulit.

Masalah lain nelayan Morodemak adalah pendangkalan perairan di lak, jalur keluar masuk perahu.

“Di muara itu terjadi pendangkalan. Di sungai juga pendangkalan. Pukul 11 siang, sudah terlihat semua lumpur. Harus dikeruk. Harus dinormalisasi,” kata Aji.

Denny Nugroho Sugianto, dosen Oseanografi Universitas Diponegoro mengatakan,  penyebab utama banjir rob di Morodemak karena penurunan muka tanah mencapai 15 cm per tahun. Penurunan muka tanah, katanya, dapat dipengaruhi oleh pengambilan air tanah secara besar-besaran, struktur geologi tanah berupa tanah aluvial, dan beban bangunan besar termasuk kawasan industri.  Untuk itu, penyelesaian masalah-masalah di kawasan pesisir harus mulai dari akar penyebab masalahnya.

“Fungsi tata ruang menjadi penting ketika mengatur wilayah pesisir. Itu dulu yang harus diselesaikan,” kata Denny.

 

Baca juga: Kabar Rencana Penambangan Pasir Laut Khawatirkan Warga Pesisir Demak

Aktivitas nelayan di sekitar zona litoral (penduduk setempat menyebut pager). Foto: Alisa Qottrun/Mongabay Indonesia

 

Tambang pasir?

Bayang-bayang tenggelam terus menghantui masyarakat di Pesisir Morodemak. Belum usai satu masalah, kini was-was mereka bertambah dengan wacana tambang pasir laut di Morodemak.

Awalnya, informasi tambang pasir laut melalui postingan akun Instagram @demakhariini. Pada November 2022, seorang warga di Pesisir Morodemak dimintai tolong mengantar ke Pager, untuk ambil pasir laut.

Pager ini sebutan warga Pesisir Morodemak untuk zona litoral, wilayah yang terendam saat pasang dan mengering saat surut—untuk mengambil sampel pasir laut. Rencananya, pasir laut yang ditambang di Pesisir Morodemak untuk proyek tanggul laut di Semarang.

Demak mulai mengalami abrasi besar-besaran pada 1997 di Kecamatan Sayung. Abrasi menenggelamkan beberapa dukuh di Desa Bedono, yakni, Dukuh Tambaksari, Mondoliko, Senik, dan Bedono.

Beberapa desa tenggelam karena banjir rob dipicu pengurukan besar-besaran di Pelabuhan Tanjung Emas.

“Warga tahu penyebab banjir besar menenggelamkan desa (Bedono) karena ada pengerukan besar-besaran di Pelabuhan Tanjung Emas,” kata Masnuah, Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI).

Pasir laut di zona litoral itu jadi pelindung kawasan penduduk. Pasir jadi pemecah gelombang supaya banjir rob ke pemukiman tak ganas.

Warga khawatir, tak ada tambang pasir saja, banjir rob sudah masuk sampai ketinggian lutut bahkan paha orang dewasa.  Apalagi, kalau sampai ada tambang pasir, pesisir Morodemak makin cepat tenggelam.

“Masyarakat sini kena dampak (penambangan pasir laut). Sebenarnya, pasir laut di bibir pantai itu jadi penyelamat kita, sebagai pemecah gelombang,” kata Aji.

DPRD Demak belum ambil langkah apapun karena penambangan pasir laut baru wacana.

“Kami (DPRD Demak) akan tetap berada dengan masyarakat. Ketika penambangan itu akan merugikan lingkungan, kami pasti akan menolak,” kata Fahrudin Bisri Slamet, Ketua DPRD  Demak.

 

Kapal nelayan membongkar hasil tangkapan laut di Dermaga Morodemak Foto: Alisa Qottrun/ Mongabay Indonesia

 

Walhi menyebut, pertambangan pasir laut berdampak pada kerusakan ekosistem dan kehidupan masyarakat. Tambang pasir laut membuat air jadi keruh, ketinggian dan arus ombak berubah drastis, aktivitas kapal merusak terumbu karang, serta kehancuran ekosistem laut.

Tambang pasir laut juga mengubah arus ombak yang berpotensi menimbulkan kecelakaan bagi nelayan, anak-anak putus sekolah karena tak ada hasil tangkapan laut, dan ketakutan dampak abrasi.

Aktivitas penambangan pasir laut di Kepulauan Seribu, Jakarta, misal,  menenggelamkan sekitar enam pulau kecil. Di Lombok Timur, NTB, penambangan pasir laut memaksa nelayan melaut lebih jauh ke perairan Sumba.

Denny mengatakan,  tambang pasir laut akan memperparah kerusakan di pesisir pantai.

Pasir, katanya,  jadi salah atu tembok pertama pelindung pantai dan daratan sekitar. Kalau pasir hilang, katanya,  gelombang akan makin besar. Jangkauan air laut masuk ke daratan juga makin besar.

“Dampak dari penambangan pasir cukup serius, terutama di pantai. Sedimen jadi salah satu penyeimbang dan peredam gelombang laut di pantai,” kata Denny.

Meskipun penambangan pasir masih wacana, untuk mencegah dan berjaga-jaga, LBH Semarang bersama masyarakat bersepakat untuk pengawasan di lokasi yang diduga akan jadi lokasi tambang.

Sistemnya, mirip dengan petugas ronda. Kalau ada aktivitas mencurigakan, masyarakat akan laporkan ke LBH Semarang.

“Jika ada aktivitas mencurigakan, biasa masyarakat akan langsung laporan atau tanya. Kita langsung kumpul. Di sana tidak boleh ada penambangan (pasir laut),” kata Cornel Gea, dari LBH Semarang.

 

Kondisi Jalan Raya Demak-Bonang sebelum diuruk dengan tanah padas. Setiap hari jalan tersebut terendam banjir rob. Foto: Alisa Qottrun/MOngabay Indonesia

 

********

 

Exit mobile version