Mongabay.co.id

Bandar Bakau Dumai, dari Bank Mangrove, Pusat Edukasi sampai Sumber Ekonomi Masyarakat

 

 

Dua mahasiswi Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, membentang tali diantara mangrove membentuk persegi empat. Tanda batas serupa dibuat pada tiga lokasi: dekat laut, sekitar pondok dan depan gerbang jalan utama. Semua dalam hutan mangrove Bandar Bakau Dumai. Tiap pembatas yang disebut plot itu berukuran 10×10 meter.

Saniyyah Okta, sedang bikin penelitian untuk tugas akhir kuliah.

Nia, memilih Bandar Bakau Dumai sebagai lokasi penelitian atas rekomendasi dosen. Hutan mangrove di Jalan Nelayan Laut Ujung, Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat, itu tumbuh dengan sejarah panjang.

Masa orde baru, hutan mangrove itu hampir gundul karena ditebang untuk keperluan domestik dan industri. Darwis Mohd Saleh, warga Dumai Barat, ketika pulang dari perantauan awal reformasi, bertekad memulihkan kembali situs budaya Dumai ini.

Bakau, satu jenis mangrove, lekat dengan sejarah Kota Dumai. Masyarakat di sana tak asing dengan cerita legenda Putri Tujuh. Sepenggal dongeng ini menyebut, buah bakau menimpa pasukan Pangeran Empang Kuala ketika bertempur melawan pasukan Cik Sima, Ratu Kerajaan Seri Bunga Tanjung.

Darwis terlebih dahulu meminta petuah dari sejumlah tokoh masyarakat dan tetua adat sembelum mewujudkan keinginan ini.

Dia kumpulkan kawan-kawan dan bentuk Komunitas Pecinta Alam Bahari (PAB). Mereka awali dengan berenang dari Selat Pulau Rupat, Bengkalis. Kemudian diresmikan dengan kenduri besar.

Masalahnya, Darwis harus berebut kawasan dengan perusahaan negara PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I yang hendak perluas dermaga. Berkat kegigihan dan konsistensi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akhirnya menetapkan areal itu jadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK 903/2016 tentang kawasan hutan Riau.

Sebelumnya, lokasi itu bukan kawasan hutan alias areal pengunaan lain. Pelindo merasa punya angin ketika berupaya menyingkirkan Darwis dengan ragam cara. Mulai tawaran ganti rugi hingga teror yang berujung pada penangkapan.

Baca juga : Potret Kehidupan Suku Duano Kala Hutan Mangrove Terkikis

 

Bandar Bakau Dumai jadi tujuan ragam penelitian. Ekologi hingga sosial. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia.

 

Usaha Darwis, tidak sia-sia. Lebih dua dekade, Bandar Bakau dikunjungi banyak orang, komunitas hingga organisasi dari berbagai latar belakang. Salah satunya menjadi pusat penelitian.

Selain Nia, baru-baru ini, mahasiswa Universitas Riau, Karin Aisya, juga habiskan waktu di sana untuk tugas akhir.

Karin hendak menghitung potensi karbon yang tersimpan dalam Bandar Bakau Dumai.

Hutan mangrove, katanya,  menyimpan karbon tertinggi, selain padang lamun dan hutan rawa gambut.

Karin pilih Bandar Bakau Dumai, karena kawasan hutan itu sudah lama diperjuangkan Darwis. Hutan mangrove itu juga menghadapi tekanan lingkungan sekitar, seperti, pembangunan kawasan industri dan pelabuhan, yang dapat menurunkan fungsi ekologis hutan bandar bakau ini.

Darwis bilang, sudah tak terhitung jumlah penelitian di Bandar Bakau Dumai. Tidak hanya mahasiswa, akademisi juga meriset berbagai potensi sumber daya alam, sosial hingga ekonomi yang tumbuh dalam kawasan mangrove ini.

Aras Mulyadi, Rektor Universitas Riau 2014-2022 juga meneliti di Bandar Bakau Dumai soal aspek ekologi, lingkungan, kelembagaan, sosial dan ekonomi.

Beberapa kegiatan pengabdian kepada masyarakat dan penyuluhan juga banyak dilakukan di sana. Termasuk memimpin praktikum mahasiswa sarjana hingga doktor bidang ilmu kelautan dan lingkungan.

“Kepada mahasiswa diberikan materi pengenalan keanekaragaman hayati atau biodiversiti dan lingkungan serta best practices pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan,” kata Aras lewat keterangan tertulis melalui WhtasApp.

Baca juga : Upaya Komunitas Andespin Pulihkan Mangrove di Sumatera Barat

 

Darwis Mohd Saleh, pengelola Bandar Bakau Dumai. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia.

 

Bank mangrove

Berharap kawasan mangrove pulih dan tumbuh rapat saja tidak cukup. Darwis mendirikan bank mangrove untuk menjaga ketersediaan bibit. Aksi ini sejak 2010, sekaligus menopang pemulihan Bandar Bakau, dan Dumai umumnya.

“Bank mangrove itu proses persemaian bibit mangrove mulai propagul, sistem kacang-kacangan dan biji-bijian. Bank mangrove untuk sertifikasi pengadaan bibit yang selama ini salah dalam menekan deforestasi hutan mangrove di Dumai,” katanya.

Bank mangrove menandai nasabah yang sukarela mengisi lumpur dalam polybag untuk wadah pembibitan. Selanjutnya, tiap-tiap polybag yang terisi dihitung sebagai tabungan. Jumlahnya dibukukan berdasarkan nama nasabah. Sewaktu-waktu nasabah dapat mengambil bibit secara cuma-cuma alias gratis bila diperlukan untuk aksi penanaman.

Ada juga nasabah menabung dengan uang. Pengurus bank mangrove akan menggunakan dana itu buat beli peralatan dan perlengkapan pembibitan termasuk operasional terkait lainnya.

“Kebanyakan nasabah lebih suka menikmati sensasi main lumpur,” kata Darwis.

Saat ini, putra bungsu Darwis, Gelombang Reforman, tiap hari, rutin mengisi lumpur ke dalam polybag. Meski tak ada nasabah datang, yang biasa dari pengunjung Bandar Bakau Dumai. Kebanyakan nasabah berasal dari siswa sekolah atau komunitas tertentu. Seiring waktu, dunia usaha juga ikut menabung.

Ada beberapa nasabah buat Darwis terkesan. Seorang pelajar dari Bali, datang bersama ibunya ke Bandar Bakau Dumai menyumbang Rp300.000. Ambil foto, video dan wawancara singkat. Lalu diunggah ke media sosial.

Gara-gara itu, beberapa bule hubungi Darwis dan turut mengirim uang. Ada pula yang mengirim indukan kambing dan bumbu pecal.

Darwis bilang, tak terhitung nasabah yang menabung di bank mangrove tetapi belum pernah ketemu. Cara dia merawat hubungan itu, membagikan foto kenangan yang selalu menjadi pengingat di laman Facebook. Dia selalu mendokumentasi tiap bantuan yang mendukung pemulihan Bandar Bakau Dumai.

Bank mangrove menjadi sumber pemasukan Darwis dan Kelompok Tani Hutan (KTH). Bibit mangrove dijual Rp6.000 per polybag. Hasil penjualan dibagi untuk anggota kelompok, pengadaan polybag baru, kas kelompok tani dan bank mangrove itu sendiri. Sedikit sisa untuk konsumsi dan operasional harian.

“Bank mangrove satu upaya membangun ekonomi mandiri dalam operasional kelompok di bawah Pecinta Alam Bahari Club. Intinya menjadi pekerjaan sampingan bagi masyarakat yang hendak menabung lumpur. Memanfaatkan waktu senggang setelah melakukan pekerjaan utama,” kata Darwis.

Bank mangrove, kini, menjadi media pelatihan bagi masyarakat sekitar hingga luar daerah. Darwis dipanggil ke sejumlah daerah untuk beri ceramah dan berbagi pengalaman. Pengurus bank mangrove pun jadi penyuluh mandiri. Mulai dari pembibitan hingga teknik penanaman: pemilihan bibit dan lokasi tanam.

Awal Desember 2023, bank mangrove Bandar Bakau Dumai, setidaknya menyimpan 5.000 bibit. Sejak awal tahun, Darwis mencoba menanam dua jenis bibit mangrove sekaligus dalam satu polybag. Tujuannya, selain bekal rehabilitasi mangrove juga untuk pengayaan jenis.

Aras menyebut,  bank mangrove salah satu praktik terbaik konservasi dan rehabilitasi hutan di Bandar Bakau Dumai. Praktik lain, penanaman mangrove dan perlindungan fauna bakau.

Baca juga : Pangkal Babu: Upaya Jaga Mangrove dan Ancaman Hilangnya Pesisir Timur Sumatera

 

Aktivitas perempuan membatik dan buat kue dalam Bandar Bakau Dumai. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia.

 

Ekonomi perempuan

Hutan mangrove ini juga sumber ekonomi bagi perempuan. Dari ekosiwsata di hutan mangrove ini, berbagai peluang ekonomi muncul seperti usaha makanan, sampai batik motif mangrove. Ia jadi pekerjaan sampingan bagi perempuan sekitar ekowisata mangrove pesisir Dumai ini.

Rosnita, punya warung di rumah tetapi kerap terima pesanan kue, sejak Bandar Bakau jadi pusat kunjungan wisatawan. Tiap tamu yang datang, pasti memesan dua sampai tiga macam kue, seperti kue bangkit, bawang dan kacang. Ada juga kue semprong dan bolu.

“Sejak ada Bandar Bakau hampir tidak pernah sepi pesanan. Dalam satu bulan, ada saja tiga atau empat kali jadwal kunjungan. Sekali datang rombongan,” kata Rosnita, sambil mencetak lempengen tepung hasil adonan.

Darwis yang punya ide sumber ekonomi ini. Mulanya, beberapa warga hendak membuka kedai dalam kawasan Bandar Bakau Dumai. Dia menyaratkan harus makanan atau jajanan lokal.

Dari situ, dia menawarkan tiap pengunjung menikmati kuliner khas setempat, seperti, sambal mentah, lempeng sagu hingga panganan lain sesuai permintaan.

Rupanya ide itu berdampak positif. Darwis pun mendirikan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) skala mandiri. Disebut mandiri karena masih ditopang modal pribadi perempuan-perempuan yang terlibat di dalamnya. Mulai dari biaya pembelian bahan makanan hingga peralatan memasaknya.

Jumlah perempuan pelaku UMKM khusus kue di Bandar Bakau Dumai ada lima orang. Beda lagi kelompok pembatik. Kerajinan tangan ini dipimpin langsung Darwati, istri Darwis. Perempuan kelahiran Pekalangon, itu membatik dengan canting yang dia pesan langsung dari kampung halaman termasuk peralatan lain, seperti wajan, saringan, gawangan hingga zat pewarna.

Batik Bandar Bakau Dumai sudah dikenal. Ia menjadi buah tangan para istri pejabat yang datang atau pindah tugas dari kota itu. Kain-kain batik hasil kerja Darwati juga menggantung di berbagai pameran daerah hingga nasional. Ia turut memperkenalkan Bandar Bakau Dumai. Darwati pun sering keliling daerah beri pelatihan membatik.

“Menolong perekonomian keluarga,” kata Darwati.

Darwis juga promosi di laman Facebook Tuan Darwis Moh Saleh. Selain kuliner dan membatik, Bandar Bakau Dumai yang dikelola oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) juga membuat perabotan, seperti meja dari kayu-kayu bekas.

 

Baca juga : Agar Rehabilitasi Mangrove Tak Sekedar Menanam

 

Bandar Bakau Dumai, selain tempat penelitian juga wisata alam dan tempat bermain yang cocok buat menikmati udara segar. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia.

 

 

Sekolah alam

Darwis sempat menjadikan Bandar Bakau Dumai sebagai pusat pendidikan bagi anak-anak sekitar. Dia mendirikan sekolah alam dengan waktu belajar pada akhir pekan atau hari libur.

Tingkat sekolah ini dibagi berdasarkan status pendidikan formal anak-anak, mulai dasar hingga menengah atas. Tiap siswa cukup bayar Rp5.000 per pekan untuk mendapatkan materi dan praktik langsung.

Bandar Bakau memberi ilmu dan materi pelajaran pada siswa sekolah alam secara alami. Selain mengenal jenis-jenis mangrove, kawasan yang direhabilitasi itu juga rumah bagi satwa-satwa yang bergantungan dengan hutan mangrove dan menjadi kesatuan ekosistem.

Darwis bilang, selain menumbuhkan sistem sosial, Bandar Bakau yang dikelola dengan baik itu juga melahirkan hewan-hewan muloska seperti kerang-kerangan. Burung punai, gagak dan enggang juga sering didapati hinggap dan melintas di areal itu.

Ketika pasang besar atau gelombang mudah mendapat ikan sembilang. Kalau musim air pasang tenang biasa banyak ikan kitang dan udang putih. Darwis selalu pasang tajur atau rawai di sela-sela pohon mangrove. Umpannya, lintah laut juga dari hutan mangrove.

Sepanjang pengamatan Darwis, sudah terpantau empat kucing bakau dalam kawasan ini tetapi satu mati terlindas truk saat menyeberang jalan malam hari. Ada juga ayam kate atau ayam hutan dan ular. Kepiting bakau pun ada. Bahkan gamat atau biasa disebut timun laut juga kerap ditemukan. Begitu juga lebah.

“Bandar Bakau Dumai sebagai habitat flora dan fauna, baik yang hidup di perairan laut maupun daratan. Juga sebagai benteng ekologis bagi alam dalam mempertahankan diri dari bencana lingkungan pesisir,” kata Aras.

Aras menilai,  Bandar Bakau berperan sebagai eco edu park yang dikemas sebagai ekowisata pendidikan dan lingkungan. Selain pengenalan keanekaragaman hayati pesisir, di sini juga dapat didalami praktik terbaik pengelolaan dan rehabilitasi lingkungan yang diterapkan pengelola.

“Sekolah alam ini merupakan pendidikan informal yang memiliki kurikulum dan tenaga fasilitator. Mereka (pengajar) memberikan pendidikan dan pengetahuan tentang lingkungan pesisir pada peserta didik yang umumnya anak-anak nelayan dan masyarakat sekitar,” katanya.

 

Bank mangrove, pusat pembibitan untuk mendukung ketersediaan dan rehabilitasi mangrove di Dumai hingga luar daerah. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version