Mongabay.co.id

Asuh Kayuan, Hijaukan Lahan, Rawat Sumber Air Buleleng

 

 

 

 

Upaya penghijauan lahan kritis memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.  Tanaman harus dipastikan tumbuh dan bisa jalankan fungsi ekologisnya. Untuk memastikan penghijauan lahan berjalan efektif, Kelompok Muda Desa Pedawa di Buleleng, Bali, bersama pemilik lahan dan unit usaha kecil memulai inisiatif Asuh Kayuan. Penghijauan lahan ini sekaligus berarti mengasuh sumber air.

Ada tiga pihak yang berperan penting dalam ekosistem Asuh Kayuan ini, yakni, kelompok muda desa pelestari hutan Kayoman Pedawa, pemilik lahan yang dihijaukan, dan orang tua asuh yang mendanai program monitoring.

Putu Yuli Supriyandana,  Ketua Kayoman Pedawa mengatakan,  program penghijauan lahan ini terobosan kelompoknya berkolaborasi dengan pihak ketiga yaitu CV Tata Wana Tirta (Be Essential) sebagai pendukung yang jadi orang tua asuh pohon.

Kolaborasi ini dianggap solusi karena hambatan selama program penanaman pohon beberapa tahun ini adalah memastikan perawatannya. “Ada perubahan jenis tanaman dan makin banyak pemilik lahan bukan warga desa,” katanya.

Penghijauan dilakukan di sumber-sumber mata air penting di lahan pribadi warga. Karena itu,  perlu kepastian dan kerja sama resmi dengan pemilik lahan.

Menurut dia, program ini berdampak positif pada proses konservasi karena melibatkan masyarakat langsung,  yaitu pemilik lahan yang memiliki sumber mata air di lahannya.

Asuh Kayuan, bertujuan penyelamatan sumber-sumber air ini menggunakan sistem 3P yakni perawatan, pemeliharaan, dan penghijauan di sekitar sumber-sumber air. Donatur sebagai orang tua asuh dan pihak ketiga memberikan dukungan kepada Kayoman agar tetap mendampingi masyarakat pemilik lahan.

Pada 2023, ada 5 kayuan sebagai proyek percontohan awal Asuh Kayuan,  selama 5 tahun ke depan. Kelima sumber air,  yaitu, Selundingan pada lahan Ketut Ribut, Muncus di lahan Ketut Parta, dan Penyungan di lahan Wayan Pasol. Lalu, Sabih pada lahan Wayan Dolat, dan Mumbul, tanah  milik Wayan Peraya.

 

Baca juga: Sebelas Warna Air untuk Ibu Pertiwi, Tradisi Konservasi Purba dari Pedawa

Pohon aren di Desa Pedawa, Buleleng, Bali, makin sedikit diganti cengkih. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Kayoman berharap,  warga menyadari pohon kayu besar atau tumbuhan mampu menyerap dan menyimpan air untuk kelangsungan sumber air yang bermakna sangat penting untuk desa.

Ade Irma Amelia, pendiri Be Essential, orang tua asuh program uji coba ini menyebut,  pemetaan mulai sekitar November 2023.

Dia mendengar cerita dari anak muda kalau Kayoman fokus penghijauan lahan terutama sumber air karena hutan berubah jadi kebun,

terutama ditanami cengkih, komoditas yang tak begitu baik menyimpan cadangan air, apalagi cenderung monokultur.

“Saat Kayoman menanam kadang ada yang komplain karena di lahan pribadi. Harus melakukan sesuatu, saya konsen Bali Utara karena ditanami cengkih hingga sumber air menurun.”

Lahan yang sebelumnya subur dengan sumber air melimpah karena keragaman pohon besarnya.

Awalnya,  dia sempat mengusulkan mekanisme kompensasi, bagaimana kalau satu pohon cengkih dikorbankan dan ganti aren. Setelah diskusi dengan Kayoman, disepakati skema menjaga titik mata air dengan penanaman dan pemeliharaan berbagai tanaman besar penyimpan air seperti ficus, lateng, aren, dan lain-lain. Terutama,  di lokasi miring yang tak ditanami cengkih.

Sebagai inisiatif awal, dia bersedia memberikan dukungan Rp1,4 juta pertahun per satu mata air selama lima tahun di komitmen awal dengan mengasuh lima mata air. Selama proses, dia akan berkunjung ke desa mempelajari aspek ekologisnya.

Isi draf kerja sama dengan pemilik lahan antara lain, mereka bersedia ada perawatan sumber mata air seperti penanaman dan monitoring pohon. Berikutnya, bersedia mencegah eksploitasi sumber air, misal, dikomersilkan oleh perusahaan lain, dalam skema kerja sama. Pemilik lahan berjanji tak menjual mata airnya.

 

Baca juga: Cara Kayoman Menjaga Sumber Air Desa Pedawa

Kayoman dan pemilik lahan. Isi draf kerja sama dengan pemilik lahan antara lain, mereka bersedia ada perawatan sumber mata air seperti penanaman dan monitoring pohon. Berikutnya, bersedia mencegah eksploitasi sumber air, misal, dikomersilkan oleh perusahaan lain, dalam skema kerja sama. Pemilik lahan berjanji tak menjual mata airnya.Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Jawab krisis air Bali

Aksi ini bisa jadi salah satu jawaban hadapi Bali krisis air. Sejak 2012, sejumlah riset dan diskusi di Bali menyatakan, perlu mengembalikan level air hingga 90% dalam lima tahun di area yang mengalami krisis air bersih dan terancam intrusi air laut.

Hasil penelitian  menyatakan,  lebih 60% cadangan air Bali telah kering. Permukaan air turun drastis, sekitar 50 meter kurang 10 tahun.

Untuk itu, dibuat program penyelamatan air Bali atau Bali Water Project (BWP) yang dirintis Politeknik Negeri Bali (PNB) dan Yayasan IDEP.

Basis riset saat itu adalah kalkulasi penduduk Bali berdasarkan angka proyeksi BPS 2014 berjumlah 4,1 juta. Dengan rata-rata kebutuhan air setiap orang sebesar 183 liter per hari untuk konsumsi, mandi, dan lain-lain, jadikan kebutuhan air penduduk lebih 750 juta liter per hari.

Belum lagi untuk kebutuhan turis. Data PHRI Bali 2014, ada 77.496 kamar dengan rata-rata per kamar perlu 2.000 liter, kalau terisi 50% perlu 160 juta liter per hari.

Ada ratusan villa tak teregistasi, kondotel, dan lain-lain. Akomodasi seperti itu jauh lebih banyak konsumsi air karena menyediakan kolam renang per unit.

Kebutuhan air tak seimbang dengan cadangan air bawah tanah. Tak heran, saat musim kemarau panjang pada 2023, banyak daerah mengalami kekeringan sampai pemerintah menyatakan  status siaga darurat bencana kekeringan dan kebakaran hutan-lahan akhir tahun lalu.

 

Penghijauan dilakukan di sumber-sumber mata air penting di lahan pribadi warga. Karena itu, perlu kepastian dan kerja sama resmi dengan pemilik lahan. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Tradisi 11 warna air

Lokasi Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, utara Bali ini agak tersembunyi di kaki bukit. Walau memiliki banyak sumber mata air, warga tak mudah mengakses air setiap hari karena geografis bebukitan. Sumber mata air juga dinikmati desa-desa lain di hilir sekitarnya.

Salah satu tradisi unik konservasi air adalah mengumpulkan 11 warna air dari 11 sumber air di Desa Pedawa. “Air solas (11) itu dipercikkan di halaman rumah untuk ibu pertiwi, peneduh bumi,” kata Made Saja, warga Pedawa mencontohkan penggunaannya, selain untuk ritual lain.

Prosesi mempersembahkan 11 sumber air ini jadi syarat sebelum mulai upacara atau ritual besar seperti pernikahan, kematian, dan upacara agama lainnya. Untuk mengumpulkannya, bukan perkara mudah.

Warga harus mempelajari ekosistem lingkungan sekitar seperti sungai, kebun, tebing, dan tanaman.

Jika upacara sudah dibuka dengan 11 warna air ini berarti menghormati pertiwi. Ia dilakukan di rumah penduduk di Desa Pedawa, termasuk warga non Hindu yang mukim di desa dan meyakini tradisi ini.

 

********

 

Gula Aren di Pedawa dan Menggali Pengetahuan Lokal di Masa Pandemi (bagian-2)

Exit mobile version