Mongabay.co.id

Platipus, Mamalia Unik yang Terancam Bendungan dan Perubahan Iklim

 

Warga Tasmania, perkotaan Australia, Pete Walsh, terobsesi dengan salah satu makhluk alam yang paling tidak dipahami, yaitu platipus (Ornithorhynchus anatinus). Mungkin karena satwa ini misterius. Mamalia yang bertelur, berparuh bebek, berbisa, dan berbulu.

Tapi, Pete gusar. Lingkungan alami platipus kini terancam oleh pembangunan di ibu kota Hobart.

Dengan bantuan para ahli, Pete memulai misi untuk menggalang komunitasnya dan menyelamatkan spesies ini sebelum terlambat. Katanya, satwa perenang ulung itu mampu mengubah hidupnya.

Selama upaya ini, Pete berteman dengan seekor platipus betina yang diberi nama “Zoom”. Zoom mengizinkan Pete masuk ke dalam dunianya yang penuh rahasia, dan Pete belajar lebih banyak tentang kehidupan spesies yang penuh teka-teki ini.

Perilaku Zoom menjelaskan teknik bertahan hidup dan memberikan wawasan tentang bagaimana spesies ini harus dilindungi. “Anda tidak bisa terus mengambil dari alam. Dia (platipus) inspirasi bagi siapa saja yang ingin menyatukan komunitas mereka dan melindungi dunia di sekitar mereka,” ungkapnya.

baca : Ekidna si Mamalia Bertelur, Satwa Asli dari Papua

Platipus (Ornithorhynchus anatinus). Foto : Laura Romin dan Larry Dalton

 

Platipus telah menghadapi banyak ancaman, antara lain perubahan iklim, hilangnya habitat, polusi, dan spesies invasif. Meskipun belum dianggap terancam punah, jumlah mereka menurun, dan beberapa populasi lokal telah punah. Sekarang, para ilmuwan telah menemukan ancaman lain yang dibuat oleh manusia: pembangunan bendungan di sungai-sungai yang mereka huni.

Platipus unik. Sekalipun, dia mamalia yang hidup di air tapi mampu bertelur.

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Kamis di jurnal Communications Biology, para ilmuwan menemukan bahwa bendungan membatasi migrasi platipus dan menyebabkan perkawinan sedarah. Gangguan pada migrasi dapat menyebabkan kelemahan genetik. Namun hingga saat ini, belum ada data yang kuat untuk membuktikan bahwa hal tersebut terjadi pada platipus.

Selama dua tahun lamanya, para peneliti mengamati populasi platipus di lima sungai yang memiliki bendungan dan empat sungai yang tidak memiliki bendungan di Australia Tenggara. Mereka mengumpulkan sampel darah dari 274 individu platipus untuk mempelajari DNA mereka.

Dengan analisis genetik ini, akhirnya para ilmuwan menyimpulkan bahwa bendungan merupakan ancaman serius, tidak hanya karena mereka merusak habitat, tetapi juga mengganggu evolusi.

Cukup mengejutkan memang. Tapi jika dilihat dari tingkat genetik, ada perbedaan mencolok antara populasi yang tinggal di sungai yang dibendung dan tidak dibendung.

“Ketika tidak ada migrasi antar populasi, dan populasinya kecil, keragaman genetik di dalam setiap kelompok menurun dengan cepat,” kata Luis Mijangos, seorang peneliti di University of New South Wales di Australia, yang juga merupakan salah satu penulis studi tersebut seperti dikutip The New York Time. “Jika ada mutasi yang memungkinkan individu beradaptasi terhadap perubahan iklim, mutasi ini tidak menyebar ke populasi lain.”

baca juga : Pernah Dikira Hoaks, Satwa-satwa Ini Adalah Makhluk Nyata

 

Platipus (Ornithorhynchus anatinus). Foto : flickr

 

Platipus hanya hidup secara alami di Australia bagian timur dan Tasmania, dan diperkirakan hanya ada 300.000 ekor yang tersisa di dunia. Di sungai yang dibendung, mereka dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang berbeda secara genetis di atas dan di bawah bendungan, yang menyebabkan terjadinya perkawinan sedarah dan berkurangnya jumlah mereka.

“Populasi platipus telah menurun sekitar 30 persen selama beberapa dekade terakhir, dan kami tahu bahwa bendungan adalah masalah,” kata Mijangos, “tetapi kami tidak tahu seberapa besar masalahnya.”

Selain perubahan iklim, katanya, bendungan adalah salah satu ancaman paling signifikan bagi kelangsungan hidup hewan-hewan tersebut.

Meskipun panjangnya sekitar 30 cm hingga 60 cm, platypus dapat memanjat bendungan. Namun, kemampuan memanjat itu tidak cukup mampu mendapatkan sumber pakan.

Menurut catatan Museum Australia, satwa ini menghabiskan waktu sekitar 10-12 jam per malam di dalam air untuk berburu makanan; mereka paling aktif pada sore menjelang malam. Mereka dapat bertahan di bawah air hanya selama 30 hingga 140 detik.

Platipus adalah karnivora, yang berarti mereka makan daging tapi tidak makan tumbuhan. Anehnya, platipus dewasa tidak bergigi. Mereka mengunyah makanannya dengan bantalan yang terbuat dari keratin, protein berserat mirip dengan yang ditemukan pada kuku dan rambut manusia.

Platipus memiliki ekor seperti berang-berang, kaki berselaput, lubang hidung yang menutup rapat untuk mencari makan di bawah air, dan kaki di sisi tubuhnya. Sebenarnya lebih mirip reptil daripada mamalia lain yang cenderung memiliki kaki di bawah tubuhnya.

baca juga : Kubung, Satwa Misterius yang Berkomunikasi dengan Suara Ultrasonik

 

Platipus salah satu sungai di Hobart, Tasmania, Australia. Foto : WildBear Entertainment/PBS

 

Bulu platipus yang tahan air dan tebal membuat mereka tetap hangat dalam cuaca dingin, dan ekornya yang besar menyimpan lemak ekstra untuk energi,

Sebelumnya, sebuah studi tahun 2008 yang diterbitkan di Nature menemukan bahwa kode genetik platipus terdiri dari campuran mamalia, burung, dan reptil.

Dalam hal berburu, platipus lebih modern. Mereka dapat menemukan mangsa dengan mendeteksi medan listrik menggunakan reseptor pada paruh bebek mereka.

Hal menarik lainnya yaitu mereka menyusui tetapi tidak memiliki puting susu. Sebagai gantinya, mereka memberi makan anak-anaknya melalui pori-pori di kulit mereka.

Soal bela diri. Platipus memiliki taji di kaki belakang yang mengeluarkan racun. Meskipun racunnya tidak cukup kuat untuk membunuh manusia, namun jika terkena dapat menyebabkan pembengkakan dan rasa sakit yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan.

World Wildlife Fund (WWF) Australia dan beberapa peneliti sedang mengerjakan sebuah proyek untuk memulihkan populasi platipus di Royal National Park di Sydney. Kelompok ini berencana untuk melakukan beberapa proyek pelestarian platipus yang nasibnya semakin muram.

Platipus pertama kali terdaftar sebagai hewan yang hampir terancam punah pada tahun 2016 setelah para ilmuwan mengamati penurunan jumlah spesies secara keseluruhan. “Meskipun penurunan tersebut tidak terdefinisi dengan baik dan tidak konsisten di seluruh wilayah jelajah platipus,” tulis Australian Platypus Conservatory di situs webnya. (***)

 

Referensi : nytimes.com, kpbs.org, livescience.com dan platypus.asn.au

 

Exit mobile version