Mongabay.co.id

Membayangkan Perubahan Perilaku Warga Bogor Membuat Kota Indah Tanpa Sampah

 

Gaya hidup dengan cara bijak mengolah sampah atau zero waste lifestyle bagi sebagian orang bukan hal mudah dijalankan. Namun, pada rumah-rumah pinggir Sungai Ciliwung, Kota Bogor, Jawa Barat, kesadaran untuk peduli terhadap masa depan kota pelan-pelan muncul dan berdampak baik.

Perubahan itu tercipta salah satunya di rumah milik Siti Salamah (60). Warga Bantar Kemang, Kecamatan Baranangsiang itu begitu antusias memperlihatkan lubang biopori yang dibikin empat bulan lalu.

“Sampah dapur selalu dimasukan ke sana,” katanya saat ditemui beberapa waktu lalu. “Sampah plastiknya saya kumpulkan terpisah. Rasanya cara ini dengan cara ini mengolah sampah menjadi menyenangkan.”

Sebelumnya, Siti tak memperdulikan itu. Sampah organik kerap disatukan dengan sampah non-organik. Dan pola itu normal-normal saja dalam dunia emak-emak. Padahal ketika musim banjir tiba, acapkali mengundang sumpah serapah membuncah hanya gara-gara sampah.

Tak kurang dari 2-5 kilogram sampah dihasilkan dalam seminggu. Dulunya, Siti tak pernah peduli sampah tercampur. Toh, ada petugas sampah yang bakal membawa menuju tempat pembuangan sementara. Pikirannya, itu terlalu ribet.

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor, sampah yang dihasilkan Kota Bogor per hari sekitar 2.742 m3 per hari. Betapa repotnya mengurusi sampah yang diproduksi 820.707 jiwa sehingga memakan anggarannya Rp19,3 miliar sampai Rp24,1 miliar per tahun.

Mungkin karena itu, “Kota Hujan” mau mendeklarasikan menjadi kota pertama di Indonesia yang mengadopsi konsep plastic smart cities. Sejak tahun 2021, Kota Bogor bergabung bersama 19 kota lainnya di Asia, seperti China, Thailand, Vietnam, dan Filipina, turut ambil bagian menciptakan lingkungan kota sehat dari pencemaran sampah plastik.

baca : Sampah Perkotaan, Bom Waktu yang Terus Berdentang

 

Warga mencatat pengumpulan sampah plastik di Kelurahan Cibuluh, Kota Bogor, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dalam upaya mengurangi dan mengelola sampah plastik, memang perlu transformasi kebijakan. Berkolaborasi dengan Yayasan World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia menegaskan pemerintah setempat tidak bisa sendiri menjauhkan plastik dari lingkungan kotanya.

Akhirnya kolaborasi menjadi nafas dalam program ini hingga tahun 2025 mendatang. Barangkali, langkah ini diambil akibat problem kota yang makin akut. Kota menjadi sumpek, kumuh, penuh polusi, sampah berceceran dan penyebaran penyakit.

Sehingga persoalan itu melahirkan teori tata kota modern yang menonjolkan pembaharuan. Apalagi Bogor sedang bersolek menuju kota hijau.

Kota Bogor memulai itu dengan berupaya memperhatikan elemen lanskap alami seperti sungai yang luput dari pembangunan dan penataan. Setidaknya, langkahnya dilakukan sejak hadirnya Satgas Naturalisasi Ciliwung yang diinisiasi Walikota Kota Bogor, yang dibentuk Bima Arya waktu itu.

Tim ini diberdayakan untuk membentuk “mesin sosial” di masyarakat bantaran Sungai Ciliwung sepanjang 15 kilometer. Puluhan petugas juga direkrut dan diberi insentif untuk mendampingi 48 RT (Rukun Tetangga) Prioritas yang tersebar di beberapa kelurahan.

Salah satu pendamping Satgas Naturalisasi Ciliwung, Yudha Sugama, mengatakan, penempatan petugas khusus memberi stimulus terhadap pola perubahan perilaku. Warga dibina dan kepatuhan mereka menjadi indikator sejauh mana warga peduli kotanya.

Asumsinya, lingkungan kota yang baik mampu melahirkan warga kota sehat fisik dan perilakunya. Maka, paradigma pengelolaan kota diubah menjadi lebih peduli pada lingkungan. Pengelolaan lebih menerapkan prinsip berkelanjutan. Tujuannya kota dibuat semakin ramah kepada manusia dan makhluk lain.

baca juga : Bersih-bersih Ciliwung, Ingatkan Masyarakat Tak Buang Sampah di Sungai

 

Petugas memilah sampah di Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) Mekarwangi, Kota Bogor, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Target itu mirip konsep garden city. Konsep yang dipopulerkan dalam membangun kota-kota kolonialisme. Misalnya Kota Bandung. Awalnya, disiapkan sebagai ibu kota Hindia Belanda, menggantikan Batavia yang saat itu dianggap sebagai kota gagal.

Contohnya, Jakarta yang berkembang pesat seiring pergeseran paradigma modern. Sebagian besar penduduk tinggal makin ke pinggiran seperti bantaran sungai.

Kondisi itu kini mudah ditemukan di Kota Bogor. Warga makin mendekati bantaran sungai lantaran harga tanah yang melambung tinggi.

Ketua RT 05/RW 05 Kelurahan Cibuluh, Budi Lubis (43) mengakui sulit melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Selain minat memilah sampah minim, kadang rasa acuh lebih tinggi dari rasa peduli. Selain itu, kekurangan sumber daya menjadi masalah laten.

“Agak berat kalau tidak ada Satgas Ciliwung ini. Warga masih belum bisa pintar sendiri masih perlu pendampingan sampai perubahan perilaku itu dibentuk,” ucapnya saat ditemui ketika memilah sampah di bantaran Sungai Ciliwung.

Tapi, Budi senang adanya pendampingan. Dirinya kini sudah mahir mendata aneka jenis sampah untuk dijual. Keuntungannya dibagi rata kepada bapak-bapak untuk tambahan penghasilan.

“Warga sini rata-rata kaum urban, jenis sampahnya pun lebih banyak plastik. Jadi bisa kita manfaatkan untuk pemasukan kas warga,” ujarnya.

baca juga : Baru 4 Tahun, Pemuda Ini Mampu Olah 60 Ton Sampah Organik. Begini Kisahnya

 

Petugas memilah sampah di Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) Mekarwangi, Kota Bogor, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menekuni konsistensi

Menurut Sekretaris Satgas Naturalisasi Sungai Ciliwung Een Irawan Putra, menjalankan plastic smart cities menjadi beban sekaligus tantangan. Bukan tanpa sebab, upaya Bogor mencapai standar masih panjang.

Dia tidak ingin komitmen ini hanya sekadar mimpi di siang bolong tanpa menjadi solusi. Apalagi dana yang dianggarkan Kota Bogor untuk operasional satgas sebesar Rp1,5 miliar per tahun.

“Investasi sosial ini menjadi ikhtiar melibatkan partisipasi publik harapannya menemukan pola yang pas dan tingkat kontinuitasnya bisa diukur,” terang Een.

Sejak dibentuk, lebih dari 48 RT Prioritas atau 19.077 jiwa mulai turut dibina membiasakan diri memilah sampah. Sekalipun, hanya separuh dari populasi manusia Kota Bogor, itu cukup meminimalisir keterancaman lingkungan oleh sampah. Artinya, jika rata-rata 0,7 kilogram sampah dihasilkan per orang, setidaknya ada 13,3 ton sampah yang berpotensi untuk dikelola.

Een bilang, demi menunjang keberlanjutannya sudah dibangun fasilitas tempat pembuangan sampah reduce, reuse, recycle (TPS3R) di  Mekarwangi sebagai bagian hilirisasi sampah. Tujuannya, mengolah plastik menjadi bahan baku daur ulang yang punya dampak.

Pilot project ini disiapkan untuk menginspirasi aksi-aksi yang lain,” katanya. “Karena gak bisa pengelolaan sampah ini dilakukan pemerintah atau satu pihak saja. Butuh pihak lain untuk sama-sama mewujudkan penyelesaian yang ideal.”

Aksi lanjutannya yang dimaksud yaitu membentuk ekonomi sirkular. Skema ini dinilai efektif mentransformasikan sampah kemasan menjadi sumber daya yang bernilai.

Berdasarkan data Satgas Naturalisasi Ciliwung tahun 2023, pengolahan plastik sudah mencapai 8 ton yang berasal dari RT Prioritas. Sampah plastik low value dikelola menjadi bahan baku produksi kaso dan papan sebagai substitusi dari kayu, metal dan beton.

baca juga : Sampah Plastik, Harus Ada Inovasi Pemanfaatannya

 

Petugas menunjukan produk daur ulang sampah plastik di di Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) Mekarwangi, Kota Bogor, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Untungnya, Tadzalli Tigin Syahidan (30) melirik itu. Direktur Jauhar Hidro Mekatron, Perusahaan konsultan lingkungan, melihat peluang dari produk plastik. Dia kepincut untuk turut mewujudkannya.

Semula Idan ingin mengubah paradigma dari kalimat, “jangan buang sampah sembarangan.” Kalimat ajakan itu tanpa sadar ada kata “buang” yang melegitimasi “pembiasaan membuang” dalam perilaku manusia. Dan kata “buang” itu begitu mengusik Idan.

Idan lalu berinovasi. Dia gunakan substitusi plastik untuk membikin sumur retensi di salah satu perusahaan air minum di Kabupaten Sukabumi. Dengan luas 30 meter persegi, kekuatan bangunan berbahan plastik diprediksi mampu bertahan lebih lama dari beton.

“Kita masih bikin pemodelan sekaligus uji coba. Tapi hasilnya cukup baik dan aman digunakan. Tidak ada kontaminasi polutan sejauh ini,” imbuh Idan. “Dan ini sebenarnya menarik, kita bisa mengubah masalah sampah yang dulu mencemari sungai-sungai kini dapat dipakai untuk menampung cadangan air.”

Idan percaya. Sampah plastik yang diproduksi tiap kota mampu digunakan kembali untuk kebutuhan infrastruktur kotanya. Tinggal bagaimana membikin populis penggunaan sampah daur ulang ini agar masyarakat ikut mengikuti.

Kendati begitu butuh waktu bertahun-tahun. Butuh dukungan kuat dan konsisten. Tapi cara itu menuntun kota kita selaras dengan kota-kota lain di dunia yang juga tengah mengembangkan tata kelola kota serupa. Kini kota tidak lagi dianggap sebagai tempat tinggal, kota menjadi cermin kepribadian warganya. Karena itu kita bisa mengetahui sifat asli manusia dengan caranya memperlakukan sampah. (***)

 

Exit mobile version