Mongabay.co.id

Cerita dari Sirkuit Mandalika: Persoalan Lahan Belum Selesai, Warga Terjerat Hukum

 

 

 

 

 

 

Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang dialami Muhaibul. Niat hati mendapatkan perhatian dan penyelesaian atas persoalan lahan warga di Kawasan Emonomi Khusus (KEK) Mandalika, malah mendekap dalam penjara. Muhaibul pasang spanduk protes di lahan sendiri dan terjerat hukum dengan tudingan bawa senjata tajam. Praperadilan yuang diajukan Muhaibul ditolak. Kini, kasus ini sudah memasuki masa persidangan.

Ceritanya, warga pemilik lahan di area Sirkuit Mandalika berkumpul menyiapkan aksi sekitar sebulan sebelum perhelatan MotoGP seri Mandalika 2023. Beberapa mengutarakan pendapat agar mereka memboikot perhelatan balap motor yang kali kedua berlangsung di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, NTB ini. Ada juga usul menggelar demonstrasi saat kegiatan berlangsung.

Negosiasi juga mereka lakukan agar pembayaran diberikan sebelum perhelatan MotoGP di kawasan di bawah kelola PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) ini. Bertemu dengan Pj Gubernur NTB, merupakan Sekda NTB dan putra daerah Lombok Tengah–satu kampung dengan mereka –tak juga membuahkan hasil.

Mereka hanya terima janji lahan segera dibayarkan. Akhirnya, pemilik lahan pilih aksi damai, bukan memblokir jalan, memboikot, atau demo saat perhelatan MotoGP.


Mereka sadar acara itu juga memberikan peluang kerja bagi warga. Apalagi muncul pernyataan dari kelompok masyarakat yang mengharapkan MotoGP berjalan lancar. Mereka pun hanya menyuarakan aspirasi dengan memasang spanduk.

Spanduk terpampang di lahan yang belum dibayar termasuk yang dipasang Muhaibul Habibi dan Ahmad Sahul. Dua bersaudara ini putra Amaq Saifudin dari Dusun Semundah, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut.

Mereka memasang spanduk yang dicetak di atas bahan vinyl, di tiang bambu yang mereka siapkan. Untuk memudahkan pekerjaan, mereka membawa parang dan memasang dua spanduk pada malam hari, 12 Oktober lalu.

Keesokan harinya datang dari Polres Lombok Tengah meminta mereka menurunkan spanduk. Mereka menolak dengan alasan memasang spanduk di atas kebun mereka. Polisi datang lagi dipimpin langsung Kapolres Lombok Tengah. Spanduk diturunkan. Mereka ditangkap dan kena UU subversif, membawa senjata tajam.

“Semua orang yang ke kebun bawa parang. Jelas-jelas mereka bawa parang untuk memotong bambu. Parang itu juga ditaruh di berugak (gazebo). Lalu sekarang ditangkap dengan sangkaan membawa senjata tajam, jelas ini kriminalisasi,’’ kata Syamsul Qomar, Ketua Aliansi Pejuang Lahan Mandalika pada Mongabay.

Dia mengenal baik kedua kakak beradik itu karena bagian dari anggota Aliansi Pejuang Lahan Mandalika. Aliansi ini berisi warga korban proyek KEK Mandalika dengan lahan belum dibayarkan. Apa yang mereka sampaikan dengan memasang spanduk bagian menyuarakan aspirasi.

“Pernah mau aksi saat MotoGP, tapi kami sadar pariwisata ini saudara kami juga yang bekerja di sana. Maka kami hearing, berulang kali hearing. Tapi selalu dijanji,’’ katanya.

Janji-janji itu, kata Qomar, menunjukkan bahwa pemerintah memiliki keinginan menyelesaikan masalah ini. Janji untuk pembayaran sisa lahan jadi bukti pemerintah sebenarnya mengakui kalau ada lahan warga belum dibayar.

“Masyarakat selama ini fair, jika ada lahan sudah dibayar tidak menuntut. Masyarakat hanya meminta sisanya.”

Tak lama setelah ditangkap, Ahmad Sahul dilepas. Kakaknya Muhaibul masih ditahan. Menurut Qomar kasus ini terlalu dipaksakan. Ada parang tergeletak di gazebo, lalu langsung menangkap dua kakak beradik yang kebetulan berada di tempat itu. Parang yang ditemukan itu masyarakat Lombok menyebutnya bateq awis. Hampir semua petani yang ke kebun membawa parang itu.

“Setelah dikurung, ditekan, sekarang dikriminalisasi,’’ kata Qomar.

Sejak pembangunan KEK Mandalika periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, banyak tekanan dirasakan masyarakat. Ketika proyek Sirkuit Mandalika mulai, warga yang tinggal di Dusun Ebunut, Desa Kuta, terkurung. Akses keluar masuk mereka terhalang proyek.

Setiap perhelatan balapan, WSBK dan MotoGP, warga seperti dipenjara.

 

Baca juga: Nasib Para Perempuan yang Hidup di Sekitar KEK Mandalika

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika menyingkirkan ruang hidup sebagian masyarakat yang bekerja sebagai petani, peternak, dan nelayan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Tak cukup dikurung di dalam tanah mereka, warga juga menerima intimidasi. Habibi, dari Lembaga Studi Bantuan Hukum (LSBH) NTB mengatakan, sebelum MotoGP pada 13-14 Oktober lalu, puluhan aparat keamanan dan petugas keamanan perusahaan mendatangi warga yang selama ini bersuara menuntut haknya, salah satu Sibawaih.

Sebelum MotoGP, LSBH NTB menginvestigasi setidaknya 2-4 kali sehari Sibawaih, Mise, dan Adiwijaya didatangi aparat keamanan dan petugas keamanan perusahaan.

“Ini cara mengganggu psikologis masyarakat,’’ katanya.

Pada 6 Oktober, LSBH NTB mencatat 50 personel TNI datang ke tempat Sibawaih. Alasannya, melangsungkan bakti sosial dan bersih pantai. Alih-alih membawa perlengkapan bersih pantai, aparat TNI justru duduk-duduk di berugak (gazebo) dan berdiri di sekitar tempat tinggal Sibawaih.

“Selang beberapa jam kemudian (setelah TNI pulang), datang keamanan perusahaan dan polisi ke tempat Sibawaih,’’ katanya.

Pada 7 Oktober, aparat lebih banyak. LSBH NTB bersama Koalisi Pemantau Pembangunan Inftrastruktur Indonesia (KPPI) NTB dan Agra NTB mencatat, sekitar 100 personel keamanan datang ke tempat Sibawaih dengan alasan mau bakti sosial.

Kejadian seperti ini terus berulang hingga pelaksanaan MotoGP.

“Hari pelaksanaan MotoGP itu satu warga bukan diamankan, lebih tepatnya terjadi penangkapan,’’ kata Habibi tentang penangkapan terhadap Muhaibul.

Kombes Rio Indra Lesmana, Kabid Humas Polda NTB mengatakan, persoalan di KEK Mandalika ini sebenarnya kasus lama. Masyarakat merasa, sebagian lahan mereka belum dibayarkan oleh ITDC.

“Sudah dilakukan beberapa kali pertemuan,” katanya kepada Mongabay Kamis(18/1/24).

Dalam persoalan ini, katanya,  kepolisian tak menangani langsung. Ketika terjadi aksi masyarakat di lokasi, tak jauh dari Sirkuit Mandalika, kepolisian hanya bertugas mengamankan.

“Saat itu ada event MotoGP, jadi diamankan karena khawatir mengganggu.”

Pengamanan warga itu murni untuk mencegah kejadian tidak diinginkan. Saat patroli, petugas menemukan warga membawa senjata tajam. Karena saat itu ada agenda internasional dan ada masalah antara warga dengan ITDC, katanya, polisi mengambil tindakan preventif dengan mengamankan.

Mongabay juga mengkonfirmasi ITDC atas kasus penangkapan warga dan persoalan lahan yang tak kunjung usai, tetapi sampai berita ini rilis belum ada tanggapan.

 

Baca juga: Nasib Warga yang Terkurung Sirkuit Mandalika

Aparaat keamanan yang mendatangi tempat tinggal warga yang masih bertahan di dalam kawasan Sirkuit Mandalika. Foto: KPPI NTB/Mongabay Indonesia

 

Pendekatan persuasif

Syamsul Qomar menyayangkan, setiap menjelang kegiatan di Sirkuit Mandalika, terlalu besar pelibatan aparakat keamanan dan militer. Kalau alasan keamanan event, bisa dimaklumi. Kika mendatangi warga yang menuntut hak, katanya, aparat terlalu berlebihan.

Menurut Qomar, warga pemilik lahan tak pernah menuntut dengan cara berlebihan. Spanduk yang dipasang pun tak pernah masuk dalam lintasan Sirkuit Mandalika, hanya di lahan mereka.

“Masyarakat pemilik lahan tidak pernah menolak pariwisata di KEK Mandalika,’’ katanya.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo, katanya,  akan berakhir tahun 2024. Dia meminta,  sebelum berakhir tak ada lagi utang yang belum dibayar ke pemilik lahan.

Dia mendesak, sebelum pemilu 2024, utang pemerintah, dalam hal ini ITDC selaku perusahaan negara–bisa tuntas.

“Kita baca di media perputaran uang di MotoGP sampai triliunan. Hanya 1% dari angka itu kalau benar punya niat baik, pakai untuk lunasi utang,’’ katanya.

Muhammad Al Amin, Koordinator KPPI,  meminta,  Asian Infrastruktur Investment Bank (AIIB) yang memberikan modal untuk proyek Sirkuit Mandalika turun memantau kondisi lapangan.

Sebagai pemberi pinjaman, AIIB harus bertanggungjawab mengontrol proses proyek yang dinilai KPPI banyak melanggar hak asasi manusia.

KPPI juga meminta, pemerintah berhenti melibatkan militer di KEK Mandalika. Selama ini,  militer turun mengamankan ketika ada kegiatan, selain itu mereka juga mendatangi warga yang menyuarakan haknya. Cara-cara itu, katanya,  bagian dari teror psikologis kepada masyarakat.

“Aparat keamanan yang diterjunkan ke lokasi terlalu berlebihan.”

 

 

Tikungan di Sirkuit Mandalika di KEK Mandalika, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah inilah yang belum tuntas dibayarkan ke pemilik lahan. Berulang kali mereka menuntut dan dijanjikan pembayaran. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

******

 

Kala Presiden Resmikan Sirkuit Mandalika, Persoalan Lahan Masih Menggantung

Exit mobile version