Mongabay.co.id

Harimau Memangsa Ternak di Kawasan Kebun Sawit di Hutan Lindung Pasaman Sumbar

 

Memasuki awal tahun 2024, konflik harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) terjadi lagi di Sumatera Barat. Kali ini terjadi di Nagari Ladang Panjang, Kecamatan Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman. Seekor sapi ditemukan mati diduga diterkam harimau, dengan bagian belakang dan ekor berlubang.

Pelaksana harian (Plh) Kepala BKSDA Sumatera Barat, Antonius Vevri mengatakan kejadian itu berawal dari adanya laporan warga bahwa sapi miliknya diterkam satwa liar diduga harimau sumatera pada Selasa (2/1/2024).

Tim WRU kemudian diterjunkan untuk melakukan verifikasi di lokasi kejadian. Tim berkoordinasi dengam Wali Nagari Ladang Panjang, Kapolsek Tigo Nagari dan warga setempat.

“Setelah tim diturunkan dilaporkan memang benar telah terjadi serangna satwa liar harimau sumatera terhadap seekor ternak sapi milik warga setempat,” kata Antonius Vevri, Selasa (7/1/2024) melalui siaran pers yang diterima Mongabay.

Lokasi konflik ini berada dalam kawasan hutan lindung yang sudah ditanami sawit. BKSDA Sumbar juga mendapatkan informasi bahwa warga setempat menyaksikan langsung kemunculan satwa dan mendokumentasikannya melalui smartphone.

baca : Nasib Harimau Sumatera Masih Berkutat Konflik dan Perburuan

 

Konflik harimau sumatera terjadi di Nagari Ladang Panjang, Kecamatan Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman, Sumbar. Seekor sapi ditemukan mati diterkam harimau. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Setelah itu, Tim WRU melakukan edukasi kepada warga yang berkumpul dan dengan bantuan perangkat nagari meminta warga untuk meninggalkan lokasi kejadian serta kembali ke pemukiman dengan alasan keamanan. Selain itu tim WRU juga melakukan penghalauan dengan menggunakan bunyi-bunyian untuk mengantisipasi kembalinya satwa ke ladang sawit.

“Mengingat kejadian kemunculan satwa yang sudah berulang-ulang, maka tim kami terus melakukan monitoring terhadap pergerakan harimau. Selain itu kami juga memasang perangkap aktif di dua tempat mulai dari tanggal kejadian, 2 Januari sampai hari ini. Sampai hari ini Tim masih stay di dua  tempat di kecamatan Tigo Nagari yakni Nagari Malampah Barat dan Nagari Ladang Panjang,” ungkapnya, Jumat (10/1/2024).

Menanggapi konflik tersebut Ekolog Satwa Liar, Sunarto mengatakan secara umum ada tiga faktor yang biasa menyebabkan terjadinya interaksi negatif atau biasa disebut konflik antara satwa/harimau dan manusia. Pertama adalah faktor satwa yaitu harimau. Kedua faktor habitat termasuk ketersediaan mangsa, dan ketiga faktor manusia khususnya yang terkait dengan aktivitasnya termasuk praktik beternak dan bertani.

Terkait kejadian di Pasaman, menurutnya ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari/mencegah pemangsaan ternak oleh harimau. Pertama-tama, bila memungkinkan, untuk tidak beternak di wilayah yang merupakan habitat dan wilayah jelajah harimau.

“Terlebih jika kawasan tersebut jelas-jelas merupakan kawasan lindung yang memiliki fungsi ekologis termasuk menjaga tata air dan konservasi keanekaragaman hayati,” sebut Sunarto, Jumat (10/1/24).

Lebih lanjut ia menjelaskan, untuk wilayah perkampungan di luar kawasan hutan namun berdekatan dengan wilayah jelajah harimau, jika beternak sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa predator dapat saja tertarik untuk ‘mampir’.

baca juga : Lagi, Harimau Sumatera Mati di Medan Zoo

 

Menurut hasil penelusuran tim WRU Balai KSDA Sumbar, lokasi konflik harimau sumatera merupakan kawasam hutan lindung yang sudah ditanam sawit. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Sebagai pencegahan, perlu dilakukan membuat kandang yang kuat serta tahan terhadap predator, menjaga ternak tetap di dalam kendang, membersihkan lokasi sekitar kandang agar tidak terlalu rimbun yang dapat menjadi tempat persembunyian predator untuk mengintai. Dan melakukan pemantauan secara berkala untuk mencegah predator mendatangi kandang ternak.

“Terkait Hutan Lindung yang ditanami sawit, setahu saya itu tidak sesuai dengan aturan terkait pengelolaan kawasan hutan, karena sawit bukan merupakan jenis tanaman yang boleh dibudidayakan di dalam kawasan hutan. Jadi, semestinya itu tidak terjadi.  Instansi yang berwenang bersama masyarakat sebaiknya segera mengupayakan untuk mengembalikan fungsi kawasan lindung yang telah terlanjur disalahgunakan tersebut melalui berbagai upaya seperti restorasi, rehabilitasi dan sebagainya sesuai dengan kondisi kawasannya,” ungkapnya.

Di sisi lain, ia berharap penanganan konflik satwa tidak sebatas penangkapan dan pelepasliaran kembali. Beberapa upaya lain yang penting dilakukan, seperti perlu ditingkatkan upaya pemantauan, pencegahan dan penanganannya.

Kedua, perlu dilakukan dialog untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang konservasi dan perilaku harimau sekaligus juga menggali dan menguatkan kearifan tradisi dalam menjaga satwa dan alam. Masyarakat juga perlu didukung serta dikuatkan pengetahuan dan kapasitasnya dalam mencegah dan menangani interaksi negatif dengan satwaliar khususnya harimau.

Ketiga, perlu dipelajari kebutuhan habitat, jalur jelajah dan pola penggunaan ruang oleh harimau. Informasi tersebut sebaiknya dapat digunakan untuk menyesuaikan bentuk, lokasi dan waktu aktivitas manusia, agar interaksi negatif antara manua dan harimau dapat dihindari.

Terkait lokasi kejadian yang merupakan kawasan hutan lindung yang telah ditanam sawit, Plh. Kepala BKSDA Sumbar Antonius Vevri mengatakan hal tersebut bukan wewenangnya.

“Kami tidak mengurus kawasan itu. Kami mengurus satwa konfliknya,” kata Antonius melalui Whatsapp, Sabtu (19/1/2024).

baca juga : Kena Jerat di Kebun Sawit, Harimau Sumatera Terus Terancam

 

Ilustrasi. Harimau sumatera yang ruang hidupnya menyempit karena habitatnya terganggu. Foto: Shutterstock

 

“Kita sudah punya kawasan masing masing, Dinas Kehutanan punya kawasan dan BKSDA punya kawasan. Kalau berkaitan dengan konflik maka kami berkewajiban untuk menangani satwa konfliknya.  Kalau ada berkaitan dengan sebuah kawasan tanya ke pemangku kawasan tersebut. Terkait dengan permasalahan konflik satwa, BKSDA tidak hanya berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan melainkan juga dengan Polisi, Pemda dan instansi lain, sesuai SK gubernur,” lanjutnya.

Sementara Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat, Yozawardi enggan menanggapi masalah ini. Mongabay telah mencoba menghubungi melalui email, sambungan telepon dan aplikasi Whatsapp, tapi tidak ditanggapi. (***)

 

Exit mobile version