Mongabay.co.id

Masyarakat Adat, Perubahan Iklim, dan Presiden Indonesia yang Baru

Atuk Sukar [68], Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Dia berada salah satu aliran anak sungai di Benak, yang berhulu di Gunung Cundong. Foto: Nopri Ismi-Mongabay Indonesia

 

 

Masyarakat adat adalah komunitas yang hingga saat ini terbukti terus menjaga alam. Masyarakat adat dipercaya sebagai salah satu kekuatan masyarakat di dunia untuk menekan perubahan iklim global. Presiden Indonesia yang baru diharapkan mampu mengoptimalkan peranan masyarakat adat tersebut.

Indonesia yang memiliki 1.128 etnis bersama 718 bahasa, berdasarkan catatan AMAN sedikitnya terdapat 2.161 komunitas adat. Komunitas adat ini tersebar di berbagai pulau di Indonesia, yang hidup harmonis dengan alam, baik di darat, lahan basah, dan laut.

Sebagian besar komunitas adat tetap bertahan, meskipun pemerintahan Orde Baru telah melemahkan posisi masyarakat melalui UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Dengan fakta tersebut, Indonesia berpotensi menjadi wilayah ketahanan iklim berbasis masyarakat adat.

Sejak tumbangnya rezim Orde Baru, masyarakat adat berjuang untuk mengembalikan hak-haknya. Mulai dari wilayah maupun hukum adatnya. Ini dikarenakan banyak aktivitas ekonomi ekstraktif yang merampas ruang hidup masyarakat adat [hutan, gunung, sungai, dan laut]. Masyarakat adat juga mendapatkan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi.

Baca: Lindungi Masyarakat Adat, Menyelamatkan Hutan di Kepulauan Bangka Belitung

 

Atuk Sukar [68], Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perjuangan masyarakat adat

Sejak 2009, perjuangan tersebut diwujudkan dalam RUU Masyarakat Adat.

Di awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo [Jokowi] menunjukan kepedulian pada masyarakat adat. Pada Maret 2017, saat melakukan pertemuan dengan pengurus AMAN [Aliansi Masyarakat Adat Nusantara] Jokowi menyatakan mendukung RUU Masyarakat Adat untuk segera disahkan, dan Satuan Tugas Masyarakat Adat segera dibentuk. Selain itu, pemerintahan Jokowi juga mendorong adanya hutan adat melalui skema Perhutanan Sosial [PS].

Hingga menjelang berakhir pemerintahannya, komitmen Presiden Jokowi belum mencapai apa yang diharapkan berbagai komunitas adat di Indonesia. Sampai saat ini, UU Masyarakat Adat dan Satgas Masyarakat Adat belum jelas nasibnya.

Kemudian dari skema PS, baru ditetapkan 335.068 hektare hutan adat, dari capaian PS seluas 6,4 juta hektare [Desember 2023]. Luasan hutan adat lebih rendah dibandingkan skema PS lainnya, seperti Hutan Desa [HD], Hutan Kemasyarakatan [HKm], Hutan Tanaman Rakyat [HTR], dan pola kemitraan.

Bahkan, provinsi yang sejumlah komunitas adatnya masih eksis, seperti di Kepulauan Bangka Belitung, belum ada Hutan Adat dalam skema PS. Faktanya, ruang hidup Suku Mapur, Suku Jerieng, Suku Maras, Suku Laut, dan Suku Melayu, dari bukit hingga laut, terus tergerus oleh berbagai aktivitas ekonomi ekstraktif, seperti penambangan timah dan perkebunan skala besar.

Sumatera Selatan dan Riau yang sebagian besar bentang alamnya berubah fungsi menjadi perkebunan skala besar dan pertambangan, baru memiliki Hutan Adat seluas 380 hektare [Sumatera Selatan] dan 408 hektare [Riau].

Baca: Temuan: Masyarakat Mulai Terdampak, UU Cipta Kerja Hambat Reforma Agraria

 

Sejumlah perempuan Suku Mapur, tengah memanen padi ladang di Dusun Aik Abik, Bangka. Di kaki Gunung Cundong. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kawasan Hutan Adat di wilayah lahan basah di Sumatera Selatan, juga belum ada. Sementara satu juta lebih hutan di lahan basah mengalami kerusakan atau berubah fungsi menjadi perkebunan skala besar, permukimanan transmigran, dan infrastruktur. Padahal lahan basah di Sumatera Selatan adalah ruang hidup berbagai suku yang selama ratusan tahun membangun peradaban bahari, yang arif dengan alam.

“Lahirnya UU Cipta Kerja, menurut saya kian mengancam keberadaan komunitas adat, yang sebelumnya sudah banyak kehilangan wilayah adatnya. Termasuk, mengalami kekerasan dan kriminalisasi,” kata Jessix Amundian dari Tumbek for Earth, sebuah organisasi pendampingan masyarakat adat di Kepulauan Bangka Belitung, Jumat [19/1/2024].

Tanpa adanya UU Masyarakat Adat, UU Cipta Kerja dapat mendorong berbagai investasi untuk menggunakan banyak lahan, yang sangat berpotensi merampas wilayah dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

“Pengakuan wilayah adat masih diserahkan kepada kebijakan Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN, KKP, dan Kemendagri, yang prosesnya berbelit dan panjang, sehingga sulit terjadi perundingan antara masyarakat adat dan investor jika sebuah wilayah adat akan digunakan sebagai lahan investasi,” kata Jessix, yang pernah menjabat Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung.

Baca: Terbitkan Sertifikat HPL di Wilayah Adat, Menteri ATR/BPN Tuai Kritik

 

Rumah adat Suku Mapur di Dusun Aik Abik. Satu-satunya simbol keberadaan Suku Mapur yang wilayahnya dipenuhi sawit. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Harapan presiden baru

“Harapan kami tidak berubah kepada setiap Presiden Indonesia yang baru. Pemerintahan yang dipimpinnya harus menjaga alam, seperti hutan, bukit, sungai, dan laut. Melindungi dan mengakui keberadaan komunitas adat adalah cara untuk menjaga alam,” ujar Narsidi, Ketua Komunitas Adat Tebat Rasau, Pulau Belitung, Kepualauan Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia.

Sejak 2021, Tebat Rasau ditetapkan sebagai Geosite Belitong UNESCO Global Geopark, dan menjadi rumah bagi ratusan jenis ikan air tawar. Ekosistem rawa Tebat Rasau berperan layaknya sebuah kolam besar yang mengontrol debit air Sungai Lenggang, sebuah sungai purba.

Sejumlah jenis ikan yang endemik atau langka, misalnya ikan buntal atau pupper fish air tawar [P. Hilgendorfii], ikan arwana [seleropages formosus], dan ikan ampong [channa marulius].

Dicontohkannya, “Pulau Belitung ini adalah pulau kecil [480 ribu hektare]. Tapi wilayah hutannya tinggal sedikit, sudah banyak dijadikan perkebunan skala besar. Jadi, kiranya Presiden yang baru dapat mengembalikan atau memperbaiki wilayah hutan yang sudah rusak, dikarenakan penambangan [timah] maupun perkebunan skala besar itu.”

Baca: Ikan Buntal yang Menjelaskan Sungai Purba di Pulau Belitung

 

Masyarakat Dusun Tuing di Pulau Bangka mendapatkan berkah ikan melimpah karena laut yang mereka jaga. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sukardi, tokoh adat Suku Mapur di Dusun Tuing, Desa Mapur, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, menyatakan, “Harapan kami seperti sebelumnya. Jangan rusak laut dan hutan kami. Kami juga menginginkan perbaikan laut dan hutan. Jika laut dan hutan terus rusak, keberadaan kami turut terancam. Kami dan alam adalah satu.”

Suku Mapur adalah Suku Melayu tua di Pulau Bangka. Wilayah adatnya di kawasan hutan ujung utara Pulau Bangka, yang menghadap Laut China Selatan [Laut Natuna]. Setelah reformasi, sebagian besar ruang hidup Suku Mapur dikuasai perusahaan perkebunan sawit, penambangan timah, HTI [Hutan Tanaman Industri], dan tambak udang.

“Semoga siapa pun Presiden Indonesia yang baru terpilih, benar-benar menjaga hutan dengan baik. Menghentikan penebangan pohon, penambangan ilegal [emas], serta kegiatan yang merusak alam lainnya,” kata Parsin, tokoh masyarakat Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan.

Baca: Banjir Bandang Ulu Rawas, Merendam Ribuan Rumah

 


 

Beberapa pekan lalu, Ulu Rawas dan beberapa daerah lainnya di Kabupaten Musi Rawas Utara, mengalami banjir bandang. Selain disebabkan intensitas hujan tinggi, juga sebagian besar bentang alamnya mengalami kerusakan. Baik oleh perkebunan skala besar maupun penambangan emas ilegal. Termasuk penambangan batu, pasir, dan emas di Sungai Rawas.

Teruntuk Presiden Indonesia dan para legislator yang terpilih dalam Pemilu 2024, Jessix mengharapkan untuk segera mensahkan UU Masyarakat Adat.

“Tujuan dari UU tersebut, bukan hanya bermanfaat bagi bangsa Indonesia, juga masyarakat dunia. Sebab, peranan masyarakat adat yang melindungi alam, turut berperan menekan perubahan iklim global, yang menjadi ancaman umat manusia hari ini.”

Diharapkan, satu tahun pemerintahan Presiden Indonesia yang baru, UU Masyarakat Adat disahkan, dan Satgas Masyarakat Adat terbentuk.

“Kemudian, meningkatkan luasan hutan adat dalam skema Perhutanan Sosial,” jelas Jessix, yang mengindentifikasi dirinya sebagai masyarakat adat Suku Melayu di Kepulauan Bangka Belitung.

 

Tergerusnya Hutan Adat Suku Melayu Tua di Pulau Bangka

 

Exit mobile version