Mongabay.co.id

Pesona Gili Balu, Wisata Bahari sekaligus Konservasi di Sumbawa Barat

 

Bangunan di pinggir jalan itu masih terlihat baru. Aroma cat berwarna krem itu bahkan masih terasa menusuk hidung. Lokasinya persis menghadap ke laut, tak jauh dari Pelabuhan Pototano, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Timur.

Bangunan itu merupakan bantuan dari Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) melalui program Coremap-CTI yang didukung oleh Bappenas dan juga ADB. Bantuan tersebut untuk mendukung ditetapkannya Gili Balu, sebagai kawasan konservasi perairan. Sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

“Ini sudah kami serahkan. Dan, sekarang sudah ada pengelolanya,” kata Leonas Chatim, konsultan ICCTF saat kunjungan monitoring jelang penutupan program, belum lama ini. Sesuai namanya, bangunan dengan ukuran 5×12 meter itu dimanfaatkan sebagai pusat informasi Taman Wisata Perairan Gili Balu.

Gili Balu merupakan lokasi ketiga pelaksanaan program Coremap-CTI yang berlangsung sejak 2020 silam. Dua lokasi lainnya berada di Nusa Penida, Bali dan Gili Matra (Meno, Air dan Trawangan) di Kabupaten Lombok Utara, NTB.

Leonas menjelaskan, sebelum ditetapkan sebagai wilayah konservasi, Gili Balu merupakan wilayah pencadangan konservasi. Status konservasi baru ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui surat keputusan nomor: 74 Tahun 2021 dengan skema Taman Wisata Perairan (TWP).

Merujuk SK tersebut, luas keseluruhan Gili Balu mencapai 5.846,67 hektar yang terdiri atas zona inti seluas 608,69 hektar. Kemudian, zona pemanfaatan terbatas seluas 4.947,78 hektar dan zona lain sesuai peruntukan (jalur perlintasan kapal) seluas 289,20 hektar. “Sebagai pelaksana sebelumnya adalah cabang dinas DKP Provinsi yang pada 2022 diubah menjadi UPTD dan sekarang menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)”, terang Leonas.

baca : Mungkinkah Prinsip Ekowisata Diterapkan di Gili Tramena?

 

Menara pandang yang dibangun di Pulau Namo, untuk meningkatkan pengawasan di kawasan konservasi Gili Balu, Kabupaten Sumbawa Barat. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Nama Gili Balu diambil dari delapan gugusan pulau kecil yang masuk dalam wilayah konservasi. Balu, dalam bahasa masyarakat setempat berarti delapan. Ke-delapan pulau dimaksud adalah Pulau Belang, Kenawa, Paserang, Namo, Kambing, Kalong, Ular dan Mandiki.

Leonas menjelaskan, di Gili Balu, pelaksanaan Coremap CTI dimaksudkan untuk mendukung pengembangan pariwisata melalui potensi perikanan dan kelautan. Dalam pelaksanaannya, program tersebut diwujdkan dalam beberapa bentuk kegiatan. Seperti pelatihan pembuatan produk olahan kepada Kelompok Pengolahan Dasar (Poklahsar), pembangunan sarana infrastruktur, peningkatan kapasitas kelembagaan, hingga penanaman mangrove.

Menurut Leonas, total ada 25 ribu lebih bibit mangrove yang ditanam di Gili Balu. Dari jumlah tersebut, 20 ribu merupakan penanaman tahap pertama. “Yang 5 ribu itu tanam sulam karena terkena ombak,” katnya.

 

Luasan Terbesar

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTB, Muslim mengatakan, NTB menjadi salah satu provinsi dengan wilayah konservasi perairan terbesar di Indonesia. Terdapat 9 kawasan konservasi dengan luas 342 ribu hektar yang itu berkontribusi 13 persen dari total wilayah konservasi di Indonesia.

“Karena itu, sangat penting untuk memastikan upaya pemanfaatannya agar tidak kontraproduktif dengan statusnya sebagai wilayah konservasi. Makanya, dari sisi kelembagaannya ini juga kami perkuat, dari UPT kini menjadi BLUD (Badan Layanan Umum Daerah)” jelas Muslim, akhir Desember lalu.

baca juga : Kisah Sukses Tramena dan Gili Matra Lakukan Restorasi Terumbu Karang di Gili Trawangan

 

Kawasan konservasi Gili Balu dan permukiman pesisir Desa Pototano, Kabupaten Sumbawa Barat dilihat dari ketinggian. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Muslim mengatakan, langkah lain yang ia perkuat adalah dengan membentuk Kelompok Pengawasan Masyarakat (Pokwasmas). Ia bilang, keberadaan kelompok pengawas berbasis masyarakat ini sangat penting untuk meningkatkan pengawasan di wilayah perairan setempat. Terutama, berkaitan dengan praktik illegal fishing yang masih marak.

Ada dua fasilitas menara yang telah telah dibangun untuk mendukung kegiatan pengawasan ini. Masing-masing ada di Pulau Namo dan Pulau Paserang. Rudini, ketua Pokwasmas mengatakan, keberadaan menara itu sangat penting untuk membantu kegiatan pengawasan yang dilakukannya. “Dengan begitu, setiap kegiatan yang berpotensi merusak bisa terpantau”.

Rudini mengatakan, kehadiran program Coremap CTI banyak membuka wawasan nelayan setempat. Mereka yang sebelumnya abai terhadap segala ancaman kerusakan, kini mulai lebih peduli. Perlahan, mereka mulai bangkit dengan paradigm baru. Yakni, bagaimana memanfaatkan potensi laut tanpa merusaknya.

Beberapa kelompok yang ada di masyarakat kini saling berkolaborasi untuk melaksanakan sejumlah program. Misalnya, melakukan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem laut. Bahkan, untuk menumbuhkan kesadaran itu di kalangan anak-anak, ia juga mencanangkan program tukar sampah dengan buku.

Selain untuk menekan potensi sampah terbuang ke laut, program yang digagas bersama Pokdarwis itu juga dinilai berguna bagi anak-anak setempat. “Waktu kami kecil dulu, susah sekali membeli buku. Jadi, kami ingin membantu mereka dengan program itu. Tukar satu botol sampah dengan buku,” terang Rudini.

baca juga : Kala Abrasi Gili Matra Makin Parah

 

Tumpukan sampah bekas kemasan memenuhi pesisir Pulau Paserang di kawasan konservasi Gili Balu, Kabupaten Sumbawa Barat. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Terobosan lainnya adalah kebijakan sharing atas tiket wisatawan. Setiap tiket yang dibayar oleh wisatawan, Rp10 ribu ia disisihkan untuk membantu biaya operasional pengawasan. “Kami untuk bersama-sama mengembangkan laut yang kita punya, memajukan desa kami dengan semua potensi yang kami punya,” jelasnya.

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kamola menuturkan, Gili Balu sangat potensial untuk menjadi destinasi baru wisata perairan. Delapan gugusan pulau kecilanya dinilai tak kalah dengan Raja Ampat di Papua Barat. Kawasan ini juga memiliki alam bawah laut yang sangat memesona karena relatif masih perawan.

“Masing-masing pulau ini juga memiliki keunikan. Ada ceritanya sendiri-sendiri,” jelasnya. Misalnya Pulau Paserang. Kamola mengklaim, pulau ini memiliki hamparan terumbu karang yang lebih indah daripada di tempat lain. Selain itu, dari sisi historis, pulau ini juga disebut-sebut sebagai lokasi permukiman pertama warga Suko Baju sebelum bergeser ke Desa Pototano, seperti sekarang ini.

Kemudian, Pulau Ular. Menurut Kamola, nama itu dipakai lantaran banyaknya ular yang menghuni pulau tersebut. Bahkan, sebuah observasi sederhana yang ia lakukan bersama koleganyanya beberapa waktu lalu pernah mendapati ada 1000 ekor ular lebih ia temukan. ‘Lalu, ada juga pulau Kambing yang merupakan habitanya penyu dan juga hiu,” ujar Kamola.

Meski demikian, upaya pengeolaan pariwisata Gili Balu juga memiliki banyak tantangan. Terutama terkait dengan sampah. Mongabay yang berkesempatan berkunjung ke  sana mendapati sampah-sampah plastik dan kemasan banyak menumpuk di pinggir-pinggir pantai Gili Balu.

Kamola menyebut, selain pesisir permukiman, sampah-sampah itu juga kiriman dari para penumpang kapal feri yang memang banyak berlalu-lalang. “Makanya ini yang coba kami benahi. Di pesisir, fasilitas TPS dan bak-bak sampah kami perbanyak supaya sampah-sampah tidak mengalir ke laut,” jelas Kamola.

baca juga : Pesona Pantai Sembilan di Tengah Ancaman Abrasi Gili Genting

 

Pemandangan bawah air di kawasan konservasi Gili Balu, Kabupaten Sumbawa Barat yang kaya akan sumber daya laut. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Ahmad Fauzi mendukung upaya pengembangan konservasi Gili Balu untuk pariwisata. Dirinya berharap, terobosan itu sekaligus sebagai upaya untuk mengurai kepadatan wisatawan di Bali dan juga Gili Matra (Meno, Trawangan, Air) Lombok yang dinilainya overload.

Fauzi bilang, peluang Gili Balu untuk menjadi destinasi baru sangat terbuka. Selain lokasinya yang cukup strategis karena di tengah jalur wisata Bali-Lombok dan Labuhan Bajo, Gili Balu memiliki panorama bawah laut yang sangat indah.

Namun demikian, ia menggarisbawahi agar kegiatan pariwisata di Gili Balu tetap dilaksanakan dengan memperhatikan daya dukung dan dayu tampung wilayah setempat. “Kajian daya dukungnya sudah ada. Ini supaya tidak menjadi seperti Bali atau Gili Matra yang tidak sesuai dengan prinsip konservasi karena melebihi kapasitas,” pungkasnya. (***)

 

Exit mobile version