Mongabay.co.id

Kematian Beruang Kutub Pertama Akibat Flu Burung Timbulkan Masalah

 

Flu burung yang sangat mematikan telah menyebar ke seluruh dunia. Kini, virus ini merupakan ancaman baru bagi banyak mamalia liar setelah satu beruang kutub (Ursus maritimus) ditemukan mati di Alaska. Ini adalah kasus pertama yang diketahui terjadi pada satwa yang habitatnya menempati daerah terpencil di Bumi.

Beruang kutub yang terinfeksi memberikan bukti lebih lanjut tentang betapa luasnya penyebaran virus H5N1 yang sangat patogen. Virus ini juga telah menginfeksi berbagai jenis burung dan mamalia liar yang sangat luas.

“Jumlah mamalia yang dilaporkan terinfeksi terus bertambah. Tetapi ini adalah kasus beruang kutub pertama yang dilaporkan, di mana pun,” kata Dr. Bob Gerlach, dokter hewan negara bagian Alaska.

Dalam kebanyakan kasus, virus ini tidak menyebabkan kematian massal pada populasi mamalia liar. Namun, virus ini merupakan ancaman baru bagi beruang kutub yang sudah rentan dan terancam kehilangan habitat berupa wilayah es.

“Kekhawatirannya adalah bahwa kita tidak tahu secara keseluruhan apa yang dapat dilakukan virus ini pada spesies beruang kutub,” ungkapnya.

Beruang kutub tersebut ditemukan mati pada musim gugur yang lalu di ujung utara Alaska, dekat Utqiagvik. Gerlach mengatakan kemungkinan beruang terinfeksi setelah memakan burung yang mati atau sakit.

Proses nekropsi dan mengumpulkan sampel jaringan dilakukan. Hasilnya, sampel jaringan dari beruang tersebut dinyatakan positif terkena virus. Virus tersebut akhirnya diidentifikasi di beberapa organ.

“Saya pikir akan lebih aman untuk mengatakan bahwa beruang itu mati karena virus,” katanya.

baca : Foto: Beruang Kutub yang Kelaparan ini Memakan Sampah Plastik

 

Anakan beruang kutub yang terpantau di Alaska. Foto: Wikimedia Commons/U.S. Fish and Wildlife Service/Domain Publik

 

Sebenarnya, para ilmuwan tidak tahu apakah kasus ini hanya terjadi sekali atau ada beruang kutub lain yang belum terdeteksi. Memantau virus pada populasi hewan liar jelas sangat sulit, terutama yang tinggal di tempat terpencil seperti Alaska utara.

Namun, mereka menduga jika wabah H5N1 terlebih dulu membunuh jutaan burung liar. Secara global, ribuan mamalia juga telah mati akibat virus ini, termasuk beruang hitam dan beruang coklat. Elang botak, rubah, dan kittiwake adalah beberapa spesies yang mati akibat virus ini di Alaska dalam beberapa bulan terakhir.

H5N1 pertama kali diidentifikasi di China pada tahun 1996, dan sejak saat itu wabah telah tercatat di seluruh dunia. Pada tahun 2020, muncul varian baru yang menyebabkan jumlah kematian yang belum pernah terjadi sebelumnya pada unggas. Ini menyebar ke Amerika Utara pada tahun 2021.

“Virus ini sudah di Antartika dan sekarang ada di Kutub Utara. Ini mengerikan,” kata Diana Bell, profesor emeritus biologi konservasi di University of East Anglia, dikutip The Guardian. “Namun saya tidak terkejut dalam beberapa tahun terakhir, daftar mamalia mati menjadi sangat besar. Kita sudah memiliki pandemi dalam keanekaragaman hayati dan ini disebut H5N1 karena telah membunuh begitu banyak burung dan mamalia.”

Infeksi ini dapat menambah tekanan tambahan dan berpotensi menghancurkan populasi Arktik yang sudah berada di bawah tekanan ekstrem akibat perubahan iklim. Sehingga setiap kematian tambahan akibat penyakit atau virus dapat menjadi pukulan bagi spesies beruang kutub.

Sejauh ini Scientific Committee on Antartika Research (SCAR) sedang menunggu pengujian lebih lanjut. Namun, Ketua Jaringan Kesehatan Satwa Liar Antartika SCAR, Dr Meagan Dewar, merasa kasus penyebaran flu burung bukan pertanda baik.

baca juga : Ilmuwan Mengungkap Rahasia Bulu Beruang Kutub

 

Seekor beruang kutub. Foto : earth.com

 

Dewar adalah salah satu yang meneliti risiko paparan virus di banyak hewan Antartika yang terancam, termasuk burung camar, skuas, anjing laut berbulu, dan singa laut. Menurut hasil analisisnya, mengindikasikan adanya peningkatan risiko bahwa HPAI akan muncul pada spesies Antartika pada tahun 2023 atau 2024 di wilayah Semenanjung Antartika.

Tentunya hal itu akan berdampak pada keberlangsungan populasi di wilayah kutub yang rentan. Karena disana terdapat banyak satwa tidak ditemukan di tempat lain di dunia yang belum pernah terpapar virus serupa.

“Berkurangnya populasi hewan berarti berkurangnya kesempatan untuk berkembang biak dan membesarkan generasi berikutnya,” kata Gerlach.

Gerlach gusar. Persoalan virus ini menambah tekanan terhadap habitat dan sumber pakan. Belum lagi perubahan iklim yang pelan-pelan mengurangi daya jelajah penguasa kutub utara itu. (***)

 

Referensi : theguardian.com, livescience.com dan nytimes.com

 

Exit mobile version