Mongabay.co.id

Konsorsium Energi Bersih Laporkan Tiga PLTU di Sumatera ke PBB, Mengapa?

 

 

Konsorsium Sumatera Terang untuk Energi Bersih [STuEB] membuat laporan dugaan pelanggaran HAM atas aktivitas tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap [PLTU] batubara di Pulau Sumatera yakni PLTU Nagan Raya [Aceh], PLTU Pangkalan Susu [Sumatera Utara], dan PLTU Teluk Sepang [Bengkulu], yang pendanaannya disokong dari badan usaha dan pemerintah China.

Dugaan pelanggaran tersebut berupa hak hidup dan kesehatan, hak atas lingkungan, dan hak atas mata pencaharian atau hak ekonomi warga yang tinggal di sekitar PLTU.

Dua lembaga keuangan yang menyediakan dana pinjaman untuk proyek PLTU di Pulau Sumatera itu adalah Industrial Commercial Bank of China [ICBC] dan Export Import Bank of China. Kedua bank telah meminjamkan dana US$270 juta untuk PLTU Teluk Sepang, US$373 juta untuk PLTU Pangkalan Susu, dan US$124,34 juta untuk PLTU Nagan Raya.

Laporan disampaikan melalui mekanisme di Dewan Hak Asasi Manusia [HAM] Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] yang berjalan dalam siklus empat tahunan yaitu Universal Periodic Review [UPR] atau Peninjauan Berkala Universal bagi 193 anggota PBB. Pada mekanisme ini, ada 48 negara yang ditinjau setiap tahunnya yang salah satunya China.

Laporan konsorsium telah diterima oleh Kelompok Kerja UPR] dan dibahas pada 23 Januari 2024 di Markas PBB, Jenewa.

Baca: Dominan PLTU dan Masih Mau Bangun Baru, Bagaimana Transisi Energi di Sumatera?

 

PLTU Pangkalan Susu di Sumatera ini dikeluhkan warga karena mengeluarkan abu tebal. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Sumiati Surbakti, Ketua Pengurus Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara, yang merupakan anggota konsorsium mengatakan, PLTU Pangkalan Susu yang berdiri 2016 diduga telah melanggar hak hidup dan kesehatan masyarakat, hak atas mata pencaharian, dan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat.

“Ada 659 nelayan tradisional yang tersingkir, padahal sudah puluhan tahun mereka hidup dari laut,” ujarnya, Selasa [23/1/2024].

Dia menyoroti cerobong PLTU Pangkalan Susu yang mengeluarkan abu tebal dan dikeluhkan warga. Bahkan, sudah dilaporkan ke Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].

“Limbah batubara juga menghilangkan kawasan hutan mangrove sebanyak 145 ha untuk pembangunan PLTU unit 1-4. Hilangnya mangrove mengakibatkan banjir rob yang merusak permukiman dan persawahan padi masyarakat.”

Ketua Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar mengatakan, masyarakat di sekitar proyek PLTU Teluk Sepang Bengkulu telah menyuarakan penolakan sejak awal proyek pada 2016. Bahkan, izin lingkungan PT. Tenaga Listrik Bengkulu telah digugat warga ke Pengadilan Negeri Tata Usaha [PTUN], namun kalah.

“Sejak PLTU beroperasi, 39 orang warga Teluk Sepang terkena penyakit kulit yang sulit sembuh dan kondisi ini belum pernah terjadi.”

Dia menyatakan, perusahaan telah tiga kali mendapat sanksi administrasi dari KLHK. Namun, berdasarkan pantauan lapangan, sejuah ini tidak ada perbaikan sistem pembuangan limbah air bahang dan pengelolaan limbah hasil pembakaran Fly Ash dan Bottom Ash/FABA.

“Berdasarkan data Kelurahan Teluk Sepang, jumlah nelayan di wilayah ini yang awalnya 300 orang kini hanya 15 orang. Saat uji coba PLTU, sebanyak 28 individu penyu yang merupakan satwa dilindungi, ditemukan mati di perairan Teluk Sepang.”

Zaidun Abdi, dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup [P2LH] Aceh mengatakan, 35 kepala keluarga di Desa Suok Puntong, Nagan Raya, terpaksa pindah akibat lingkungan dipenuhi debu angkutan batubara. Proyek juga membuang limbah air bahang ke laut dengan suhu rata-rata 35 derajat Celcius, yang bertentangan dengan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No.51 Pasal 3 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air.

“Warga tidak punya pilihan, kecuali pindah dengan ganti rugi yang ditawarkan perusahaan.”

Tuntutan dan rekomendasi konsorsium adalah:

  1. Mengirimkan tim pencari fakta independen untuk memastikan telah terjadi pelanggaran HAM di sekitar PLTU.
  2. Merekomendasikan kepada perusahaan dari China untuk melaksanakan perbaikan atas pelanggaran yang telah dilakukan di tiga PLTU tersebut.
  3. Melakukan pemulihan lingkungan, ekonomi, maupun kesehatan warga akibat kesalahan pengelolaan PLTU.
  4. Meminta perusahaan menyampaikan laporan pengelolaan dan pengendalian lingkungan kepada semua pihak, terutama komunitas di sekitar pembangkit.
  5. Meminta perusahaan menghormati hak-hak masyarakat disekitar perusahaan, terutama hak masyarakat adat.

Baca: Akankah Indonesia Serius Jalankan Transisi Energi Berkeadilan?

 

PLTU Teluk Sepang Bengkulu yang kehadirannya mendapat penolakan warga karena mengabaikan kelestarian lingkungan. Foto: Rusdi/Mongabay Indonesia

 

Studi dampak kerusakan

Sejak 2018, Konsorsium STuEB melakukan studi dampak ekonomi, sosial dan kesehatan, serta kerusakan lingkungan hidup di lima PLTU di Sumatera yaitu Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Selatan. Di semua PLTU itu, terdapat masalah.

Olan Sahayu, Juru Bicara STuEB, sebelumnya mengatakan dampak pengoperasian PLTU merupakan tanggung jawab korporasi untuk melakukan pemulihan. Proses beroperasinya batubara diawali dengan terbitnya izin lingkungan yang merupakan garansi agar dampak yang ditimbulkan dapat diantisipasi.

“Prinsipnya, AMDAL yang berisi kerangka acuan sebagai landasan ilmiah terbitnya izin lingkungan adalah dokumen pandu yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan pembangkit,” jelasnya.

Fadhil Ahmad Qamar, Staf Program untuk proyek Clean, Affordable, and Secure Energy [CASE] Asia Tenggara [SEA], Institute for Essential Services Reform [IESR], pada Indonesia Sustainable Energy Week [ISEW] 2023 menuturkan, pengakhiran dini PLTU dari tahun pensiun alami memiliki biaya lebih rendah dibandingkan memperpanjang usia dengan penambahan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon [Carbon Capture and Storage/CCS].

Biaya CCS cenderung tinggi disebabkan pengadaan atau modal awal dan pengeluaran operasional. Pengakhiran dini operasional PLTU berpotensi mengurangi emisi yang mirip emisi yang dihasilkan dari penerapan CCS, dengan biaya lebih rendah.

“Untuk menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dan penerapan teknologi CCS dalam nilai ekonomi, perlu disertai penerapan harga karbon yang tepat sebagai bagian pembiayaan inovatif, agar tidak membebankan anggaran negara,” ungkapnya.

Baca juga: Pembangunan PLTU Teluk Sepang Tidak Sesuai RTRW Bengkulu

 

 

Tanggapan PLN

Gregorius Adi Trianto, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN  menyatakan, PT. PLN [Persero] berkomitmen terus meningkatkan dan memperkuat kompetensi sumber daya manusia [SDM] sebagai modal utama menjawab tantangan transisi energi.

SDM yang lincah dan adaptif, menjadi kunci perusahaan untuk terus bertransformasi menjadi perusahaan bertaraf global hingga berkontribusi besar dalam mewujudkan Net Zero Emissions [NZE] 2060 atau lebih cepat.

“PLN juga terus berinvestasi dalam pembangunan energi terbarukan dan mendukung modal untuk aspek transisi yang adil, seperti pelatihan dan rehabilitasi pembelajaran,” terangnya kepada Mongabay, Jumat [26/1/2024].

Dia memaparkan, terkait pensiun dini PLTU, PLN siap menjalankan program tersebut jika ada bantuan lembaga internasional dan ada kebijakan serta penugasan pemerintah.

“Semua memerlukan analisis teknis serta dampak finansial yang besar dan sosial.”

Sebelumnya, PLN bersama PT. Cirebon Electric Power [CEP], Asian Development Bank [ADB], dan Indonesia Investment Authority [INA] mencapai kesepakatan membuat kajian mempercepat penghentian operasional PLTU Cirebon Power berkapasitas 1 x 660 megawatt [MW], dari beroperasi hingga 2042 menjadi 2035.

PLN secara masif akan terus meningkatkan kapasitas pembangkit yang berasal dari energi baru terbarukan. Juga, menjalankan skenario Accelerated Renewable Energy Development [ARED] yang akan menambah kapasitas pembangkit EBT sebesar 75% dan pembangkit berbasis gas sebesar 25% hingga 2040.

“PLN terus menjalin kolaborasi nasional maupun internasional untuk menghadapi berbagai tantangan transisi energi. Mulai dari sisi kebijakan, inovasi teknologi, maupun investasi.”

Terkait bagaimana perusahaan ini melakukan pendampingan terhadap masyarakat lokal yang tinggal dekat proyek pembangkit dan terpapar penyakit, Gregorius tidak memberikan penjelasan.

Begitu pula terkait laporan ke PBB mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat yang tinggal di tiga wilayah tersebut, hingga tulisan ini ditayangkan, belum ada respon dari perusahaan terhadap pertanyaan yang diajukan.

 

Organisasi Lingkungan Desak Presiden Setop Pembangkit Batubara Teluk Sepang

 

Exit mobile version