- Persoalan masyarakat adat belum jadi bahasan serius para calon dan wakil presiden yang akan berlaga 14 Februari ini. Padahal, hak-hak pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di nusantara ini masih jauh dari harapan. Perampasan-perampasan ruang hidup masyarakat adat terus terjadi hingga konflik lahan dan sumber daya alam terjadi di mana-mana hingga kini.
- Pembangunan ekonomi negara saat ini, banyak berbenturan dengan kepentingan dan merampas ruang hidup masyarakat adat. Untuk itu, isu masyarakat adat dan lingkungan hidup, mesti menjadi fokus utama ketiga pasangan capres cawapres.
- Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam waktu 10 tahun (2014-2023) Pemerintahan Joko Widodo, ada 687 orang adat dikriminalisasi. Masyarakat adat, katanya, kehilangan hutan maupun wilayah adat terampas jadi pertambangan, perkebunan, infrastruktur sampai alami kebakaran hutan dan lahan.
- Perwakilan masyarakat adat menanti presiden dan wakil presiden terpilih adalah orang-orang yang peduli dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Pemerintahan ke depan, diharapkan dapat mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Masyarakat Adat guna memberikan kepastian hukum dan menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Persoalan masyarakat adat belum jadi bahasan serius para calon dan wakil presiden yang akan berlaga 14 Februari ini. Padahal, hak-hak pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di nusantara ini masih jauh dari harapan. Perampasan-perampasan ruang hidup masyarakat adat terus terjadi hingga konflik lahan dan sumber daya alam terjadi di mana-mana hingga kini.
Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam waktu 10 tahun (2014-2023) Pemerintahan Joko Widodo, ada 687 orang adat dikriminalisasi. Masyarakat adat, katanya, kehilangan hutan maupun wilayah adat terampas jadi pertambangan, perkebunan, infrastruktur sampai alami kebakaran hutan dan lahan.
Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN pada Hari Peringatan Masyarakat Adat Internasional 2023 mengatakan, dalam lima tahun terakhir ada 301 kasus perampasan tanah adat. Kasus itu marak oleh perusahaan pertambangan.
Berbagai persoalan masyarakat adat ini, seharusnya jadi bahasan para capres dan cawapres.
Eko Cahyono, peneliti senior Sajogyo Institut mengatakan, dalam debat pada 21 Januari lalu, ketiga calon presiden menyebut soal masyarakat adat, namun tak tegas soal pengakuan legal atas eksistensi dan ruang hidup mereka.
“Ini persoalan paling hulu dan jadi akar masalah hak masyarakat adat di Indonesia,” katanya.
Kalau, tidak ada pengakuan legal negara tentu wilayah mereka dianggap kosong, dianggap tidak ada, atau jadi warga negara kedua.
Ketika wilayah adat mereka tak dianggap, katanya, jadi klaim ‘milik’ negara yang bisa berujung berikan ada izin.
Cilakanya, kata Eko, negara mudah memberikan izin konsesi di wilayah-wilayah adat kepada koporasi yang tidak berpihak kepada rakyat dan masyarakat adat.
“Itulah akar kemudian hak masyarakat adat sering dirampas, sering tergusur, mereka bahkan dikriminalisasi karena dianggap berada di kawasan hutan negara.”
Dengan begitu, kata ahli sosiologi pedesaan ini, janji-janji para cawapres harus tegas dalam mendorong legal atas eksistensi ruang hidup mereka. Kalau tidak, katanya, maka tak ada perubahan mendasar dari janji-janji politik mereka.
Eko bilang, janji pengakuan kemudian harus dibuktikan dengan mendorong dan mengesahkan Undang-undang Masyarakat Adat yang terkatung-katung dan terhambat dalam beberapa rezim pemerintahan.
“Kita akan menagih, komitmen mereka kalau akan mengurus tentang hak masyarakat adat. Salah satu buktinya berani dan mampu mengesahkan UU Masyarakat Hukum Adat.”
Masyarakat adat, katanya, butuh perlakuan khusus terutama memulihkan wilayah-wilayah yang selama ini terampas.
Dalam Undang-undang ini juga Eko katakan, diatur bagaimana proses pemulihan ini dan bagaimana menyelesaikan persoalan konflik-konflik terhadap wilayah adat mereka.
“Dua hal ini, menurut saya penting untuk ditagih kepada calon presiden dan calon wakil presiden. Apakah mereka ini komitmen cukup kuat, serius, dalam konteks pengakuan hak masyarakat adat di Indonesia. tanpa itu, yang diomongkan hanya retorika dan janji politik palsu yang tidak perlu didengarkan,”katanya.
Baca juga: Ketika Perlindungan Masyarakat Adat Minim Hutan Belum Ada Buat Rakyat
![](https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2024/01/Protes-suku-Tobelo-Boeng-Wasile-Selatan-Terhadap-Aktivitas-Tambang-Nikel-PT-WBN-dan-PT-IWIP-di-Hutan-Adat-Halmahera-Timur-720x512.jpg)
Apa kata masyarakat terkait pemilihan umum para pemimpin negara ini? Novenia Ambeua, perempuan adat keturunan Tobelo di pesisir Wasile Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara mengatakan, tidak lazim lagi di telinga masyarakat adat di nusantara terhadap komitmen Presiden Joko Widodo terkait pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak masyarakat adat dalam nawacitanya.
Kala mencalonkan diri sebagai presiden, ternyata hanyalah janji mau melindungi masyarakat adat. Hingga kini, masyarakat adat se nusantara terus berjuang mempertahankan tanah-tanah leluhurnya.
“Daerah kami salah satu primadona penghasil nikel. Antara lain berada di dalam kawasan hutan juga wilayah masyarakat adat, salah satunya O Hongana Manyawa yang kehilangan ruang hidup karena masifnya ekspansi korporasi nikel mengambil alih hutan mereka.”
Saat ini, kata Nove, tanah dan hutan adat terus dikeruk atas nama investasi proyek strategis nasional (PSN). Alasan ini, katanya, membuat puluhan bahkan ratusan perusahaan menanamkan modal untuk mengeruk nikel.
Konflik terjadi antara masyarakat adat yang ingin mempertahankan tanah dan hutan adat. Selain itu, terjadi kerusakan lingkungan seperti banjir longsor hingga etnosida terhadap masyarakat adat, O Hongana Manyawa.
“Dari semua hal yang kami alami sebagai masyarakat adat, harapan terbesar kepada capres dan cawapres untuk tidak lagi mengobral janji. Kami sudah muak mendengar janji.”
John Djamanmona, pemuda Aru mengatakan, Masyarakat Adat Aru sampai saat ini masih trauma dengan yang namanya investasi. Iming-iming dan janji yang diberikan selalu menjadi berita bagus saat ingin mengambil hak masyarakat adat.
Padahal, katanya, hutan maupun laut mereka menjadi target korporat. Beruntung, katanya, masyarakat masih berpikir waras kalau tanpa hutan dan laut maka pulau-pulau di Aru bukan saja terancam tenggelam juga kehilangan hak hidup.
Masyarakat adat, katanya, jadikan hutan dan laut sebagai tabungan untuk menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anak maupun tempat yang menampung para pekerja baru.
John berharap, ada sosok pemimpin negara, betul-betul peduli hak masyarakat adat. Kalau pemimpin negara tidak peduli, katanya, proses kontestasi hanya untuk menyiapkan kekuasaan yang akan mengancam hutan dan laut masyarakat adat.
Berkaca dari kasus-kasus sebelumnya, katanya, Kepulauan Aru masih jadi langganan incaran pemodal.
Saat ini, Masyarakat Aru tegas menolak kehadiran perusahaan, PT. Wana Sejahtera Abadi (WSA) beroperasi di Pulau Wokam, Kepulauan Aru.
Pada 2012, WSA mendapat izin seluas 54.560 hektar. Sebelumnya, Masyarakat Aru berhadapan dengan kepada konsorsium Menara Grup dan beberapa perusahaan lain.
Ada juga persoalan tanah di Marafenfen yang berkonflik dengan TNI.
Baca juga: Kala Masyarakat Kasieh Protes Was-was Hutan Adat jadi Area Tambang Marmer
![](https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2021/03/Masyarakat-Adat-Sabuai-sedang-melakukan-ritual-adat-Sasi-Pohon-di-Hutan-Negeri-Sabuai-768x512.jpg)
Josua Ahwalam, Pemuda Adat Negeri Sabuai, Seram Bagian Timur selama ini menyuarakan nasib masyarakat adat di Pulau Seram.
Isu masyarakat adat dan lingkungan hidup, katanya, mesti menjadi fokus utama ketiga pasangan capres cawapres. Pembangunan ekonomi negara saat ini, katanya, banyak berbenturan dengan kepentingan masyarakat adat.
Begitu banyak konflik agraria, katanya, memperlihatkan masyarakat adat seringkali jadi obyek eksploitasi atas nama investasi.
Dia pun berharap, Rancangan Undang-undang Perlindungan Masyarakat Adat perlu pengesahan demi kepastian hukum dan menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Begitu juga harapan Lukman, aktivis lingkungan asal Banyuwangi Jawa Timur. Dia mengatakan, konflik lahan terjadi di mana-mana. Kondisi ini, katanya, memperlihatkan sisi buruk pembangunan ekonomi berbasis investasi di negara ini begitu nyata.
Untuk itu, presiden terpilih harus peka terhadap persoalan ini hingga tak menimbulkan masalah bagi masyarakat dan lingkungan.
Mama Lodia Oematan, Perempuan Adat Desa Fatumnasi Gunung, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Soe, Nusa Tenggara Timur, juga mempunyai harapan sama kepada ketiga calon presiden dan wakil.
Mereka yang jadi presiden maupun wakil, katanya, harus jadi bagian dari rakyat. Berarti, katanya, rakyat termasuk masyarakat adat jangan dihadap-hadapkan dengan pemerintah.
Dia berharap, presiden terpilih berpihak kepada masyarakat adat.
Memori kelam pernah menimpa Lodia dan masyarakat Desa Fatumnasi Gunung. Mereka berjuang melawan perusahaan demi mempertahankan tanah ulayat pada 2006-2007.
Saat itu, dia jadi koordinator dalam perjuangan masyarakat melawan pertambangan marmer. Dia pernah mendapat intimidasi bahkan kriminaslisasi oleh aparat keamanan.
“Presiden dan wakil terpilih harus lindungi masyarakat adat.”
![Masyarakat adat datangi lokasi hutan adat yang telah digusur PT GMI (5).jpg ATTACHMENT DETAILS](https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2023/03/Masyarakat-adat-datangi-lokasi-hutan-adat-yang-telah-digusur-PT-GMI-5-768x512.jpg)
*****
Orang Bati Berjuang Jaga Hutan Adat dari Ancaman Perusahaan Migas