Mongabay.co.id

Berenang Bersama Lumba-lumba: Tren Baru Wisata di Bali Utara

 

Dua turis duduk di bagian depan perahu bermotor dengan enam penumpang yang akan membawa menuju habitat lumba-lumba di perairan Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali pada akhir tahun 2023 lalu.

Mereka sudah bersiap mengenakan pakaian renang, alat snorkeling, kamera underwater, dan lainnya. Keduanya tertarik atraksi swim with dolphin atau dolphin swim, tawaran baru wisata lumba-lumba di pesisir utara Bali ini. Sebelumnya, selama puluhan tahun, atraksinya melihat lumba-lumba (dolphin watching) dari jukung tradisional bermotor yang dipacu mengikuti mamalia itu berenang.

Lovina memang diberkati kehadiran lumba-lumba hampir sepanjang tahun. Bisa dipastikan, pengunjung pasti akan bersua para lumba-lumba yang beraktivitas mencari makan terutama pagi hari, mulai matahari terbit sampai siang. Bahkan, sering kali titiknya tak jauh dari pantai, sekitar 15-20 menit memacu perahu.

Saat puluhan perahu sudah berkumpul di titik lumba-lumba, pengemudi perahu segera memberi isyarat turis yang ikut swim with dolphin  itu untuk bersiap turun ke gantungan tali dengan pegangan kayu di cadik bagian depan di sisi kiri dan kanan.

Kedua turis itu turun bersamaan di kedua sisi perahu bagian depan. Kapten terus menderu mesin mengikuti alur lumba-lumba yang berenang lincah.

Sang kapten terdengar memberi isyarat kemunculan lumba-lumba sehingga kedua turis harus bersiap dengan kameranya mengarah ke bawah laut untuk merekam gerakan lumba-lumba di bawah mereka.

“Look, in front, in front,” seru kapten jukung yang saya tumpangi bersama turis Prancis itu menunjuk ke depan, agar mereka bersiap snorkeling lagi dengan kameranya. Rombongan lumba-lumba nampak di permukaan, kemudian menyelam dangkal lagi. Punggungnya berkilatan, tersapu cahaya mentari yang sudah merangkak naik dari kaki langit.

baca : Tak Usah Dikejar dan Ditangkap, Aku kan Menghiburmu

 

Para turis melihat berbagai jenis lumba-lumba di perairan Lovina, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perjalanan naik jukung ini tanpa ngebut mengikuti lumba-lumba sudah menenangkan mata. Turis bersiap pukul 05.30 sebelum matahari muncul. Jelang sampai titik habitat mamalia lucu itu, berkas cahaya matahari biasanya sudah memendar jingga, sampai bulat sempurna.

Namun, melihat lumba-lumba dari jukung dan menikmati matahari pun kini seolah tak cukup. Media sosial mendorong turis untuk membuat konten lebih heboh dari yang sudah ada, salah satunya dari swim with dolphin ini.

Video-video inilah yang makin banyak beredar di media sosial menggantikan atraksi dolphin watching. Jika kamera mendapat gambar yang terang dan jelas menunjukkan laju lumba-lumba dan si turis di atasnya, inilah kebanggaan mereka.

Jika dolphin watching saja harganya kini sekitar Rp75-100 ribu untuk domestik (tergantung jumlah penumpang di jukung), maka jika ingin ditambah atraksi swim with dolphin, harus menambahkan sekitar Rp50 ribu per orang.

Antusiasme atraksi swim with dolphin ini nampaknya besar, bahkan ada turis yang membawa kamera profesional underwater layaknya pembuat film dokumenter. Tak sekadar gopro.

Karena perahu terus melaju, yang ikut dolphin swim harus kuat memegang kayu atau tali tambang di penyambung cadik. Tak heran, kemampuan mereka berpegangan paling lama 10 menit. Setelah itu diminta naik ke perahu untuk istirahat, tapi bisa beberapa kali turun naik sampai mendapatkan gambar yang diidamkan.

Tak jarang ada yang melepaskan pegangan dan tertinggal, terapung di belakang. Tapi kemudian dicari oleh kapten jukung. Atraksi yang cukup berisiko terkena benturan perahu atau hempasan arus.

baca juga : Mencari Tips Wisata Melihat Lumba-lumba yang Aman di Lovina. Seperti Apa?

 

Turis membawa kamera profesional saat swim with dolphin, atraksi wisata baru di perairan Lovina, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Zul, salah satu kapten jukung mengatakan tidak tahu persisnya kapan dolphin swim ini dimulai, seingatnya 1-2 tahun ini. Itu pun karena ia mendapat permintaan dari agen perjalanan, karena turis melihat videonya di media sosial. Jadilah kini hampir semua jukung memberikan layanan ini.

Ia mengakui belum ada panduan standar, hanya mengandalkan pengetahuan umum, jangan memotong alur berenang si lumba-lumba. Ia mengakui, dolphin swim ini mensyaratkan jukung sangat dekat dengan lumba-lumba karena turis hendak memotret atau memvideokan dirinya seolah berenang dengan mereka di bawah laut.

Sayangnya, ia mengakui ada pemilik atau kapten jukung yang bukan nelayan dan tidak tahu cara merapatkan ke dolphin dengan lebih aman. “Banyak yang tidak tahu caranya. Bayangkan ada 400-500 perahu, ada yang cuma lihat uangnya, tidak punya skill  melaut, itu yang bikin runyam,” keluhnya. Ia sendiri kerap menyarankan tamunya mulai perjalanan di atas jam 8 pagi, ketika suasana lebih lengang dan mendekati lumba-lumba tidak rebutan dengan puluhan jukung lain.

Putu Liza Mustika, peneliti mamalia dan pernah melakukan serangkaian penelitian di Lovina memberi catatan berdasar referensi sejumlah jurnal terkait wisata jenis ini. Ia merangkum dampaknya seperti kesatuan kelompok lumba-lumba bisa terganggu dan menyebabkan mereka bisa berpindah tempat. “Jika waktu untuk istirahat dan makan berkurang, maka hewan akan kurang fit dan mudah terkena penyakit,” lanjutnya.

Dikutip dari Marine Mammal Science, 29(4): E484–E497 (October 2013) oleh the Society for Marine Mammalogy, selama dua dekade terakhir, mengamati satwa liar telah berkembang dari pengalaman langka menjadi aktivitas pariwisata arus utama. Spesies yang menjadi sasaran berkisar dari serangga, burung, reptil, dan ikan hingga berbagai macam mamalia darat dan laut, termasuk cetacean.

Pariwisata Cetacea, khususnya, telah berkembang menjadi industri global selama puluhan tahun. Diperkirakan menghasilkan pengeluaran tahunan biaya sekitar US$2,1 miliar, dengan 3.300 operator menawarkan pengalaman terkait Cetacean (O’Connor dkk. 2009).

baca juga : Surga Cetacea itu Ada di Perairan Pulau Pieh

 

Turis menikmati matahari terbit di perairan Lovina sambil menunggu lumba-lumba di perairan Lovina, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kegiatan wisata tersebut meliputi pengamatan cetacea di darat, udara, dan kapal, pengamatan ikan paus, pemberian makan ikan sirip, dan program berenang bersama (O’Connor dkk. 2009). Peningkatan ini jumlah wisata cetacea telah menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan dampaknya terhadap target hewan dan populasi (Spradlin et al. 2001).

Beberapa spesies telah menunjukkan bahwa pariwisata yang menargetkan cetacea dapat menimbulkan dampak negatif pada hewan individu dan populasi. Salah satu dampak gangguan yang dilakukan oleh kapal pengamat paus dan lumba-lumba adalah perubahan lingkungan hewan sasaran, termasuk penurunan proporsi waktu menghabiskan waktu untuk makan, istirahat, dan bersosialisasi (Lusseau 2003a, Williams dkk. 2006, Dans dkk. 2008, Stockin dkk. 2008, Steckenreuter dkk. 2012).

Selain itu, hewan juga bisa mengubah kekompakan kelompok atau mengubah jangkauan mereka untuk menghindari area di mana perahu beroperasi. Lumba-lumba hidung botol di Sarasota, Florida, serta di Shark Bay, Australia Barat, menunjukkan penyebaran kelompok yang lebih ketat di sekitar kapal (Nowacek dkk. 2001, Bejder dkk. 2006b). Bejder dkk. (2006a) juga mengemukakan bahwa lumba-lumba hidung botol di Shark Bay mungkin telah mengubah wilayah jelajahnya sebagai respons terhadap paparan jangka panjang kapal wisata komersial. Kecepatan kapal, manuver, dan sudut pendekatan dengan tingkat tinggi umumnya mengakibatkan peningkatan gangguan pada hewan.

Lumba-lumba hidung botol sering menjadi sasaran wisata cetacea karena letaknya di pesisir pantai distribusi dan tempat tinggal di beberapa daerah. Dampak yang dilaporkan terhadap hewan-hewan ini termasuk perubahan dalam anggaran perilaku, pola penyelaman, pergerakan, dan habitat penggunaan (misalnya, Constantine et al. 2004; Lusseau 2004, 2005; Bejder et al. 2006a; Lusseau 2006; Stensland dan Berggren 2007).

Perilaku seperti makan, istirahat dan bersosialisasi sangat penting untuk keberhasilan reproduksi suatu populasi (Bronson 1985), dan gangguan terhadap perilaku ini mungkin dapat menyebabkan tingkat reproduksi yang lebih rendah dan penurunan populasi dalam jangka menengah dan panjang. Menyusui anak lumba-lumba, misalnya, sering dilakukan terjadi ketika hewan sedang beristirahat. Lumba-lumba hidung botol tetap berdekatan satu sama lain ketika ada kapal untuk meningkatkan deteksi dan kewaspadaan predator. Hal ini bisa menjadi tanda bahwa mereka sedang stres atau merasakan bahaya (Johnson dan Norris 1986).

baca juga : Janji Setia Ric O’ Barry pada Pembebasan Lumba-lumba di Seluruh Dunia

 

Turis sedang melakukan membawa swim with dolphin, atraksi wisata baru di perairan Lovina, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Made Arnika, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buleleng pada sebuah diskusi sebelumnya memaparan ikhwal berkembangnya kawasan wisata perairan di Buleleng termasuk dolphin watching di Lovina.

Pada 2008, Buleleng menyusun Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Buleleng  2009-2027 di dalamnya termasuk adanya rencana pembentukan kawasan konservasi (Peraturan Bupati Buleleng No.32/2009).

Perda RTRW Bali No.16/2009 mengamanatkan bahwa beberapa perairan Buleleng termasuk dalam rencana peruntukan kawasan konservasi (Pasal 45-Kawasan Konservasi Perairan-Tembok-Tejakula, Pejarakan-Pemuteran dan Pasal 48 Kawasan Lindung Lainnya-Kawasan Terumbu Karang Bondalem-Pacung, Patas-Celukanbawang, Kalisada Umeanyar, Kaliasem-Tukadmungga).

Kemudian Agustus 2011, Bupati Buleleng menandatangani SK Nomor 523/630/HK/2011 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Buleleng dengan luas lebih dari 14 ribu Ha. Luas wilayah perairan yang dicadangkan: Taman Wisata Perairan Buleleng Timur seluas 6.661,68 Ha (di seluruh perairan pantai Kecamatan Tejakula sampai batas sejauh 1,5 mil dari pantai), Taman Wisata Perairan Buleleng Tengah seluas 6.727,91 Ha (di sebagian perairan Kecamatan Buleleng, Banjar, Seririt tepatnya dari Desa Anturan-Sulanyah), Taman Wisata Perairan Buleleng Barat (di Desa Pemuteran) seluas 651,24 Ha.

KKP Buleleng Timur di perairan se-Kecamatan Tejakula ini awalnya merupakan Daerah Perlindungan Berbasis Masyarakat (Pacung, Julah, Bondalem, Tejakula, Penuktukan dan Sambirenteng). Terkenal dengan nelayan pencari ikan hias dan aktivitas transplantasi karang.

Sementara itu bentuk pengelolaan wisata lumba-lumba di Lovina masih berbasis kelompok jukung. Dengan pendampingan sejumlah peneliti, para kapten kapal minta melakukan empat hal: 1) matikan mesin (atau jika tidak praktis, angkat baling baling), 2) jaga jarak dari lumba-lumba, dan 3) jangan potong jalan lumba-lumba, dan 4) jangan memberi makan.

Saat itu, tahun 2000-an diidentifikasi empat kelompok pemandu wisata lumba-lumba di Lovina (Kaliasem, Kalibukbuk, Aneka, dan Banyualit) dan dengan hampir 180 jukung yang berpotensi  mengantar tamu setiap pagi. Namun kini jumlahnya sudah berlipat dengan cepat. Karena itu Lovina disebut salah wisata lumba-lumba di alam terbesar karena bisa sepanjang tahun dengan stabilnya jumlah pengunjung. (***)

 

Exit mobile version