Mongabay.co.id

Krisis Iklim Global: Tahun 2023 Mencatat Rekor Suhu Laut Terpanas

 

Tindakan manusia telah dengan cepat mengubah lautan di dunia, baik melalui penangkapan ikan yang berlebihan, polusi, atau pembangunan pesisir. Namun, salah satu tekanan terbesar yang dihadapi lautan saat ini adalah pembakaran bahan bakar fosil yang terus menerus dilakukan oleh manusia. Aktivitas ini memompa sejumlah gas rumah kaca yang berbahaya ke atmosfer, yang pada akhirnya mendorong suhu laut mencapai rekor tertinggi.

Lautan global, yang menutupi 70% permukaan bumi, menyerap 90% panas matahari yang terperangkap emisi karbon manusia. Hal ini sangat mengurangi kenaikan suhu atmosfer dan membantu mengurangi intensitas krisis iklim. Dengan kata lain, dunia saat ini akan jauh lebih panas jika lautan tidak menyerap panas tersebut.

Salah satu dampak dari peningkatan suhu laut global, -sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, telah memberikan tekanan pada kehidupan laut dan proses biologis, serta meningkatkan cuaca ekstrem di darat.

Meningkatnya suhu laut juga mengakibatkan peningkatan gelombang panas laut, yang memberikan tekanan lebih besar pada organisme dan ekosistem laut.

 

Penambangan batubara dengan tambang terbuka. Salah satu tekanan terbesar yang dihadapi lautan saat ini adalah pembakaran bahan bakar fosil yang terus dilakukan oleh manusia. Foto: Gruendercoach/Pixabay (Publik Domaink).

 

Lautan telah menjadi lebih panas dari sebelumnya

Penelitian terbaru yang diterbitkan pada 11 Januari 2024 di Advances in Atmospheric Sciences menemukan jika suhu lautan lebih panas dibandingkan suhu di zaman modern ini. Data yang dikumpulkan Institute of Atmospheric Physics di Chinese Academy of Sciences, suhu laut telah memecahkan rekor panas sebelumnya setidaknya selama tujuh tahun berturut-turut (atau delapan tahun tergantung pada interpretasi data).

Data serupa dikumpulkan oleh Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) AS, memperkuat temuan ini.

“Dari tahun ke tahun kita mencatat rekor panas di lautan,” kata kolega penulis studi John Abraham, profesor ilmu termal di University of St. Thomas di Minnesota, kepada Mongabay.

“Fakta bahwa proses ini terus berlanjut dengan cepat setiap tahunnya menunjukkan bagaimana lautan terhubung dengan pemanasan global, dan bagaimana kita dapat menggunakan lautan untuk mengukur seberapa cepat bumi memanas.”

Pada tahun 2023, lautan menyerap sekitar 287 zettajoule panas, yang menurut Abraham setara dengan delapan bom atom Hiroshima yang meledak setiap detik setiap hari ke lautan. Panas tahun lalu 15 zettajoule lebih besar dari yang diserap laut pada tahun 2022.

Para peneliti mendeteksi peningkatan panas di banyak bagian lautan – dari permukaan hingga kedalaman 2.000 meter, -meski Abraham menyebut suhu lebih tinggi paling terlihat di permukaan air, atau 20 m bagian teratas.

Selama paruh pertama tahun 2023, suhu berada 0,1° Celsius di atas suhu tahun 2022; selama paruh kedua tahun ini, suhunya 0,3°C lebih tinggi dari suhu tahun 2022, menurut penelitian.

“Kita benar-benar memecahkan rekor suhu permukaan laut tahun lalu,” kata Abraham. “Panas sekali.”

Menurut Abraham, suhu permukaan sangat tinggi pada tahun 2023 karena efek gabungan dari pemanasan global jangka panjang dan pola iklim El Niño yang kuat yang sedang terjadi. El Niño yang berulang secara berkala melemahkan angin di sepanjang ekuator bumi, sehingga menyebabkan peningkatan suhu laut dan suhu atmosfer.

 

Karang berpendar di New Caledonia. Suhu yang lebih tinggi paling terlihat di permukaan air, atau 20 m bagian teratas permukaan laut. Foto: The Ocean Agency / Ocean Image Bank.

 

Apa yang bakal terjadi jika lautan memanas?

Suhu laut yang lebih tinggi dari suhu normal mempunyai dampak luas di seluruh lautan. Hal ini menyebabkan kenaikan permukaan air laut karena air mengalami pemuaian panas. Hal ini juga dapat menyebabkan stres atau mematikan sistem terumbu karang, mempercepat pencairan es laut di kutub, mendistribusikan kembali populasi ikan, dan menguras kadar oksigen.

“Lautan mengendalikan cuaca,” kata Abraham. “Saat lautan memanas, udara mengalir di atas lautan dan panas serta kelembapan berpindah. Jadi lautanlah yang membantu memanaskan atmosfer dan lautanlah yang memberikan kelembapan pada atmosfer dimana cuaca ditentukan oleh suhu dan kelembapan.”

Lautan juga dapat mempengaruhi apa yang terjadi di darat. Saat permukaan laut menjadi panas, hal ini menciptakan kondisi yang sempurna untuk terjadinya peristiwa cuaca ekstrem di daratan, seperti curah hujan yang tinggi, kekeringan, dan badai yang sangat merusak.

Lalu seberapa besar kerugian yang diakibatkan oleh peristiwa cuaca ekstrem?

Sebuah studi yang diterbitkan di Nature Communications tahun lalu menunjukkan bahwa kerusakan akibat peristiwa cuaca ekstrem menyebabkan kerugian sekitar $16 juta setiap jamnya.

Data lain menunjukkan bahwa pada tahun 2023, Amerika Serikat mengalami bencana cuaca dan iklim senilai $28 miliar, dengan total kerugian sebesar $92,9 miliar, melampaui rekor sebelumnya senilai $22 miliar pada tahun 2020.

Dengan lautan dan atmosfer yang mengalami rekor suhu panas, peristiwa cuaca ekstrem terjadi dengan frekuensi dan intensitas yang lebih besar.

Pada tahun 2023, serangkaian peristiwa ekstrem, -termasuk gelombang panas mematikan, terjadi di Tiongkok, Eropa, dan Amerika Utara, musim kebakaran ekstrem di Kanada, serta hujan dan banjir yang memecahkan rekor di Libya, Republik Demokratik Kongo, dan Australia.

“Cuaca kita seperti dibolak-balik oleh perubahan ekstrem,” kata Abraham. “Dan kondisi ekstrem ini semakin besar. Hal-hal ekstrem itu harus dibayar mahal.”

 

Mencairnya es di kutub. Suhu laut yang lebih tinggi dari biasanya dapat menekan atau mematikan sistem terumbu karang, mempercepat pencairan es laut di kutub, mendistribusikan kembali populasi ikan, dan menguras kadar oksigen. Foto: Roxanne Desgagnés/Unsplash (Publik Domain).

 

Gelombang panas laut sedang melonjak

Suhu laut yang tinggi tidak hanya menyebabkan kejadian ekstrem di daratan, tetapi juga memengaruhi kejadian ekstrem di air. Ketika lautan global menjadi lebih panas, frekuensi dan intensitas gelombang panas laut pun turut meningkat.

Gelombang panas laut didefinisikan sebagai peristiwa dimana suhu laut melebihi ambang batas tertentu, -khususnya persentil ke-90 dari nilai sejarah 30 tahun untuk jangka waktu lima hari atau lebih.

Peristiwa ekstrem ini disebabkan oleh masuknya emisi gas rumah kaca yang menyebabkan lautan menyerap dan menyimpan lebih banyak panas, serta pergerakan air hangat melalui arus laut.

“Perubahan iklim membuat arus laut melakukan hal yang berbeda,” kata Alistair Hobday, seorang ilmuwan peneliti di CSIRO Climate Science Centre and the University of Tasmania’s Centre for Marine Socioecology yang berbasis di Australia, kepada Mongabay.

“Arus yang mengalir dari khatulistiwa menuju kutub semakin kuat, dan membawa lebih banyak air hangat lebih jauh ke selatan atau lebih jauh ke utara. Hal ini dapat menimbulkan gelombang panas laut.”

El Niño pada tahun 2023-2024 juga meningkatkan panas di beberapa bagian lautan, dan meningkatkan kemungkinan berkembangnya gelombang panas laut, jelas Hobday.

Tahun lalu, dunia mengalami beberapa gelombang panas laut, termasuk peristiwa tertinggi yang terjadi di Atlantik Utara yang menyebabkan penurunan fitoplankton yang mengkhawatirkan, dan gumpalan panas yang mematikan sebagian besar terumbu karang di Florida, termasuk karang yang ada di proyek restorasi.

Penelitian yang dipublikasikan di Frontiers in Marine Science pada tahun 2019 menunjukkan bahwa jumlah hari gelombang panas laut meningkat secara global lebih dari 50% dari tahun 1925 hingga 2016, dan intensitas kejadian ini pun meningkat sejak dimulainya pengumpulan data satelit pada tahun 1982.

“Gelombang panas laut adalah hal yang alami, namun peningkatan yang kita lihat bukanlah hal alami,” kata Thomas Wernberg, ahli ekologi kelautan di University of Western Australia (UWA), yang ikut menulis studi Frontiers in Marine Science bersama dengan Hobday, mengatakan pada Mongabay.

“Kami juga melihat semakin besarnya dampak, baik pada spesies maupun terhadap jasa ekosistem yang disediakan oleh lautan. Seperti perubahan dalam sektor perikanan, hasil perikanan, dan pergeseran sektor perikanan,” ungkap Wernberg.

Studi pada tahun 2019 menunjukkan bahwa dunia dapat mengalami gelombang panas laut yang hampir permanen pada akhir abad ini, jika pemanasan global tidak segera dikendalikan. Akibatnya, sebagian besar wilayah laut global mengalami suhu panas ekstrem hampir sepanjang tahun.

 

Kapal nelayan di Bali, Indonesia. Para peneliti mengatakan bahwa peningkatan panas laut dan gelombang panas laut akan menyebabkan matinya ekosistem seperti sistem terumbu karang dan hutan rumput laut, serta mendistribusikan kembali populasi ikan, sehingga berdampak pada perikanan global. Foto: Jorge Franganillo/Flickr (CC BY 2.0).

 

Karen Filbee-Dexter, peneliti UWA yang tidak terlibat dalam studi tahun 2019, menyebut terjadinya gelombang panas laut yang hampir permanen itu “menakutkan”, namun tren peningkatan gelombang panas laut, menunjukkan bahwa kita sedang menuju pada kenyataan ini.

“Jika seluruh lautan menjadi lebih hangat dan menjadi sedikit lebih ekstrem, pada dasarnya kehidupan laut akan mengalami reorganisasi,” kata Filbee-Dexter kepada Mongabay. “Hal ini paling jelas terjadi di perairan dangkal, namun kita masih menemukan gelombang panas laut juga akan menyebar ke wilayah yang lebih dalam.”

Meskipun beberapa organisme mampu beradaptasi atau bermigrasi ke kondisi yang lebih sesuai untuk kelangsungan hidupnya, organisme lainnya tidak. Hal ini terutama terjadi pada organisme sesil atau tidak bergerak yang menempel di dasar laut, seperti karang dan tiram, kata Filbee-Dexter.

Dia mencatat bahwa peningkatan panas laut dan gelombang panas laut akan menyebabkan matinya ekosistem seperti sistem terumbu karang dan padang lamun, redistribusi populasi ikan, hingga dampak pada perikanan global.

 

Akankah lautan terus menghangat?

Lautan saat ini mengalami tren pemanasan yang kuat, sehingga meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem baik di darat maupun laut. Apakah tren ini akan terus berlanjut?

Para ahli mengatakan hal ini bakal bergantung pada tindakan umat manusia dalam menanggapi krisis iklim global.

“Kita mungkin memasuki tahun 2050 dengan pemanasan, karena metana dan karbon dioksida akan bertahan selamanya di atmosfer,” kata Hobday.

“Jadi meski kita mampu menyelesaikan sumber masalahnya saat ini, dampaknya masih akan terjadi sebelum laut dapat menyerap karbon dioksida atau sebelum metana terurai.”

Abraham mengatakan bahwa dia secara khusus memperhatikan apakah pemanasan laut global semakin cepat, sebuah tren yang menurutnya akan “mengkhawatirkan” jika terjadi.

“Saat ini, kami tidak memiliki cukup data untuk menentukan apakah kecepatannya meningkat,” kata Abraham.

“Tetapi firasat saya ada sedikit percepatan yang sekarang mulai dapat kita deteksi, namun kami tidak dapat mengklaim bahwa ada percepatan, sampai kami mendapatkan lebih banyak data.”

Meskipun masa depan tampak suram bagi lautan, Abraham menyebut informasi dari pemanasan laut dapat membuat perubahan positif yang memperlambat dampak pemanasan global.

“Ada dua hal yang bisa kita lakukan saat ini, yaitu menggunakan energi dengan lebih bijak dan memaksimalkan pemanfaatan energi ramah lingkungan yang tidak mengeluarkan gas rumah kaca.”

Tulisan asli: Ocean heating break record, again, with disastrous outcomes for the planet.  Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Citations:

Cheng, L., Abraham, J., Trenberth, K. E., Boyer, T., Mann, M. E., Zhu, J., … Lu, Y. (2024). New record ocean temperatures and related climate indicators in 2023. Advances in Atmospheric Sciences. doi:10.1007/s00376-024-3378-5

Newman, R., & Noy, I. (2023). The global costs of extreme weather that are attributable to climate change. Nature Communications, 14(1). doi:10.1038/s41467-023-41888-1

Oliver, E. C., Burrows, M. T., Donat, M. G., Sen Gupta, A., Alexander, L. V., Perkins-Kirkpatrick, S. E., … Smale, D. A. (2019). Projected marine heatwaves in the 21st century and the potential for ecological impact. Frontiers in Marine Science, 6. doi:10.3389/fmars.2019.00734

Exit mobile version