Mongabay.co.id

Kebun Sekolah: Solusi Kreatif Mitigasi Iklim di Majalengka

 

Di sekolah, perubahan iklim dan pemanasan global ditandai dengan uang jajan siswa yang boros untuk membeli es atau minuman dingin. Suasana dalam kelas akhir-akhir ini pun membuat murid mengeluh ihwal kondisi belajar yang makin panas.

Uang di saku Ryan Ramadhan (11) sisa Rp2.000. Siswa kelas 5 di SD Negeri Surawangi 1, Desa Surawangi, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, itu memilih menyimpan uangnya dibanding membeli minuman dingin.

Dahaga Ryan sedikit terobati setelah mendapat jatah konsumsi. Siang itu, dia usai membereskan tugas panen pada kegiatan kebun sekolah. Kegiatan tersebut diinisiasi oleh Jatiwangi Art Factory (JAF), Yayasan Tunas Nusa dan Dinas Pendidikan Majalengka.

Sebelumnya, Ryan mengaku belum pernah melakukan aktivitas bercocok tanam. Tapi setelah terlibat, siswa yang bercita-cita jadi pemain bola itu mulai menyukainya. Dia pun sedikit cakap menyebut jenis tanaman yang ditanam dibelakang sekolah.

Luas kebun itu berukuran satu ruangan kelas, kira-kira 5×5 meter. Penempatan jenis tanaman tampak tertata rapi. Lengkap dengan pot-pot bekas botol plastik yang diisi ragam tanaman dan atap kebun ditutup paranet. Malahan beberapa tanaman seperti terong, tomat dan cabe sudah siap panen.

Di antara pot dan polybag, Arini Zulfa Aulia (11), teman sekelas Ryan, sibuk memilah benih. Arini tampak cerewet menjelaskan cara menanam. Dia mendapat tugas untuk mengajak siswa kelas 4 mengenal tata cara berkebun.

“Digali dulu tanahnya terus simpan satu benih satu pot ya. Ingat benih yang beda bentuknya jangan disatukan dan jangan lupa dikasih pupuk lalu disiram,” jelasnya.

baca : Sekolah di Kepulauan Aru Ini Ajak Siswa Peduli Lingkungan, Seperti Apa?

 

Sejumlah anak melakukan kegiatan berkebun di sekolah sebagai bagian dari mitigasi iklim di SDN Surawangi 1, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Wali Kelas 5 SD Negeri Surawangi 1, Litta Mirnawati, mengaku senang. Murid-muridnya secara terampil mampu menunjukan kepedulian sekaligus kreatifitasnya di luar akademik.

Litta menjelaskan, berkebun merupakan inisiatif pertama yang disetujui oleh sekolah. Alasannya, berdasarkan Kurikulum Merdeka melalui proyek penguatan profil pelajar Pancasila, model kegiatan tersebut dapat dijadikan sebagai metode untuk mengadopsi nilai kearifan lokal.

“Kebetulan sekolah kami merupakan sekolah penggerak yang kurikulumnya menyusupkan unsur muatan lokal,” jelasnya.

Litta mengatakan dengan hal itu, sekolah punya cara untuk mulai membahasakan perubahan isu iklim agar siswa mempunyai kesadaran menuju perubahan perilaku dalam menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim.

Litta mengakui pembelajaran di sekolah terkait isu lingkungan masih minim. Itu sebabnya, lewat Kurikulum Merdeka, pembelajaran berbasis proyek, membuka peluang para siswa belajar dari kondisi nyata di sekelilingnya dan mencari solusi dengan menggabungkan beberapa kegiatan.

“Saya selaku guru penggerak juga dituntut belajar lebih cepat lagi untuk mempelajari kurikulum ini dan menyiapkan modul-modul yang sesuai dengan tantangan zamannya,” ungkapnya.

 

Merespon perubahan

Berdasarkan studi kompetensi global Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, pelajar Indonesia termasuk yang mendapat nilai terendah dalam memahami isu-isu global, termasuk perubahan iklim. Hal itulah yang semestinya mendorong adanya transfer pengetahuan untuk memperkaya kurikulum di sekolah.

Di Majalengka, Dinas Pendidikan Majalengka punya inovasi pendidikan melalui Pekan sekolah anak Majalengka. Namun, Ketua Yayasan Tunas Nusa, Ramalis Sobandi, menilai program tersebut belum banyak menghasilkan transformasi.

“Karena tidak ada aksi, kami dorong untuk membikin aksi kolaborasi soal pendidikan iklim,” ucapnya.

baca juga : Rinwiningsih, Penggerak Sekolah Bijak Kelola Sampah dan Mandiri Pangan

 

Sejumlah anak melakukan kegiatan berkebun di sekolah sebagai bagian dari mitigasi iklim di SDN Surawangi 1, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dia menginginkan rangkaian pengetahuan menyoal perubahan iklim ada di lembaga pendidikan. Tujuannya untuk memberikan pesan bagi warga sekolah tentang pentingnya perubahan sikap dan gaya hidup sebagai salah satu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Sejauh ini pihaknya sudah mengajak delapan sekolah. Namun, baru satu sekolah yang dijadikan percontohan.

Ramalis mengatakan, panen di SDN Surawangi 1 bersamaan dengan penanaman dua petak hutan Miyawaki, yaitu model penanaman antar bibit pohon yang sangat rapat sekitar 50-70 sentimeter. Tiap satu petak, ada 90 pohon terdiri dari tanaman pelindung dan buah.

Butuh 2-3 tahun untuk hutan tumbuh menjadi hutan mikro. Maka, di tanaman sayuran supaya bisa dipanen dalam waktu relatif singkat. Sehingga nantinya siswa dan guru bisa mengolahnya sebagai alternatif pangan lokal secara berkelanjutan.

“Selain bisa memperbaiki lingkungan melalui perubahan gaya hidup, mereka juga bisa mempengaruhi orang tua dan keluarganya,” katanya.

Sebenarnya model Miyawaki juga sama dengan penanaman Perusahaan Hutan Tanaraya (Perhutana) di Desa Jatisura. JAF ingin menyulap lahan 8 hektar menjadi kawasan konservasi sebagai respon hadirnya kawasan industri baru strategis segitiga Rebana dan kota Aerocity di Bandara Internasional Jawa Barat, Majalengka. Bukan tidak mungkin ruang hidup warga bakal menghadapi tekanan akibat masifnya pembangunan.

Namun, sejauh ini baru 2 hektar yang berhasil menarik minat patungan masyarakat. Salah satu kendalanya adalah tingginya biaya pembelian lahan karena pembuatan hutan menggunakan skema kavling properti.

Sembari tekun menunggu, kini JAF dan kolega sedang merintis koridor hijau yang menghubungkan gudang JAF dengan pintu masuk hutan kolektif Perhutana sepanjang 50 meter. Tujuannya sebagai edukasi kepada masyarakat setempat agar tetap memelihara nilai-nilai lokal.

Langkah itu menurut Kepala Desa Jatisura, Agus Rudianto, selaras dengan Peraturan Desa (Perdes) yang sudah dibuat pada tahun 1994 silam. Setiap pasang muda-mudi yang melangsungkan pernikahan diwajibkan melengkapi mas kawin mereka dengan bibit pohon.

“Itu sudah jadi tradisi secara turun-temurun, tapi seiring banyak industri perlahan pudar dari masyarakat,” imbuh Agus.

Ketika melihat inisiatif kembali tumbuh dari masyarakat, Agus bersedia merevitalisasi aturan tersebut. Dia memastikan, pemerintah desa bisa diandalkan asalkan saling menjalin hubungan yang menguntungkan.

baca juga : Cerita dari Kampoeng Batara, Sekolah Adat Berbasis Konservasi di Banyuwangi

 

Foto udara sejumlah anak-anak menanam pohon di hutan kolektif Perhutana, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Foto: Dnny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kesadaran Kolektif

Sementara itu, di sekolah, Karsten Winnemuth (58) menjadi pusat perhatian. Berkaos oblong dan bercelana pendek, warga negara Jerman itu asyik macul. Sesekali anak-anak menggodanya hingga mengajak bicara dengan Bahasa Sunda.

“Mungkin mereka anggap saya aneh. Tapi saya senang bisa beri contoh anak-anak menanam pohon,” katanya tertawa.

Di Kota Kassel, Jerman, Karsten berhasil menuai manfaat dari aksinya menanam pohon. Berkolaborasi dengan banyak komunitas, mampu melahirkan konsep Essbare Stadt atau kota yang menghasilkan makanan.

Dengan konsep itu, sejak tahun 2018, warga kota menikmati buah-buah seperti persik, apel, kenari dan murbei secara cuma-cuma selama musim panen tiba. Beruntung, pemerintah di sana merespon langkah baik itu hingga saat ini sudah lebih dari 19 taman kota berhasil dibuat.

Adapun pertemuan Karsten dan JAF bermula ketika pameran documenta fifteen di Kassell tahun 2022 lalu. Tempat dimana para seniman dunia berkumpul dan saling unjuk karya. Lewat beragam seni mereka mengekspresikan solidaritas dan kolektivitas.

Kata Karsten, mereka juga membahas krisis iklim yang punya dampak terhadap seni dan budaya. Pertemuan itu kemudian membentuk ruang rupa yang menjadi wadah penampung gagasan. Sehingga mereka berkomitmen untuk terus bermitra dan menciptakan sumber daya yang terus hidup di luar seni pertunjukan.

“Saya berkunjung ke sini pun ingin tahu soal budaya dan bagaimana upaya pemulihan ekologi oleh komunitas lokal. Saya senang di sini karena kepedulian masih mudah dibentuk. Saya juga senang bisa berpartisipasi membagi pengalaman tentang pemenuhan gizi dan nutrisi bagi anak-anak yang sebetulnya bisa dimulai oleh masyarakat sendiri,” kata ketua komunitas Connecting Ecosystems salah satu anggota dari documenta fifteen.

Bersama dengan Ella dan Amber, mereka berbagi pengetahuan soal membangun ruang hidup yang sehat dan menyenangkan. Kata Kasten, seni dan budaya selalu menjadi cermin bagi dunia. Hanya saja kita perlu memastikan cermin ini dapat menciptakan masa depan yang lebih bagi lingkungan. (***)

 

Exit mobile version